(Dari Kiai Jatira sampai Kiai Makhtum)
Seabad yang lalu (1810-1825) pemerintah kolonial Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Willem Herman Daendles (1762-1818) membangun jalan raya pos sepanjang 1000 km yang terbentang dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur).
Waktu itu, trase yang akan dilalui jalan tersebut rencananya akan mengenai lahan Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Namun, Kia Hasanuddin atau lebih dikenal dengan Kiai Jatira (pendiri Pesantren Babakan) menggerakkan santri dan masyarakat untuk melawan kebijakan tersebut.
Sengitnya perlawanan yang dimobilisasi Kiai Jatira menyebabkan pecahnya perang Kedongdong (1816-1818). Menurut sejarah lisan yang mengalir dari mulut ke mulut, penyebab utama peperangan tersebut karena Kiai Jatira bersama santri dan masyarakat memindahkan patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.
Alhasil, perlawanan Kiai Jatira membuahkan hasil. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu tidak jadi memotong lahan pesantren. Daendels memindah trase jalan sehingga bergeser jauh ke utara, yang sekarang lebih dikenal jalan raya Cirebon-Bandung.
Meniru projek Daendels
Sukses besar Daendels membangun jalan yang menghubungkan hampir seluruh kepulauan Jawa itu ditiru pemerintah Indonesia. Pada pertengahan 1990-an pemerintah mencanangkan Jalan Tol Trans Jawa sepanjang 1000 kilometer yang menghubungkan Anyer sampai Banyuwangi.
Jalan Tol Trans Jawa akan membentang di empat provinsi dan dibagi dalam 15 ruas tol, termasuk ruas tol Cileunyi-Sumedang- Dawuan (Cisumdawu, 56 km), Cikarang-Tanjungpri ok (53 km), Cikampek-Palimanan (116, 4 km), Semarang-Solo (80 km), dan tol Soreang.
Proyek itu bakal menyatu dengan ruas-ruas tol yang telah beroperasi saat ini, yaitu Jakarta-Anyer, Tol Dalam Kota Jakarta, Jakarta Outer Ring Road, Jakarta-Cikampek, Cirebon-Kanci, Semarang Ring Road, dan Surabaya-Gempol.
Namun, pada pertengahan 1996, rencana tersebut baru diketahui pengasuh dan masyarakat Pesantren Babakan setelah adanya pengukuran oleh pihak jalan tol. Berdasarkan peta jalan waktu itu, separuh Pondok Pesantren Babakan bakal tergusur. Tentu saja rencana tersebut memicu kegelisahan seluruh kiai, santri, alumni dan masyarakat Pesantren Babakan.
Untuk menyikapinya, seluruh pengasuh Pondok Pesantren Babakan bermusyawarah membicarakan persoalan tersebut. Hasilnya, 26 pengasuh pondok pesantren yang ada di Babakan Ciwaringin sepakat membubuhkan tanda tangan penolakan, melayangkan surat keberatan, sekaligus menuntut agar trase jalan tol segera dipindah.
Akhirnya, pada 4 Juli 1996 surat tersebut dikirim ke Bupati Cirebon, Rachmat Djoehana. Surat yang ditandatangani KH M Hariri, KH Makhtum Hannan, KH Syaerozie, KH Syarif Hud Yahya, KH Zamzami Amin dan Drs Amar Ma’ruf (menantu KH Muhtadi) itu berisi butir-butir penolakan dari seluruh pengasuh pesantren dan masyarakat Babakan. Di antara isi butir itu adalah: para kiai keberatan karena lokasi yang akan terkena tol merupakan tanah leluhur yang diamanatkan agar dijadikan sebagai tempat pendidikan/pondok pesantren.
Penolakan dari kiai-kiai Babakan mendapat dukungan dari kiai dan pengasuh se-Kabupaten Cirebon. Mereka membuat petisi menolak rencana pemerintah tersebut. Waktu itu, reaksi penolakan masih terdengar sayup-sayup dan masih terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Karena secara resmi belum ada sosialisasi dari pemerintah.
Sejumlah kiai yang ikut serta membuat petisi antara lain: KH Abdullah Abbas (Buntet), KH Umar Soleh (Kempek), KH Syarif Muhammad Yahya (Jagasatru), KH Amin Siraj, KH Muchlas, KH Abu Bakar (Gedongan), KH Faqih Jauhar, KH Abdul Majid, KH Rumli Cholil (Balerante), KH Ibnu Ubaidillah (Arjawinangun) , KH Muchyi, KH Rochmatullah, KH Zaini, KH Masykuri (Tegal Gubug), Kiai Abdul Halim (Winong), Kiai Mudzakir (Lebak-Ciwaringin) , KH Hidayat (Panjalin Kidul), dll.
Kuatnya desakan dari para kiai dan masyarakat, akhirnya pemerintah memanggil sejumlah perwakilan kiai Babakan ke Jakarta untuk berembug menyelesaikan persoalan tersebut. Kiai yang ikut dalam pertemuan itu antara lain: KH Hariri, KH Syaerozie, KH Makhtum Hannan, KH Zamzami Amin, dan KH Marzuqi.
Namun, sebagaimana yang dituturkan KH Zamzami, pertemuan itu diwarnai dengan pemaksaan, teror, intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan. “Para kiai dipaksa menandatangani surat pernyataan setuju terhadap proyek yang sudah dicanangkan pemerintah tersebut,” kata kiai Zamzami , salah satu saksi kunci dalam pertemuan tersebut
“Karena ada intimidasi dan penekanan, kami terpaksa menyetujui,” lanjut kiai yang sampai saat ini masih konsisten menolak rencana tersebut. Bahkan, menurutnya, ia diintimidasi dalam bentuk penodongan dengan senjata api. Penodongan disertai ancaman yang mengarah tidak hanya pribadi, melainkan kepada seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Babakan (Mitra Dialog, 31/01/’08).
Pada akhirnya, untuk menghindari gesekan lebih besar lagi dengan masyarakat, pemerintah menggeser sedikit ruas tol sehingga tidak mengenai bangunan pondok pesantren dan pemukiman masyarakat. Tetapi, lokasinya masih tetap berdekatan dan masih berada di atas areal tanah pesantren, tidak jauh dari lembaga pendidikan, dan rumah-rumah penduduk.
Namun, sebelum rencana tersebut betul-betul direalisasikan, Bangsa Indonesia keburu dihantam krisis moneter. Presiden Soeharto tumbang digulung gerakan mahasiswa. Ambruknya penguasa Orde Baru semakin memperparah krisis ekonomi-politik bangsa Indonesia. Imbasnya, projek Tol Cikampek-Palimanan (Cikapa) kembali masuk laci pemerintah. Investor yang membiayai projek ini kolaps. Para kiai, santri, dan masyarakat Babakan Ciwaringin kembali bisa bernafas lega.
Projek tol kembali dilaksanakan
Proposal projek Tol Trans Jawa kembali digulirkan pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, namun baru bisa dilaksanakan pada pemerintahan SBY-JK.
Pada 18 Mei 2006 pemerintah mengumpulkan seluruh Kuwu (Kepala Desa) yang ada di Jawa Barat. Pertemuan yang diadakan di Purwakarta, Karawang, itu dalam rangka sosialisasi projek Tol Cikapa. Menurut Kosim Hanafi, Kuwu Babakan Ciwaringin yang ikut hadir dalam pertemuan itu, berdasarkan DED (detail engenering design) yang disosialisasikan waktu itu, trase Tol Cikapa sama sekali tidak mengambil tanah pesantren. Lokasinya berada di wilayah Babakan utara, yang merupakan areal pesawahan.
Dengan demikian, trase tol yang disosialisasikan tidak mengacu pada trase 1996, melainkan menggunakan trase baru (trase 2006) yang dibuat Jasa Marga. Namun, pada pertengahan Juni 2007, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin kembali dikejutkan oleh adanya rencana pemerintah melanjutkan kembali projek tol Cikapa. Pasalnya, trase yang digunakan adalah trase 1996 yang dipastikan akan membelah kawasan pesantren.
“Yang menjadi pertanyaan besar sejumlah kiai dan masyarakat Babakan Ciwaringin adalah: mengapa trase yang digunakan mengacu pada trase 1996 yang sejak pertama digulirkan sudah menuai kontroversi dan resistensi dari kiai dan masyarakat Babakan,” kata Kosim.
Kosim juga kecewa terhadap pemerintah/pengemba ng yang masih menggunakan trase 1996. Ironisnya, kata Kosim, perubahan yang dilakukan pemerintah/pengemba ng hanya terjadi di Kabupaten Cirebon. Sementara sisanya, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Majalengka hingga Cikampek, masih menggunakan rencana terakhir, yakni trase 2006.
Puncak kemarahan kiai, santri dan masyarakat Babakan Ciwaringin memuntah pada 26 Agustus 2007. Ketika Menteri Koperasi dan UKM, Surya Dharma Ali, berkunjung menghadiri imtihan Akhirussanah Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS), para santri menggelar demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah yang tidak populer itu. Tidak itu saja, mereka juga memobilisasi tanda tangan penolakan untuk dikirim ke pemerintah pusat. Sekitar 10.000 lebih tanda tangan terkumpul dalam aksi itu (Republika, 26/08/’07).
Di samping itu, para kiai dan seluruh pengasuh Pesantren Babakan juga membuat surat pernyataan bersama menolak rencana pembangunan tol yang diperkirakan menghabiskan 4,3 triliyun itu. Dalam surat No: 19/PSPB/SP/X/’ 07 sejumlah 33 pengasuh pesantren yang bernaung di bawah PSPB (Persatuan Seluruh Pesantren Babakan) membubuhkan tanda tangan penolakan. Surat tersebut kemudian dikirim ke sejumlah instansi terkait, seperti Menteri PU, Bina Marga, Wakil Rakyat, hingga Presiden dan Wakilnya.
Dalam kesempatan lain, pada 8 September 2007, para pengasuh muda dan santri Babakan Ciwaringin menggelar Festival Kebudayaan, sebagai bagian dari gerakan moral menentang kebijakan pemerintah yang anti kebudayaan itu. Festival yang bertajug “Dialog Pesantren dan Seni Tradisi” itu menampilkan pelbagai macam kesenian rakyat, mulai dari gambus hingga tari topeng (Kompas, 10/09/’07).
Di sela-sela pementasan, mereka membacakan pernyataan sikap, yang salah satunya meminta pemerintah pusat dan propinsi untuk mengevaluasi kembali rencana pembangunan tol yang antikebudayaan dan kemanusiaan itu. Sebab, proyek tol mengancam sosial budaya santri dan masyarakat Babakan Ciwaringin.
Menurut Bisri Efendi, peneliti dari Desantara Institute yang ikut hadir dalam acara tersebut, ada benturan simbol antara modernisasi yang ditunjukkan dengan tol Cikapa dengan simbol tradisional berupa kearifan lokal yang ditunjukkan oleh pesantren beserta seluruh akar tradisi dan kebudayaannya.
Dukungan penolakan juga datang dari Bupati Cirebon, Dedi Supardi. Pada 31 Agustus 2007, Dedi mengirim surat kepada Menteri PU agar memperhatikan aspirasi Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Dalam surat yang bernomor: 620/2364-Bapeda itu memuat dua opsi: dibuat jalan layang sepanjang ± 350 m, atau dipindah ke utara komplek PP. Babakan Ciwaringin.
Namun, opsi yang ditawarkan Bupati ditolak oleh kiai dan pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Pasalnya, para kiai tetap keberatan dengan opsi yang pertama. Satu-satunya pilihan adalah dipindah agar menjauhi pesantren (Sindo, 03/09/’07).
Karena ada desakan agar membatalkan dua opsi tersebut, akhirnya pemerintah daerah merevisi dan melayangkan surat kembali yang isinya mendesak kepada Menteri PU meninjau ulang DED jalan tol Cikapa (surat No: 620/3227- Bapeda, 24 Nopember 2007)
Pemerintah cuci tangan
Waktu itu, hanya KH Makhtum Hannan yang diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan. Dalam sambutannya, KH Makhtum menegaskan bahwa pada prinsipnya pesantren tidak bermaksud menghalang-halangi projek pembangunan jalan tol. Hanya, pihaknya tidak ingin pembangunan tersebut mengambil lahan pesantren. Untuk itu, lanjut Kiai Makhtum, pihaknya meminta pemerintah untuk mengalihkan trase tol agar tidak membelah kawasan pesantren yang sudah dibangun semenjak 1715 M/1127 H itu.
Di hadapan para kiai Djoko Kirmanto berjanji untuk mempertimbangkan usulan tersebut. Bahkan, kata dia, pada prinsipnya pemindahan itu tidak bermasalah, sebab ada tiga trase (utara, tengah, dan selatan) yang bisa dijadikan alternatif. Di hadapan para wartawan, Kirmanto juga berjanji akan menurunkan tim khusus untuk membahas persoalan tersebut, dan akan terus berkoordinasi dengan pihak pondok pesantren.
Hal senada dikemukakan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol ( BPJT), Hisnu Pawenang, yang mengatakan bahwa usulan pemindahan itu dipertimbangkan. “Permintaan untuk menggeser ruas tol memang ada, tetapi belum mendapat persetujuan dan masih dalam proses pembahasan, “ kata Hisnu suatu ketika.
Namun, ketika rapat kerja bersama anggota komisi V DPR RI, Kirmanto malah mengatakan bahwa 29 dari 30 kepala keluarga sudah menyatakan setuju tanahnya dilintasi tol. Ia juga mengaku telah didatangi kiai sepuh yang menyatakan mendukung pembangunan tol meski melewati pondok pesantren (Kompas, 24/01/’08).
Tentu saja pernyataan tersebut menyulut kemarahan santri, alumni, dan masyarakat Pesantren Babakan Ciwaringin. Sehingga pada 30 Nopember 2007, ――untuk kedua kalinya――kiai, santri, alumni, mahasiswa, dan masyarakat turun ke jalan. Sekitar 12 ribu orang berunjuk rasa memenuhi jalan Cirebon-Bandung sehingga memacetkan arus lalu lintas, baik yang ke arah Bandung maupun Cirebon.
Dalam aksi ini mereka masih menyerukan tuntutan yang sama, yakni pemindahan jalan tol. “Pemindahan jalan tol merupakan harga mati yang tidak bisa diganggu gugat. Jika tol dipaksakan membelah area pengembangan pesantren, tentu akan menyulut keresahan masyarakat dan pengurus pesantren. Karena wilayah itu sudah merupakan amanat leluhur kami agar dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan pendidikan,” kata KH Makhtum Hannan, sesepuh dan tokoh karismatik Pondok Pesantren Babakan (Tribun, 31/11/’07).
Di tengah situasi yang semakin memanas, pada 21 Januari 2008 muncul surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Bina Marga, Hermanto Dardak, prihal percepatan pengadaan tanah untuk keperluan jalan tol Cikopo-Palimanan. Surat yang bernonor: um. 01.03-D6/13 itu secara tidak langsung hendak “memaksa” Bupati Cirebon agar memberikan lampu hijau kepada investor untuk membebaskan tanah untuk keperluan tol, meski gelombang penolakan dari pesantren Babakan semakin nyaring disuarakan.
Sehingga, pada 29 Januari 2008, gelombang demonstrasi kembali pecah. Ribuan orang yang terdiri dari kiai, santri, alumni, mahasiswa, dan masyarakat menggelar aksi di pertigaan Palimanan dan menutup Tol Palimanan-Kanci. KH Ocih Sukarsih, salah satu pengasuh pondok pesantren di Majalengka yang ikut berorasi dalam aksi tersebut, menyatakan pesantren tak pernah menghalangi pembangunan tol Cikampek-Palimanan. Yang mereka persoalkan hanya lokasi tol yang melewati kawasan pemukiman dan tempat belajar santri (Koran Tempo, 30/01/’08).
Di tengah semakin kuatnya dukungan penolakan terhadap tol, ada sejumlah kiai yang mengatasnamakan Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin justeru malah mendukungnya. Malam hari sebelum terjadi demonstrasi besar-besaran, sejumlah kiai pendukung tol berkumpul di sebuah rumah makan mewah di jalan Bahagia, Kota Cirebon. Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Tim Pembebasan Tanah (TPT) Jawa Barat, Eten Roseli.
Mereka mengaku mewakili empat bani (keturunan) yang ada di Pondok Pesantren Babakan. Inti dari pertemuan itu, kata KH Mudzakir, adalah meminta pemerintah segera merealisasikan jalan tol. Apalagi, kata dia, trase tol yang melalui bagian selatan, sama sekali tidak membelah pesantren (Republika, 30/01/’08).
Konon, pertemuan itu sebagai kelanjutan dari adanya kesepakatan bersaman (MoU) antara Menteri PU dan beberapa kiai pendukung tol yang ditandatangani pada 18 Januari 2008. Dalam MoU tersebut, para kiai setuju tol membelah pesantren asalkan ada kompensasi yang jelas.
KH Marzuki Amin sangat menyayangkan sikap Departemen Pekerjaan Umum yang hanya mengajak sejumlah kiai yang mendukung tol. Sedangkan kiai dan tokoh masyarakat yang menolak tak pernah diajak berembuk. “Padahal jumlah yang menolak jauh lebih banyak,” katanya.
Meski dipecah belah dan diadu domba oleh pihak-pihak tertentu yang sengaja mau mengambil keuntungan pribadi, usaha dan perlawanan pihak pesantren tak pernah pupus. Pada 13 Pebruari 2008, sejumlah perwakilan kiai diundang Komisi V DPR RI dalam rangka curah pendapat soal tol.
Dalam pertemuan itu, mayoritas anggota DPR RI yang ada di Komisi V mendukung gerakan kiai dan santri Babakan. Karena itu, mereka berjanji akan membentuk tim khusus guna menyikapi persolan tol Cikapa yang sampai sekarang belum kunjung selelsai.
Pada 23 Nopember 2007 pihak pesantren mengirim surat Permohonan Audiensi ke Wakil Presiden Jusup Kalla untuk membicarakan persoalan tersebut. Namun, permohonan tersebut ditolak. Melalui surat balasan bernomor: B.2930/Setwapres/ D-3/12/2007, Wapres menyerahkan seluruh persoalan ini ke Menteri PU.
Begitu juga ketika melayangkan surat Permohonan Audiensi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jawaban yang diberikan juga sama, yakni melimpahkannya ke PU. Sementara PU sendiri tidak pro aktif dalam merespon persoalan ini, bahkan terkesan menutup mata. Agaknya, pemerintah hendak cuci tangan terhadap persoalan ini. Mereka lebih berpihak pada investor/pemodal ketimbang mendengarkan aspirasi rakyat.
Bahkan, meskipun AMDAL (Analisi Mengenai Dampak Lingkungan) masih dalam tahap pengkajian, pemerintah sudah berani mengeluarkan surat keputusan pembebasan tanah. Pada 03 April 2008, Ketua Tim Pembebasan Tanah (TPT) Jawa Barat, Eten Roseli, mengeluarkan surat yang ditunjukkan kepada P2T (Panitia Pembebasan Tanah) Kabupaten Cirebon untuk segera melakukan percepatan pengadaan tanah untuk keperluan jalan tol Cikopo-Palimanan.
Ini merupakan strategi pemerintah untuk “memaksa” masyarakat agar merelakan tanahnya meski dibayar murah. Cara-cara seperti ini kerap dilakukan penjajah terhadap pribumi, tuan tanah kepada rakyat jelata, pemodal kepada buruh.
Sampai saat ini kiai, santri, alumni, dan masyarakat masih berjuang keras menyelamatkan Pesantren Babakan dari kerakusan dan ketamakan pemerintah/pemodal, sebagaimana perjuangan Kiai Jatira melawan kolonialisme Belanda. Akankah karomah Kiai Jatira muncul membantu perjuangan mereka? Atau malah cucu-cucu Kiai Jatira lebih memilih uang ketimbang berjuang. [Mal]
Sumber: Majalah Laduni edisi III/Juli-Agustus/ 2008