Mereka menuntut agar syari’at Islam dapat diberlakukan dan masuk ke dalam hukum positif sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi. Demikian juga di daerah. Kehendak untuk memformalkan syari’at Islam ke dalam hukum positif, juga terus disuarakan oleh partai-partai Islam dan ormas-ormas tertentu. Bahkan di beberapa daerah, justru kepala daerah berinisiatif untuk menerapkan syari’at Islam dalam bentuk Perda, Surat Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) dan bentuk peraturan lainnya.
Fenomena mutakhir yang muncul di daerah, sebagaimana di gambarkan di atas, pada dasarnya tidak lepas dari adanya perubahan regulasi antara pusat dan daerah. Penerapan Undang-undang No 22 tahun 1999 yang diberlakukan pada 1 Januari 2001 dan perubahannya UU No. 34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberi peluang besar bagi daerah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan daerah. Maka yang terlihat adalah kontestasi daerah baik tingkat I (Propinsi) maupun tingkat II (Kabupaten dan Kota) dalam melahirkan berbagai aturan. Akibatnya ledakan regulasi daerah tidak bisa dihindarkan lagi.
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk formalisasi syari’at Islam (SI) melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok yang penting untuk dicermati. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai ekses dari otonomi daerah, tetapi juga cerminan kegamangan masyarakat dalam menyikapi perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda seperti dalam berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan dengan sistem pemerintahan yang ‘korup’. Dalam hal ini syariah Islam dianggap paancea yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit
Selain itu semangat formalisasi juga diklaim sejumlah daerah sebagai media untuk mengembalikan identitas lokal yang pernah hilang selama pemerintahan Orde Baru. Dengan munculnya identitas lokal ini diharapkan akan mengembalikan corak masyarakat Islam yang pernah jaya sewaktu zaman pra kemerdekaan dulu.
Dua motivasi di atas dalam konteks demokratisasi dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi yang sah sebagaimana yang digariskan Undang-undang Dasar. Namun secara spesifik semangat ‘syariatisasi’ tersebut berpotensi memunculkan kerawanan di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Dampak paling luas tentu akan dirasakan oleh kelompok minoritas yang berada di daerah tersebut seperti kalangan nonmuslim, kelompok kepercayaan lokal dan kaum perempuan. Apalagi jika yang dikedepankan bukan substansi Islam dalam rangka prilaku masyarakat.
Fenomena formalisasi syari’at Islam di beberapa daerah ini semakin terasa setelah reformasi digulirkan pada 1998. Sebelumnya, hanya Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan syari’at Islam di daerahnya, yang belakangan disetujui pemerintah pusat melalui otonomi khusus. Sekarang, dalam rentang waktu yang relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Dompu NTB, Lombok Timur, Banten, Pamekasan Jatim, Riau, Padang, Ternate, Gorontalo dan beberapa daerah di Jawa Barat, sedang melakukan penggodokan untuk menetapkan beberapa peraturan daerah tentang syari’at Islam. Bahkan propinsi NAD secara resmi telah menerapkan qanun syariat islam.
Di Jawa Barat, peraturan yang bernuansa syariat Islam, hampir diproduksi oleh tiap daerah seperti Tasikmalaya, Banjar, Cianjur, Garut, Bandung, Sukabumi, Kuningan, Majalengka, Cirebon dan Indramayu. Regulasi yang dikeluarkan juga beragam bentuknya, mulai dari larangan perjudian, jum’at khusu, wajib zakat, kewajiban memakai jilbab bagi siswi, anjuran membaca Al-Qur’an sebelum melakukan aktivitas, larangan prostitusi, kewajiban menyertakan sertifikat Madrasah Diniyah bagi siswa yang hendak melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.
Di antara daerah di Jawa Barat, yang belakangan getol memproduksi lagislasi yang berbasis agama, sebagaimana disebutkan di atas, adalah Kabupaten Indramayu. Sebagai salah satu daerah yang terletak di pantai utara Jawa Barat, daerah ini telah memiliki beberapa kebijakan yang berkaitan dengan syari’at islam. Berdasarkan informasi yang ada, beberapa regulasi yang telah dikeluarkan diantaranya Perda No. 30 tahun 2001 tentang pelarangan peredaran dan pengunaan minuman keras revisi perda No.7 tahun 2005, perda No. 7 dan perubahannya No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi, Perda tentang Kewajiban menyertakan Sertifikat Diniyah bagi Siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Surat Edaran Bupati mengenai anjuran membaca Al-Qur’an 15 menit sebelum melakukan aktivitas, kewajiban menggunakan jilbab bagi pelajar dan pegawai pemda selama bekerja dan lain sebagainya.
Kebijakan ini tak pelak menimbulkan pro dan kontra, bahkan dalam masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan, karena umat Islam adalah penduduk mayoritas Indramayu, maka sudah sewajarnya syari’at Islam menjadi landasan hukum. Mereka menyerukan umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunah, agar berbagai problema sosial kemasyarakatan yang sekarang melanda indramayu dapat diatasi.
Sayangnya, tidak semua masyarakat Indramayu sepakat dengan mereka. Kelompok ini bukan tak setuju syari’at Islam, tapi menolak pemahaman keagamaan kelompok pertama. Menurut mereka, apa yang difahami kelompok pertama sebagai syari’at Islam tak lain adalah fikih yang dikembangkan ulama Islam awal. Persoalannya, dengan beragamnya sudut pandang fikih yang terdapat di negeri ini, pendapat kelompok manakah yang akan dijadikan rujukan? Bukankan pemaksaan pandangan satu versi syari’at Islam saja, justru bertentangan dengan semangat Islam sendiri? Lagi pula, bukankah selama ini syari’at Islam sudah terinternalisasi dalam sistem sosial masyarakat Indonesia? Menurut kelompok ini, ada atau tidaknya peraturan daerah tentang syari’at Islam, masyarakat toh sudah hidup dengan tuntunan syari’at.
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di masyarakat, Bupati Indramayu dengan bangga terus menyuarakan berbagai kebijakannya ke masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penerapan syari’at Islam. Dalam beberapa kesempatan, dia terus mengutarakan keinginannya untuk menjadikan indramayu sebagai daerah yang religius. Bahkan pada kali kedua dia berkesempatan untuk mencalonkan menjadi Bupati periode 2005-2010, jargon yang di munculkan adalah Indramayu REMAJA (Religius, Maju dan Sejahtera). Jargon ini ternyata mendapat simpati, baik oleh masyarakat maupun partai politik. Terbukti pada pemilihan yang dilaksanakan 22 September 2005 Pasangan Irianto Mahfudz Sidik Syafiudin (Yance) dan Heri (Sekda Indramayu) yang diusung partai Golkar menang telak mengungguli dua pasangan lawannya yang diusung PKB dan PDI Perjuangan. Dengan dukungan masyarakat dan partai lain seperti PPP, PBB, PKS Yance memperoleh suara 69,70%. Sementara lawannya Dedi Wahidi dan Komar yang diusung PKB dan Partai Demokrat hanya memperoleh 20% dan calon dari PDIP hanya 15 %.
Kenyataan ini menunjukan bahwa ghirah keagamaan yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, ternyata mampu menarik simpati masyarakat. Masyarakat, terlepas dari segala keterbatasannya dalam memahami untuk menutupi persoalan lain yang sebenarnya lebih mendasar. Padahal dalam realitasnya banyak persoalan yang lebih mendasar belum mendapat perhatian serius dari Bupati.
Meski beberapa persoalan mendasar yang terjadi di Indramayu sampai saat ini masih menyelimuti. Namun bupati, kelihatan lebih memilih untuk memunculkan kebijakan yang berkaitan dengan agama. Beberapa masalah mendasar yang sampai saat ini masih menjadi persoalan seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kerusakan lingkungan, korupsi, pengangguran, kejahatan trafiking, dan lain sebagainya, nampak belum menjadi prioritas utama untuk segera diselesaikan.
Berangkat dari permasalahan di atas, muncul sebuah pertanyaan, kenapa Bupati Indramyu lebih mengutamakan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan syari’at Islam? Bagaimanakah tanggapan dan respon masyarakat, legislatif dan ormas Islam terhadap beberapa kebijakan tersebut? Bagaimana tanggapan masyarakat minoritas (nonmuslim) merespon kebijakan tersebut? Apakah dampak yang ditimbulkan dari adanya penerapan kebijakan tersebut? []