Kitab yang dibaca dan dikaji oleh Kyai Husein di Fahmina adalah ”Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,” karya Ibnu Rusyd. Adapun pokok bahasan yang dibaca dan dikaji adalah bab nikah. Ada beberapa alasan dikemukakan kenapa memilih kitab tersebut, dan kenapa mengkaji perihal pernikahan. Pertama, karena ”Bidayatul Mujtahid” adalah kitab fiqh perbandingan (fiqh muqarran) yang memuat beragam pandangan ulama dengan beragam argumen yang dikemukakan. Mengkaji kitab ini berarti juga mengenalkan keragaman pandangan dalam beragama. Sehingga peserta pengajian diharapkan mengenal dan memahami keragaman tersebut dan menjauhi sikap picik, mudah menyalahkan orang lain serta mau menangnya sendiri.
Kedua, karena kitab ini merupakan karya ulama besar dan filosof Islam kenamaan, Ibnu Rusyd. Beliau adalah salah seorang tokoh rasionalis dalam sejarah Islam, yang karya-karyanya menjadi inspirasi bagi kemajuan dunia Barat sekarang ini. Dia adalah sang maestro rasionalitas dunia Islam, sebagaimana Imam al-Gahzali sang maestro spiritualitas dalam dunia Islam. Sebagaimana tokoh-tokoh besar lainnya dalam sejarah, karena pikiran-pikirannya, Ibnu Rusyd mendapatkan banyak tantangan dari masyarakat dan penguasa saat itu. Buku-bukunya sebagian besar dibakar karena dianggap membahayakan. Bidayatul Mujtahid adalah salah satu buku yang selamat dan sampai pada zaman kita sekarang ini.
Adapun kenapa bab nikah yang dibahas secara khusus, ini karena hanya dalam persoalan nikahlah hukum Islam (fiqh) masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Selain itu, nampaknya aturan-aturan hukum Islam tinggal nama dan normanya saja, karena ada kesulitan untuk menerapkannya.
Dalam mengkaji mengenai pernikahan ini beberapa yang dibahas secara panjang lebar adalah soal hukumnya nikah, wali nikah, menikah tanpa wali, ijbar (hak bapak dalam menikahkan anak perempuannya yang masih perawan), nikah beda agama, cerai, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pernikahan.
Masalah yang paling utama dalam pembahasan nikah adalah definisi nikah itu sendiri, demikian Kyai Husein memulai penjelasannya mengenai nikah. ”Apakah nikah itu berarti kontrak atau persetubuhannya itu”, tambahnya. Menurutnya jawaban pertanyaan ini menjadi penting. Karena masing-masing jawaban akan mengandung konsekwensi-konsekwensi hukum yang berbeda. Bila nikah dimaknai kontrak perkawinan antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hidup bersama, maka anak yang dihasilkan di luar perkawinan, secara hukum Islam tidak dianggap anak bapaknya. Parahnya, karena secara hukum anak tersebut tidak dianggap anak bapaknya, maka bisa sah secara fiqh untuk menikah dengan bapaknya. Memang akan berbeda bila nikah dimaknai juga persetubuhan. Tetapi sejauh ini para ulama fiqh menyatakan bahwa nikah selalu mengandung dua unsur utama yaitu kontrak dan persetubuhan. Dan nampaknya kontrak perkawinan adalah hal yang utama.
Mengenai hukum nikah, bila pandangan umat Islam pada umumnya menyatakan bahwa nikah itu sunnah, maka kyai Husein dengan berpegang pada kitab kuning menyatakan bahwa hukum nikah itu tergantung pada kondisinya. Nikah menjadi wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Nikah menjadi wajib, bila memang sudah mampu secara ekonomi dan takut tergelincir pada perbuatan dosa. Nikah menjadi haram, bila dilakukan hanya untuk main-main dan menyakiti perempuan. Nikah menjadi makruh, bila memang belum cukup memiliki bekal ekonomi yang memadai. Nikah menjadi sunnah kalau sudah mampu secara ekonomi dan memang dinginkan oleh pasangan yang bersangkutan
Berikutnya yang dibahas panjang lebar dalam bab nikah adalah soal perwalian nikah. Dalam hal ini standarnya ada dua macam. Ada ulama yang berpegang pada standar apakah perempuan yang mau menikah janda atau gadis. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa standarnya adalah apakah perempuan yang mau menikah tersebut, dewasa atau belum dewasa.
Dalam kitab ini, Imam Syafii menyatakan bahwa standarnya adalah apakah seorang perempuan itu janda atau gadis. Seorang perempuan janda berhak menyatakan tidak atau menerima pasangan laki-lakinya. Sementara gadis, tidak begitu memiliki hak menentukan. Diamnya perempuan gadis dianggap persetujuannya, dalam hal ini walinya lebih berhak menentukan pasangannya. Meski seorang gadis itu sudah berumur bahkan lulusan S3 sekalipun, dalam fiqh Syafii dikatakan bahwa walinya lebih berhak dari dirinya sendiri. Sementara itu meski masih sangat mudah, tetapi jika seorang perempuan berstatus janda maka ia berhak menentukan pasangannya sendiri. Karena itu dalam fiqh ini, janda bisa menikah tanpa wali, sementara gadis tidak.
Berbeda dengan Imam Syafii, Imam Hanafi lebih condong memilih standar apakah seorang perempuan sudah dewasa atau belum. Jadi biar masih gadis, tetapi kalau sudah berumur dan dewasa, maka menurutnya berhak menentukan pasangannya sendiri. Tetapi meski sudah berstatus janda tetapi masih kecil dan belum dewasa, maka walinya lebih berhak dari dirinya. Nampaknya pandangan Hanafi lebih modern, kata Kyai Husein. Dalam hal ini Kyai Husein berkomentar bahwa sejatinya soal dewasa dan belum dewasa itu sulit mencari ukurannya. Sedangkan bahasa hukum itu harus jelas ukurannya. Dalam hal ukuran, nampaknya Imam Syafi’i lebih kongkret.
Sementara itu untuk laki-laki, seluruh ulama fiqh sepakat bahwa laki-laki memiliki hak secara mutlak menentukan pasangannya sendiri. Sekilas nampak bahwa fiqh Islam sangatlah diskriminatif terhadap perempuan. ”Memang bila kita melihatnya dalam kaca mata sekarang ini yang sudah menegnal wacana dan kesadaran kesetaraan jender” ujar Kyai Husein. Dalam hal ini kita harus bijak dan tidak begitu saja menyalahkan ulama dahulu. Mungkin saja dalam konteks zamannya, pandangan ulama yang kita anggap diskriminatif ini adalah pandangan yang cukup revosulioner. Karena memang sebelumnya perempuan justru diperlakukan lebih buruk lagi, dinikahi dan diceraikan begitu saja, semau-manya laki-laki, bahkan tidak jarang tanpa aturan apa pun.
Adapun perbedaan pandangan para ulama atau antar mazhab muncul lebih karena perbedaaan lingkungan sosial, situasi politik dimana ulama itu hidup. Di samping juga karena adanya perbedaan pendidikan, guru dan kapasitas pengetahuan yang dikuasai. Imam Syafii yang dalam berbagai pandangannya nampak terkesan konservatif, karena memang ia hidup dalam konteks masyarakat agraris. Sementara itu Imam Hanafi cenderung lebih berpandangan lebih moderat karena ia hidup dalam lingkungan perkotaan dan perniagaan.
Selain bab nikah, bab Thalaq (perceraian) juga tidak lupa dikaji. Dalam membahasa bab ini, penjelasan kyai Husein tidak kalah menarik. Misalnya saja soal apakah ucapan thalaq tiga dalam satu waktu itu jatuh tiga atau jatuh satu saja. Kyai menjelaskan bahwa sebagian besar ulama berpandangan bahwa thalaq tiga dalam satu waktu atau satu kesempatan itu dihitung jatuh tiga. Ini sebenarnya lebih berpegang pada fiqh atau ijtihad sahabat Umar. Sedangkan Nabi Muhamad saw sendiri sebenarnya lebih cenderung menyatakan thalaq tiga dalam satu kesempatan adalah dihitung jatuh satu. Untuk hal ini kyai menjelaskan bahwa sesungguhnya ajaran Islam melakukan pengaturan thalaq sampai ada tiga tahap, karena bertujuan agar pernikahan tidak mudah dipermainkan, dan selalu ada waktu untuk merenung dan memperbaiki hubungan. Nah kalau thalaq tiga dalam satu kesempatan jadi jatuh tiga, kan maka pernikahan justru akan mudah dipemainkan. ”Ini kan tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan syariah” tegas kyai.
Selain membaca dan menjelaskan apa yang tertulis dalam ”Bidayatul Mujtahid”, kyai Husein menjelaskan dengan berbagai sudut pandang kritisnya. Dengan berbagai tinjauan rialitas historisnya dan juga rasionalitas serta sisi-sisi kemanusiaan. Sehingga kitab klasik ini dibaca dengan cukup menarik dan tidak membosankan. Pengajian pun berlangsung hangat dari tgl 03 s/d 15 September 2008, bertempat di Fahmina dari Senin-Jum’at. Peserta pengajian ini adalah para staf dan manajer Fahmina. Di hari akhir pengajian, diselenggarakanlah acara khataman dengan menyelenggarakan buka bersama antar kru Fahmina. []