“Tidak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali mengalami cacimaki dari orang-orang bodoh. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang-orang pinggiran.”
Jika hari ini atau beberapa waktu lalu ada banyak tokoh agama atau pemimpin organisasi keagamaan di negeri ini, oleh sebagian orang dituduh menyimpang dari agama, maka itu bukanlah peristiwa aneh. Sepanjang sejarah peristiwa seperti itu selalu ada.
Kita sudah membaca sejarah umat manusia sejak zaman sebelum Masehi, di berbagai belahan bumi. Banyak ulama, cendikia dan pemikir besar yang dicintai oleh banyak orang, tetapi juga dimusuhi oleh sejumlah orang.
Orang-orang besar di manapun selalu mengandung kontroversi: dikagumi dan dicemooh dalam waktu yang sama. Ka’ab al-Ahbar, seorang ahli tafsir berbagai kitab suci, mengatakan :
مَاكَانَ رَجُلٌ حَكِيْمٌ فِى قَوْمِهِ قَطُّ اِلَّا بَغَوْا عَلَيْهِ وَحَسَدُوهُ
“Tak ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu ada orang-orang/kelompok yang mencaci-maki dan mendengki dia”.
Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 M), ulama besar, seorang einsiklopedis dengan ratusan karya tulisnya, mengatakan hal yang sama, tetapi dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda:
مَاكَانَ كَبِيْرٌ فِى عَصْرٍ قَطُّ اِلَّا كَانَ لَهُ عَدُوٌّ مِنْ السَّفَلَةِ. إِذِ الْاَشْرَافُ لَمْ تَزَلْ تُبْتَلَى بِا لْاَطْرَافِ
“Tidak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali mengalami cacimaki dari orang-orang bodoh. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang-orang pinggiran.”
Para tokoh bijak-bestari (Hukama) itu, bukan hanya disumpah-serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan, dibid’ahkan, dizindikkan (diateiskan) dan disingkirkan oleh :
Pertama, mereka yang tak matang secara intelektual dan spiritual. Dua, mereka yang pikirannya tergantung pada bentuk-bentuk kredo formal dan teks-teks literal keagamaan. Tiga, penganut fanatisme pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yang lain.
Imam al Ghazali, sang sufi besar menyebut mereka itu sebagai “orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas. Pengetahuan mereka dangkal.”
Di luar itu, boleh jadi, mereka yang mengaku atau mengklaim paling benar sendiri sambil menyalahkan dan menyesatkan orang lain, sesungguhnya tak lebih dari orang-orang yang gelisah atas kondisi ketakberdayaan diri atau jiwa yang selalu dibayang-bayangi oleh ketakutan yang berlebihan. Mereka adalah orang-orang yang merasa terancam dan depresif.
Fanatisme, radikalisme, atau ekstrimisme, kata seorang psikolog, adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian, dari kebingungan yang akut dan dari kecemasan yang menghantui lubuk
hatinya serta dari rasa ketidakmampuan mengatasinya.
Sejarah kemudian bicara : para ulama dan tokoh besar itu hidup abadi. Nama mereka terus disebut dalam kekaguman. Kata-kata bijak mereka terus dikutip, dipahat dan menjadi prasasti.
Akhir Sejarah
Sejarah kemudian bicara : para ulama dan tokoh besar itu hidup abadi. Nama mereka terus disebut dalam kekaguman. Kata-kata bijak mereka terus dikutip, dipahat dan menjadi prasasti. Sementara orang-orang yang mengolok-olok itu hilang lenyap ditelan bumi dan menjadi cerita buruk.
(Baca Artikel terkait: Memperoleh Hikmah dari Bijak Bestari )
Ibnu Sayyid al-Bathalyusi (w. 1127 M) menulis indah :
أخو العلم حيٌّ خالدٌ بعد موته
وأوصاله تحت التراب رميم
وذو الجهل ميت وهو ماشٍ على الثرى
يظن من الأحياء وهو عديم
Orang berilmu hidup abadi,
meski tulang belulangnya berkalang tanah dan hancur lebur
Orang bodoh adalah wujud yang mati meski dia berjalan-jalan di atas tanah,
Dia mengira dirinya hidup
padahal dia tidak ada.
(Baca juga: Berbicara Ala Nabi )