Setiap teks (ayat suci) tidak dihadirkan ke dalam ruang sunyi-senyap-sepi, melainkan selalu ada rePratinjau (tautan akan dibuka di jendela baru)alitas manusia dengan beragam nuansa dialeka sosial-budaya-politik-ekonominya dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya dengan seluruh kompleksitasnya.
Teks-teks hadir untuk merespon realitas dan peristiwa-peristiwa tersebut. Ia tidak ada (hadir) dengan sendirinya. Ia ada (hadir), karena ada yang mengadakan/menghadirkannya, dan ada alasan mengapa ia perlu atau harus mengada.
Kegelisahan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab (w. 24 H) adalah pengganti kepemimpinan Nabi kedua sesudah Abu Bakar al-Shiddiq. Ia menjadi khalifah atas penunjukan Abu Bakar menjelang wafatnya. Para sahabat kemudian menyetujuinya. Ia lebih suka disebut “Amir al-Mukminin”, daripada : “Khalifah”. Meski pemimpin besar dengan kekuasan yang luas, gaya hidup Umar amat bersahaja. Ia menolak gaya hidup para raja. Kepemimpinannya dikenal tegas tetapi adil. Sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar menginisiasi sistem kalender Islam yang diawali dari tanggal 1 Hijriah Nabi..
Umar bin Khattab dikenal sangat cerdas, kreatif, inovatif dan visioner. Abbas Mahmud Aqqad menyebutnya “Abqari” (si genius). Beberapa inisiatifnya mendapat respon positif Tuhan. Para ahli Islam menyebutnya dengan istilah “Muwafaqat Umar” .
Imam al-Suyuthi menyebut ada 20 gagasan/pendapat/usulan Umar kepada Nabi yang dengan segera disetujui Tuhan. Antara lain : “Umar berharap “maqam” Ibrahim dijadikan tempat shalat. Lalu turunlah ayat yang meresponnya (Q.s. al-Baqarah, 125).
Kedua, Umar berharap ruang pertemuan laki-laki dan perempuan di rumah Nabi dipasang “Hijab”(tirai pembatas). Lalu turunlah ayat Hijab (Q.s. Al-Ahzab, 53).
Catatan : Hijab artinya tirai, kain penutup yang memisahkan dua kelompok, bukan kerudung/penutup kepala perempuan.
Ketiga, Umar menyesal telah berhubungan intim dengan isterinya pada malam hari bulan Ramadan. Lalu turunlah ayat : “Aku halalkan kalian berhubungan intim dengan isteri pada malam bulan puasa”.(Q.s. Al-Baqarah, 187).
(Baca juga artikel terkait: Bagaimana Memahami Hukum Allah?)
Umar juga banyak melakukan pembaruan hukum. Sejumlah keputusan hukumnya menimbulkan kontroversi.
Imam al-Syathibi dalam bukunya yang sangat terkenal “Al-Muwafaqat fi Ushul al-syari’ah” menulis “ :
خلا عمر ذات يوم فجعل يحدث نفسه : كيف تختلف هذه الامة ونبيها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: ” يا امير المؤمنين, إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا ما فيم نزل, وانه سيكون بعدنا أقوام يقرؤون القرآن ولا يدرون فيم نزل فيكون لهم فيه رأى, فإذا كان لهم فيه رأى إختلفوا, فإذا اختلفوا إقتتلوا. قال فزجره عمر وانتهره, فانصرف ابن عباس,ونظر عمر فيما قال, فعرفه فأرسل اليه فقال : اعد علي ما قلت. فأعاده عليه فعرف عمر قوله واعجبه, وما قاله صحيح فى الاعتبار ويتبين بما هو اقرب. (الموافقات, ج 3 ص 348
Suatu hari, Umar merenung seorang diri di suatu tempat yang sepi. Ia bergumam sendiri : “Mengapa masyarakat muslim sering konflik, dan bertengkar, padahal Nabinya sama dan kiblatnya juga sama”.
Tiba-tiba Abdullah bin Abbas, lewat dan melihat Umar bin al-Khattab yang tampak gelisah itu. Ia adalah sahabat yang didoakan Nabi “ semoga dia diberikan pengetahuan tentang agama dan cara memahami teks agama”. Ia lalu menghampiri dan menanyakan kepada Umar ; ”apakah gerangan yang sedang engkau pikirkan, wahai Amir al-Mukminin”. Umar lalu menyampaikan isi pikiran di atas.
Ibnu Abbas mencoba berbagi pendapat : “Tuan Amirul Mukminin yang terhormat. Teks-teks suci Al-Qur’an diturunkan kepada kita dan kita membacanya. Kita mengetahui dalam hal apa dan bagaimana ia diturunkan. Kelak di kemudian hari orang-orang sesudah kita (generasi demi generasi) juga akan membaca al-Qur’an, tetapi mereka tentu tidak mengetahui dalam hal apa dan bagaimana ia diturunkan. Masing-masing orang itu lalu berpendapat menurut pikirannya sendiri-sendiri. Mereka kemudian saling menyalahkan satu atas yang lain, dan sesudah itu mereka boleh jadi akan saling membunuh (atau bermusuhan).”
Atas pernyataan itu, Umar menghardik Ibnu Abbas: “kau jangan bicara sembarangan!”. Maka Ibnu Abbas pulang meninggalkannya sendirian. Umar tercenung dan merenungi kata-katanya, lalu memanggilnya dan memintanya mengulangi kata-katanya. Umar membenarkannya sambil mengaguminya sebagai kebenaran yang perlu dipegang dan dijadikan dasar.” (Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat, III/348).
Ya, kita sering membaca Al-Qur’an seayat demi sedikit ayat tanpa melihat ayat-ayat yang lain dan tanpa mencari informasi tentang kapan, di mana, kepada siapa ia ditujukan, mengapa dan dalam situasi apa ia diturunkan. Lalu membuat kesimpulan berdasarkan makna tekstualnya, semata. Ini akan bisa menimbulkan kontradiksi antar ayat dan kekeliruan besar.
Al-Syathibi memberi contoh. Ibnu Wahb bertanya kepada Nafi’. Bagaimana pendapat Ibnu Mas’ud tentang pikiran dan tindakan kelompok sempalan ”Haruriyah” atau biasa dikenal sebagai kelompok radikal Khawarij. Ia menjawab: ”Mereka makhluk Tuhan paling buruk (Annahum Syirar Khalq Allah). Mereka berargumen dengan teks-teks agama yang diturunkan (diarahkan) terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran (al-Kuffar/orang-orang kafir), tetapi menggunakannya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah (al-Mu’minun/orang-orang beriman)”.
Baca juga artikel terkait: Memaknai Ayat-Ayat Qat`i
Baca juga: Debat nasi Goreng: Santri tektual dan kontekstual
Teks-Teks Hadir Untuk Merespon Realitas
Informasi di atas memberikan pengetahuan kepada kita bahwa setiap teks tidak dihadirkan ke dalam ruang sunyi-senyap-sepi, melainkan selalu ada realitas manusia dengan beragam nuansa dialeka sosial-budaya-politik-ekonominya dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya dengan seluruh kompleksitasnya.
Teks-teks hadir untuk merespon realitas dan peristiwa-peristiwa tersebut. Ia tidak ada (hadir) dengan sendirinya. Ia ada (hadir), karena ada yang mengadakan/menghadirkannya, dan ada alasan mengapa ia perlu atau harus mengada.
فَاِذَا عَرَفَ السَّبَبَ تَعَيَّنَ الْمُرَادُ
“Maka, jika orang mengetahui latarbelakang sejarah teks, dia akan tahu apa maksudnya”.
الجهل بالسبب موقع فى الاشكالات
“Ketidak tahuan orang atas latarbelakang kehadiran teks akan membuatnya terperangkap dalam situasi problematik dalam memahami teks dengan benar”.
Pada akhirnya, kegagalan memahami itu semua, bisa menjadi bencana besar bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan.
Baca Juga: Kontektualisasi Fiqih
Baca juga: Kontektualisasi Fiqih :Upaya Mengindonesiakan Fiqh Kearab-Araban