Sabtu, 7 Desember 2024

Analisis Sosial Pendekatan Feminis

Baca Juga

Oleh: Zaenab Mahmudah

Di hari ketiga ini, Rabu 17 Maret 2021 di jam jam yg berat jam 14.00-16.00 kami disuguhkan tema tentang Analisis Sosial. Kesan pertama membaca judul tema ini bagi saya, sangat berat tapi asyik. Kenapa? Karena disini kita diajak berfikir, mencari masalah dan menyelesaikan masalah, dengan berbagai pendekatan dengan berbagai metodologi. Namun tetap asyik karena ini harus melibatkan beberapa orang dan tidak bisa dilakukan secara individu. Kita harus bisa mencari clue-clue untuk bisa menganalisinya. Sepertinya begitu.

Mba Desti, nama panggilan pemateri hari ini. Beliau di awal penyampaian materinya mengatakan bahwa dalam sesi ini beliau tidak hanya akan menggunakan Pendekatan feminis, tapi bisa menggunakan perkembangan dari pendekatan orang dewasa (andragogy). Artinya beliau akan lebih banyak interaktif dengan peserta, tidak melulu materi secara monoton karena peserta DKUP Muda 2021 ini sudah memiliki latar belakang aktifitas diberbagai tempat.

Dalam penyampaian: “Apa sih analisis sosial, dalam kacamata feminis?” beliau menampilkan gambar Hati, kemudian memberikan kebebasan kepada para peserta memaknai gambar tersebut. Berbagai jawaban muncul, mulai dari kasih, sayang, cinta, pengorbanan, keterpurukan, dua hati satu cinta sampai pada hati yang terluka dan masih banyak lagi. Kami ber 40 orang, so jawabanya kurang lebih ada 40 makna dari lambang hati tersebut. Semua jawaban itu benar kata mba desti karena setiap orang punya alasan dalam jawaban itu.

Kemudian beralih membahas tentang bagaimana analisis sosial yang sudah di alami dan dihadapi para peserta? Otomatis semua punya pengalaman, dari jawaban peserta DKUP Muda 2021 ini dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi ini tidak terlepas dari materi pada hari sebelumnya yaitu tentang gender dan feminisme. Kurang lebih seperti itu.

Terkait marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan pelabelan. Kunci untuk menganalisis masalah ini yang saya tangkap dari pemateri adalah bahwa analisa sosial hanya bisa dilakukan ketika sekelompok orang atau satu komunitas mengalami permasalahan yang hampir sama. Dalam analisa sosial tugas kita adalah menjawab mengapa dan apa sampai sudah tidak ada lagi pertanyaan mengapa dan apa.

Analisa sosial membantu kita melihat masalah semakin jelas lagi. Dan untuk melakukannya harus dengan bersama sama. Bersama orang yang sepemikiran dengan kita, bisa juga dengan orang sekampung, atau dengan komunitas-komunitas yang mempunyai permasalahan yang sama dan ingin melakukan perubahan.

Ada hal yang sangat menarik dan hampir membuat saya shock dalam sesi ini. Ketika beliau menyampaikan bahwa pandangan masyarakat di sebuah kampung di kupang Nusa Tenggara Timur, permasalahan tentang anak diluar nikah ini bukan masalah yang diperdebatkan atau menjadi aib.

Bahkan anak yang lahir di luar nikah tidak disebut sebagai anak haram, mereka tetap di rawat dengan baik dan diperlakukan tidak berbeda dengan anak yang lahir dalam pernikahan yang sah. Ini sangat luar biasa.

Sangat berbeda dengan di Jawa yang masih memberikan label anak di luar nikah adalah anak haram. Pelabelan satu daerah dengan daerah lain berbeda. Disinilah kita akan mengerti bahwa untuk menganalisa tidak bisa menggunakan satu frame, satu pendekatan melainkan perlu menggunakan beberapa teknik.

Selain itu, budaya patriarki di Indonesia ini sepertinya masih menjadi momok dari dulu hingga sekarang. So sebenarnya Kapan sih patriarki itu muncul?

Patriarki adalah sebuah sistem yang meletakkan laki-laki posisinya diatas perempuan, dimana posisi laki-laki selalu ada diatas, dari sinilah munculnya relasi kuasa dimana Posisi laki-laki selalu lebih tinggi dari pada perempuan.

Untuk melihat relasi kuasa masih atau tidak disebuah kelompok, komunitas atau kampung. Bisa di lihat bagaimana pelibatan perempuan dalam sebuah forum, dalam sebuah acara.

Jika perempuan masih di posisikan hanya sebagai seksi konsumsi, perempuan tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat, suara perempuan tidak didengar bahkan tidak diajak rapat, maka ini berarti masih ada relasi kuasa.

Bagaiaman untuk mengatasi hal ini? Bagaimana menganalisisnya? Memberikan kesadaran dengan para lelaki tidak bisa dilakukan oleh perempuan, meskipun perempuan dalam hal ini memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Menurut mba Desti, setelah beliau melakukan pengamatan dan menganalisis dengan proses yang tidak sebentar.

Yang perlu dilakukan adalah pertama, Lakukan dengan bersama-sama. Kedua, Menyadarkan Laki-laki harus dengan sesama laki-laki. Karena laki-laki akan mudah diajak diskusi dengan laki-laki itu sendiri. Ketiga, Validasi pengalaman hidup perempuan dengan lebih banyak perempuan. Karena Cerita perempuan adalah pengetahuan, ini menurut para feminis. Keempat, Media sosial, gunakan media sosial untuk memberikan penyadaran kepada generasi milenial. Dengan demikian budaya patriarki akan bisa dirubah, meskipun harus dengan cara pelan-pelan.

Mungkin ini yang bisa saya refleksikan pada pertemuan kali ini. Mohon koreksi dan bimbinganya selalu. Alhamdulillah hari ini sinyal lumayan lancar, meskipun sempat keluar masuk tp sebentar, harus menonaktifkan video agar tdk terputus2 seperti kemarin-kemarin, dan ada beberapa materi yg terskip. Tp kunci materi ini insyallah sudah bisa saya tangkap. Terima kasih kepada Mba Desti yang sudah memberikan pencerahan kepada kami khusunya. Dan seluruh tim fasilitator Fahmina Institute, Mba Roziqoh Sukardi, mba Alifatul Arifiati, pak Kyai Marzuki Wahid dan segenap panitia DKUP Muda 2021 pada umumnya atas kesempatan ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan: Memahami Teologi Kekeristenan

Oleh: Zaenal Abidin Fahmina Institute Persekutuan bersma Gereja-gereja di Indonesia Setempat (PGIS) Cirebonsukses menggelar diskusi lintas iman dalam rangka Sekolah...

Populer

Artikel Lainnya