Selasa, 15 Oktober 2024

Remaja Wajib Tahu tentang Seksualitas dan Kesehatan Reprodukti

Baca Juga

Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi. Masa di mana belum berada dalam kestabilan. Masa pencarian jati diri. Bukan masa anak-anak dan belum juga memasuki usia dewasa. Pada usia remaja yang sedang mengalami perkembangan dari berbagai aspek dan fungsi seperti perubahan biologis, kognitif, cara berpikir, social serta emosional. Secara umum menurut para ahli usia remaja yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir.

Dunia remaja saat ini dengan tahapan usia seperti itu sudah semakin dinamis. Budaya F3 (Food, Fashion and Fun) yang berlebihan menjadi trend dan sulit untuk dijauhi, yang kesemuanya hanya bersifat glamour bahkan terkesan hura-hura. Lalu, bagaimana para remaja sebagai harapan masa depan bangsa mulai memikirkan tentang kespro dan seksualitas? Sementara itu dunia pendidikan seakan-akan tidak peduli terhadap remaja dengan kespro dan seksualitasnya.

Realitas di lapangan justru telah membuktikan bahwa peserta didik yang hanya mendapatkan pelajaran kespro di sekolah sangat minim. Pelajaran tentang kespro dan seksualitas hanya dimasukan dalam pelajaran-pelajaran tertentu saja. Sehingga wajar jika para remaja mencari pengetahuan kespro dan seksualitas melalui internet yang tidak memiliki pengarahan dan bimbingan yang berdampak positif.

Pengetahuan tentang kespro tentu memerlukan sosialisasi. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang belum tersentuh oleh program dari pemerintah. Dinas kesehatan sebagai salah satu instansi yang bertanggung jawab terhadap masalah ini kurang pro aktif terhadap masalah-masalah kespro dan seksualitas remaja di pesantren.

Dampak globalisasi, pergaulan bebas, narkoba sangat merusak kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Karena itu sosialisasi pengetahuan tentang kespro dan seksualitas merupakan sesuatu yang urgent sebagai intervensi terhadap dunia pendidikan remaja di luar sekolah ataupun pada pendidikan informal seperti pesantren.

Berawal dari sebuah penemuan di beberapa pesantren ketika melakukan sebuah penelitian singkat di empat belas pesantren di kota Cirebon. Pembelajaran kespro dan seksualitas di pesantren mengambil referensi dari kitab-kitab fiqih. Materi kitab fiqih sebenarnya sangat lengkap, dari mulai cara bersuci, kapan memasuki usia baligh atau pubertas, menstruasi, seksualitas setelah menikah dan sebagainya.

Begitu lengkap materi kespro dan seksualitas di pesantren, namun ungkapan-ungkapan yang membahas kespro dan seksualitas masih tabu dan malu untuk mengucapkannya. Untuk menyebut kata penis saja mereka masih menggantinya dengan kata burung. Selain itu ketika santri belum memahami tentang materi tersebut kebanyakan masih merasa malu mengungkapkannya karena dianggap tabu.

Sementara itu merebaknya berbagai mitos masih dianggap sebuah keniscayaan yang kadang tidak sempat mencari alasan secara logikanya. Misalnya saja mitos tentang keperawanan, bahwa perempuan yang tidak mengeluarkan darah ketika malam pertama berhubungan seksual itu berarti sudah tidak perawan. Hal ini kadang menjadikan sebuah kegelisahan terhadap para santri putri.

Yang lebih fatal lagi ketika sebuah mitos terlanjur dianggap sebagai ajaran Islam. Contohnya masalah perempuan yang sedang haid dilarang keramas. Selama satu sampai tuiuh hari ketika perempuan sedang haid harus bertahan dengan rambut yang kotor karena tidak keramas. Padahal keramas itu untuk kebersihan, kesucian dan kesehatan. Masalah tersebut sempat penulis teliti dengan menanyakan pada ke enam pesantren di wilayah III Cirebon[1], bahwa masalah itu apakah memang dianjurkan oleh ajaran Islam atau tidak, jika benar dari mana referensinya? Dari kitab apa? Ternyata tidak ada satu pesantrenpun yang menemukan referensi yang valid tentang hal itu. Artinya bahwa memang itu mitos yang terlanjur bias dan dianggap berasal dari ajaran Islam.

Pembahasan kespro dan seksualitas di pesantren memang belum cukup untuk memberikan informasi dan pengetahuan itu secara lengkap untuk para santri, terutama dari aspek medis. Selain karena di pesantren belum ada tenaga pendidikan segi medis juga memang tidak ada sentuhan dari dinas kesehatan. Alasannya tidak ada program kesehatan untuk pesantren[2]. Dinas kesehatan hanya mau membantu ke pesantren-pesantren ketika ada permohonan dari pihak pesantrennya.

 

 

 



[1] Pada pelatihan Islam, kespro dan seksualitas yang diselenggarakan oleh Fahmina Institute Cirebon di Hotel Sunyaragi pada tanggal 26-28 Oktober 2011

[2] Hal tersebut sempat penulis tanyakan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten Cirebon ibu Yuswati.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya