Sabtu, 27 Juli 2024

Perspektif Gender, Seksualitas, dan Feminisme

Baca Juga

Oleh: Dina Arvi Arina Zulva

Sangat disayangkan dalam rangkaian acara Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Muda di hari kedua, saya mendapati banyak kendala untuk fokus berdiskusi, karena jadwal bertabrakan, salah satunya dengan jadwal vaksinasi Covid-19, tapi Alhamdulillah masih bisa ikut menyimak walaupun belum bisa maksimal.

Mendengarkan diskusi mengenai Gender, Seksual, dan Feminisme merupakan salah satu bentuk refleksi penyadaran diri. Di awal terlontar pertanyaan sederhana dari ibu nyai Masruchah sebagai pemateri pada hari kedua ini, mengenai apa sih gender, seksual dan Feminisme itu? Apakah yang dimaksud laki laki itu bersarung? Kemudian perempuan itu pakai rok? Apakah laki-laki itu memanjat pohon? Perempuan itu menstruasi? dan masih banyak lagi pertanyaan dan jawaban dari berbagai peserta DKUP yang sangat beragam latar belakang.

Persoalan gender dan seks masih sering disalahpahami banyak orang, Ibu Nyai Masruchah menjelaskan bahwa gender dan seks adalah dua hal yang sangat berbeda. Gender merupakan perolehan dari proses belajar dan proses sosialisasi melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Gender membedakan manusia laki-laki dan perempuan secara sosial, mengacu pada unsur emosional, kejiwaan dan sosial (bukan kodrat, buatan/konstruksi manusia dari proses belajar).

Sedangkan seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal.

Perbedaan gender antara laki laki dan perempuan ini, tergantung bagaimana cara kita memandangnya, seperti contohnya dari arah sifat dan karakter, kita memandang bahwa perempuan itu lemah lembut, laki laki itu kuat, perempuan itu emosional, sedangkan laki laki itu rasional, sehingga untuk menjadi pemimpin, seorang perempuan banyak mengedepankan emosi.

Padahal pada realitanya keduanya mempunyai banyak kemungkinan kemungkinan dan Sama sama mempunyai potensi, misal perempuan juga bisa Lo menjadi seorang pemimpin bahkan presiden kita yang ke 5 Ibu Megawati adalah seorang perempuan, perempuan juga bisa suara keras dan kuat, perempuan juga pakai sarung, perempuan juga pakai celana.

Begitu juga sebaliknya laki laki juga ada yang lemah lembut, ada juga yang baperan emosional, ada juga yang maunya dipimpin, dsb. Jadi tergantung bagaimana kita memandangnya.

Dari perbedaan gender inilah melahirkan 5 ketidakadilan gender terutama pada perempuan. 1. Munculnya marginalisasi bahwa perempuan tugasnya adalah melayani suami di rumah. 2. Subordinasi, perempuan sia sia sekolah tinggi tinggi, akhirnya juga hidup di rumah , mau pergi harus izin suami dsb, mau kerja izin suami.

3.Stereotipe, perempuan itu lemah makanya harus dilindungi dari kekerasan, ruang gerak perempuan sangat dibatasi, dari cara berpakaian, jenis pekerjaan, keluar malam dsb semuanya di atur. 4.kekerasan, menimbulkan sakit,trauma, seperti kekerasan fisik, ekonomi,psikologis, dan seksual 5.beban ganda, misal semua tugas rumah tangga adalah tugas perempuan seperti memasak, bersih-bersih rumah, menyusui, melahirkan, dsb.

Dari sinilah Mengapa kader ulama perempuan perlu memiliki pengetahuan yang kokoh tentang gender dan berperspektif gender, ini menjadi sebuah upaya untuk menghapuskan atau meminimalisir ketidakadilan gender. Upaya ini juga merupakan upaya bersama baik individu, masyarakat, maupun negara.

Semoga pengetahuan baru di hari kedua ini semakin membantu kita akan kesadaran gender..amin. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya