Sepenggal puisi tentang gereja dan kegelisahannya itu bukan lahir dari tangan pendeta, pastor, atau biarawati, melainkan dari pena Kiai Haji Maman Imanulhaq Fakieh (34) yang telah mengemban tanggung jawab mengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Mizan di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Seperti KH Mustofa Bisri dari Rembang, Maman suka menulis puisi. Lahir di Sumedang pada 8 Desember 1972, Maman menempuh pendidikan berbasis keagamaan tradisional sejak usia belia. Ini salah satu faktor yang menurut dia membuat fanatisme terhadap agamanya begitu kental.
“Awalnya saya berpikir bahwa kebenaran itu tunggal. Hanyalah golongan kita yang benar dan golongan lainnya salah,” tutur Maman, Selasa (17/10).
Kerusuhan Mei 1998 menjadi titik awal kegelisahan Maman mengenai hidup dalam keragaman. Daerah Jatiwangi, yang termasuk urat nadi perekonomian Kabupaten Majalengka, tak luput dari amuk massa. Daerah yang merupakan sentra industri genteng itu juga ditinggali etnis Tionghoa.
“Banyak orang bergerak menghancurkan gereja, rumah dan toko milik warga keturunan Tionghoa sambil meneriakkan kata ’babi’,” ungkap Maman. Tragedi itu membuatnya berpikir, benarkah Tuhan membiarkan hal itu terjadi.
Kegelisahan mengantarnya bertemu dengan orang-orang yang telah lebih dulu memercayai pluralitas sebagai sebuah keniscayaan dalam hidup. Ia pun bersilaturahmi ke beberapa ulama dan pesantren, antara lain KH Khoer Afandi dan Mama Bantargedang di Tasikmalaya, KH Mudzakir di Pekalongan, serta KH Taufiq Rohman dari Tambak Beras, Jombang.
Ia pun aktif berkomunikasi dengan “tetangga dekat”, seperti KH Husein Muhammad dari Pesantren Dar Al Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, yang menginterpretasikan hukum Islam secara progresif.
“Saya juga membaca ulang berbagai kitab. Dan ternyata menemukan penafsiran yang berbeda dari keyakinan sebelumnya,” tutur Maman. Satu hal yang kemudian ia yakini adalah bahwa Allah itu tunggal, sedangkan makhluknya beragam. “Dalam sebuah kitab dikatakan, Tuhan sekalian alam dan bukan Tuhan untuk orang Islam saja.”
Selanjutnya, Maman ingin berbuat sesuatu hal yang berhubungan dengan berbagai kalangan. “Musuh agama bukanlah agama lain. Musuh agama adalah kebodohan. Sebab itu, semua agama harus bergerak untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan,” ujar Maman.
Melalui dialog-dialog dengan berbagai golongan, Maman menemukan bahwa misi semua agama adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Di satu sisi, ia melihat orang-orang yang begitu fanatik terhadap agamanya sehingga kontraproduktif dengan misi kemanusiaan. Namun, di sisi lain ia menemukan banyak pribadi yang kehilangan kepercayaan pada agama. Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan: “Agama penting selama tetap berpihak pada kemanusiaan,” ujar ayah dari Fahma, Hablie, dan Ghaitsa ini.
Tidak setuju
“Keyakinan baru”-nya itu bukannya bebas hambatan. Tantangan juga datang dari orang- orang terdekat. “Semula, orangtua saya pun tak terlalu setuju ketika saya banyak bergaul dengan pendeta. Namun, lama-lama beliau bisa memahami juga,” ungkap Maman yang pada tahun 2004 mengikuti program Interreligious Dialogue di Ohio University, Amerika Serikat.
Pemahamannya terhadap pluralitas juga memengaruhi “karier”-nya sebagai kiai. “Ada pihak-pihak yang tak setuju sehingga saya tidak lagi diundang untuk ceramah di beberapa tempat,” ujar Maman.
Namun, pemimpin Ponpes Al-Mizan yang sering mengundang tokoh agama lain untuk menjelaskan suatu materi kepada santri-santrinya ini mengaku tidak terganggu. Toh, dakwahnya tak mampet. “Ketika sebuah pintu ditutup, sering ada celah yang membuat saya bisa masuk,” kata Maman.
Seperti Emha Ainun Nadjib, Maman menggunakan media seni sebagai salah satu sarana menyampaikan pesan-pesan religius tanpa bersifat menggurui. Selain puisi, pria kelahiran Sumedang ini akrab dengan berbagai bentuk kesenian kontemporer maupun tradisional.
Komunitas Gamelan Shalawat Qi Buyut adalah salah satu kelompok binaan Maman. Gamelan ini sering mengiringi dakwah Maman. Anggotanya adalah anak-anak jalanan yang mau bergabung. Semula, mereka enggan saat pertama kali didekati seorang kiai.
Saat mendekati mereka, Maman tidak ingin merebut kebebasan mereka. Juga tidak langsung memvonis bahwa perilaku mereka salah. Cara ini membuat mereka tak enggan bergabung. Mereka, yang semula akrab dengan musik-musik populer, pelan-pelan erat dengan lagu-lagu shalawat.
“Selama ini dakwah sering kali menjadi sarana hegemoni nilai-nilai yang diyakini satu pihak terhadap pihak lain. Namun, di sini kami belajar satu sama lain,” kata Maman. []
Sumber: http://www.kompas.com