Jumat, 13 Desember 2024

IBADAH HAJI; Deklarasi Peradaban Kemanusiaan

Baca Juga

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. al-Hajji; 22:27).

Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik. Innalhamda wanni’mata laka walmulk, la syarika lak. Musim haji telah tiba. Sebagian umat Islam yang mampu di penjuru dunia, termasuk di Indonesia, sudah mulai gegap gempita mempersiapkan dirinya melakukan perjalanan ke tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebagai salah satu rukun Islam, Ibadah haji berbeda dari ibadah-ibadah lainnya. Ia hanya diwajibkan sekali dalam seumur. Ia juga hanya diwajibkan bagi yang mampu. Ini bermakna, seorang yang menger-jakannya lebih dari satu kali, maka yang lebih itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Demikian juga orang yang tidak mampu, tidak wajib baginya mengerjakan haji.

 

Ibadah haji bukan hanya sekedar lembaran sejarah yang harus diisi oleh kehidupan seorang muslim. Haji juga bukan sekedar sepetak lahan di jazirah gersang bernama Hijaz, yang tiap tahun dihadiri oleh jutaan ummat manusia. Bukan juga hanya sekedar rangkaian amal ibadah dengan tata cara ketat yang harus dijalani oleh seorang muslim. Lebih dari semua itu, ibadah haji adalah rahmat Ilahi yang diturunkan tiap tahun pada waktu-waktu tertentu. Jauh di balik berbagai tata cara ibadah haji yang indah itu, tersembunyi rahasia, idealisme dan hikmah yang sangat besar.

 

Makna sosial yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji adalah kesamaan (egaliter) dihadapan Allah dan lambang persatuan dan kesatuan umat. Tidak ada perbedaan pejabat dengan rakyat jelata, orang kaya dengan orang miskin, kulit hitam dengan kulit putih dan berbagai status sosial lainnya yang selama ini dibanggakan manusia. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita”, sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Penonjolan “keakuan” adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah.

Ini adalah pesan kemanusiaan Islam yang disimbolkan dengan hanya mengenakan pakaian ihram yaitu kain putih. Karena yang mulia disisi Allah bukan pejabat, orang kaya, kulit putih, suku arab atau status sosial lainnya, melainkan takwalah yang menyebabkan kemuliaan manusia dihadapan Allah.  Terkait dengan hal ini Ali bin Abi Thalib mengatakan; “Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi. Siapa saja yang dalam ibadah haji ini mampu menyingkirkan perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan duniawi, ia akan merasakan adanya kesucian, kebaikan hati, kesetaraan dan kasih sayang pada jiwanya. Setelah itu, ia akan menyebarkan berbagai hal yang indah itu di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu rangkaian ibadah haji adalah menyembelih hewan kurban. Ibadah haji dan kurban juga menunjukkan semangat ketundukan secara mutlak terhadap segala yang diperintahkan oleh Allah. Ibadah kurban, mengajak ummat manusia di dunia agar selalu melakukan pembelaan, menolong, berbagi dan berkorban untuk sesama. Surah Al-Haj ayat 37, mengisyaratkan kepada ummat Islam bahwa yang paling penting dari ibadah kurban adalah semangat untuk terus menempa diri hingga menjadi hamba yang bertakwa. Disebutkan dalam surat itu bahwa daging dan darah hewan sembelihan itu tidak akan sampai kepada Allah, karena memang Allah tidak membutuhkan semua itu, dan yang dinilai oleh Allah adalah ketakwaan kita.

Deklarasi Peradaban Kemanusiaan

Pembangunan Ka’bah oleh Ibrahim adalah pembangunan peradaban dunia baru. Sebuah peradaban yang didirikan bukan hanya di atas nilai-nilai meterialisme (duniawi), melainkan dasar dari nilai-nilai keilahian yang sifatnya spiritual. Nilai inilah yang diwariskan Ibrahim untuk kemudian dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw. Untuk itu, melalui haji ini umat Islam dituntut untuk meraih pencerahan ruhani dengan cara memperbaiki diri selama di tanah suci untuk diaktualisasikan dalam rangka membangun peradaban baru di tempatnya masing-masing dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang disampaikan Nabi Muhammad saw dalam khutbahnya pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan; persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik dibidang ekonomi maupun fisik. Apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw ini merupakan deklarasi nilai kemanusiaan dalam Islam yang harus dijalankan oleh umatnya.

Makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran dipentas bumi ini. Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya.

Kemanusiaan menjadikan mahluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin mahluk-mahluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah mahluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah mahluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertanggung rasa dalam berinteraksi.Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual atau dalam tuntunan non ritual, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengalaman kemanusiaan universal.

Idealitas dibalik haji, terkadang tidak berjalan sesuai tujuan awalnya. Bahkan yang terlihat adalah makna yang sebaliknya manakala dibenturkan dengan realitas sehari-hari terutama yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Haji dalam perspektif ajaran Islam, merupakan tingkat kesempurnaan dari lima rukun Islam. Artinya dalam derajatnya sebagai ibadah mahdlah, haji adalah ibadah yang nilai ubudiyahnya paling tinggi. Oleh karena itu hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya. Dengan demikian orang yang berhaji berarti orang yang sudah mengalami puncak pendakian ibadah kepada Allah SWT. Dengan kualitas ibadahnya itu tentunya ia mempunyai tingkat kesalehan dan kearifan yang paripurna, yakni kesalehan individual plus kesalehan sosial. []


Penulis adalah  Pengasuh Pesantren Ulumuddin Susukan dan
sekarang Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon

(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VI ed. 23 – tanggal 07 Desember 2007)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Refleksi Gerakan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Cirebon: Menjaga Keberagaman dan Mencegah Kekerasan Berbasis Agama

Oleh: Zaenal Abidin Gedung Negara Cirebon menjadi saksi momen bersejarah pada Rabu, 11 Desember 2024, saat Panggung Kolaborasi puncak peringatan...

Populer

Artikel Lainnya