Kamis, 21 November 2024

Ketika Para Nelayan Ungkapkan Rasa Syukur

Baca Juga

nadrananJika air laut mulai pasang, sesajen itu akan segera ditenggelamkan. Puluhan warga pun tengah bersiap mengiringi prosesi pembuangan sesaji tersebut. Sementara ratusan warga baik dari Kecamatan Mundu maupun di luar Mundu, memenuhi Jalan Raya Mundu untuk menyaksikan arak-arakkan yang telah dimulai sejak pukul 07.00 pagi. Arak-arakan tersebut berangkat dari desa Mundu Pesisir, desa dimana perahu telah berjejer untuk menenggelamkan sesajen. Di sanalah, arak-arakan yang berlangsung meriah itu akan berakhir.

Membuang sesaji sekaligus kepala kerbau berarti membuang kesialan, demikian diungkapkan  Opik, salah satu warga desa Mundu Pesisir, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Acara pembuangan sesaji itulah yang menjadi acara inti dari pesta laut atau nyadran yang dilakukan warga Mundu Pesisir. Karena seminggu sebelum acara pembuangan sesaji, sejumlah rangkaian acara telah selesai digelar. Termasuk pementasan organ tunggal dan Wayang Kulit di tengah-tengah pasar murah yang memang telah digelar selama seminggu sebelumnya.

“Bagi kami, nyadran berarti ruatan. Karena kami masyarakat pesisir, kami melakukan ruatan laut. Membuang kesialan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami selalu mengadakannya, karena jika tidak, maka dikhawatirkan akan ada musibah,” papar Opik ketika ditemui Fahmina-institute pada Minggu (2/4) lalu.

Pernah, pada suatu ketika warga Pesisir Mundu hampir lalai atau telat melakukan pesta laut, namun desanya mendapat musibah. Oleh karena itulah, menurut Opik, warga Pesisir Mundu berusaha untuk selalu melakukan acara nyadran ini.

“Sebelum digelar acara nyadran, desa ini juga mendapat musibah. Terjadi perselisihan antar nelayan di laut. Dikabarkan ada lima orang meninggal dunia akibat perselisihan, tapi memang belum ditemukan mayatnya,” ujarnya menambahkan.

Lain halnya dengan dengan Opik. Tafsirun, salah satu panitia RW mengungkapkan, pesta laut adalah wujud rasa syukur  para nelayan yang ada di desa Mundu Pesisir karena telah mendapatkan rizki melimpah. Persoalan ada anggapan untuk menghindari musibah dan kesialan lainnya, bagi tafsirun tergantung dari sisi mana orang tersebut menilai acara nyadran.

“Pemahaman warga memang berbeda-beda dalam menilai acara ini. Namun yang jelas, pada bulan-bulan ini pendapatan nelayan di desa ini melimpah, terutama para juragannya. Sehingga sebagai wujud rasa syukurnya, masyarakat menggelar pesta laut ini,” jelas Tafsirun.

Sehingga para warga pun bekerjasama mengumpulkan uangnya untuk biaya sesajen dan biaya pesta laut secara keseluruhan, tambahnya.

Sedekah Laut

Di tengah kondisi zaman yang selalu berubah, tradisi pesta laut atau nyadran ini tetap dipertahankan masyarakat sejak zaman nenek moyang ini.  Di Cirebon sendiri, pesta laut atau nyadran merupakan salah satu kebudayaan Cirebon yang sampai saat ini masih menjadi tradisi. Selain di desa Mundu Pesisir, sejumlah desa lain di Cirebon juga masih ada yang mempertahankan tradisi nyadran ini.

Nyadran atau Nadran disebut juga dengan upacara buang saji atau labuh saji. Biasanya pesta laut yang merupakan peristiwa budaya ini dilakukan oleh masyarakat nelayan. Dikarenakan tradisi ini diperuntukkan bagi masyarakat nelayan maka Nadran bukan merupakan seni pertunjukkan.

Upacara Nadran ini bisa dikatakan sebagai pertunjukan yang langka. Banyak masyarakat yang akhirnya tertarik pada kebudayaan khas Cirebon ini. Sebenarnya upacara ini sudah berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh masyarakat mundu pesisir, untuk menambah semakin meriahnya upacara ini maka helaran atau arak-arakan diikutsertakan dalam acara ini.

Namun, pada akhirnya pandangan ini berubah ketika upacara buang saji ini dilakukan masyarakat nelayan laut Mundu pesisir Cirebon, maka upacara buang saji ini menjadi sebuah seni pertunjukkan dan merupakan sebuah peristiwa budaya yang besar dan menakjubkan.

Nadran dilakukan setiap tahun sekali, biasanya upacara ini dilakukan setiap akhir bulan Juli. Nyadran atau nadran sendiri berasal dari kata nazar atau memberikan sedekah pada laut. Disebut dengan upacara yang memberikan sedekah pada laut karena pada saat itulah mereka memberi sedekah kepada laut. Tujuan utama dari upacara ini adalah sebagai rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Dalam melakukan upacara ini biasanya para nelayan berkumpul di Taman Keraton Kasepuhan Cirebon.

Di tempat ini mereka membawa berbagai hiasan segala bentuk terutama untuk menghias perahu-perahu yang mereka miliki untuk berlayar ke tengah laut. Biasanya upacara buang saji ini diikuti oleh kurang dari 100 perahu. Namun, akhir-akhir ini peserta perahu nelayan semakin berkembang dan bertambah banyak yaitu menjadi lebih dari 300 perahu nelayan. Pada awalnya masyarakat nelayan merasa kehidupan mereka tidak lagi diperhatikan oleh oleh pihak kerajaan (keraton), karena sejak jaman kerajaan masyarakat nelayan sangat sulit untuk ditaklukan.

Sehingga pihak kerajaan (keraton) mengalami kesulitan untuk memperluas kerajaannya. Namun, sekarang ini tidak ada lagi kata keterpisahan antara keraton dan nelayan. Upacara Nadran ini menjadi suatu peristiwa yang merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai yang kemudian dikemas dalam bentuk ritus sosial.

Ajang Masyarakat Berbaur

Bagi masyarakat Jawa secara umum, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya’ban atau Ruwah.

Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.

Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.

Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Mojokerto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam menjadikan Islam warna-warni.

Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari.

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. (a5)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya