Sabtu, 27 Juli 2024

Belajar Menciptakan Research Culture dari Australia

Baca Juga

AWS

“Sebagai seorang peneliti, perilaku seperti apa yang anda perlukan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain?”

Pertanyaan tersebut mengawali presentasi Prof. Stephen Milnes, Ph.D, salah seorang Konsultan The Academic and Skills Learning Centre Australian, The National University, Canberra, Australia, bersama Prof. Sage Leslie McCarthy, Ph.D, yang juga salah seorang Konsultan The Academic and Skills Learning Centre Australian, The National University, Canberra, Australia, saat menyampaikan materi pelatihan “Academic Writing Skill” tentang budaya penelitian (research culture). Keduanya adalah pembicara dalam pelatihan tersebut.

Acara yang dimoderatori Faqihuddin Abdul Kodir, Ketua Yayasan Fahmina, ini diikuti 25 dosen dari sejumlah perguruan tinggi, ini digelar atas kerjasama Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon dengan The Australia National University (ANU), di ruang pertemuan ISIF Cirebon, pada Selasa-Jumat (2-5/11) lalu.

Menurut Stephen, research culture merupakan struktur yang memungkinkan seorang peneliti menghasilkan, mengkomunikasikan dan memahami ilmu pengetahuan baru. Budaya penelitian juga merupakan salah satu tahapan, yang diperlukan bagi seorang calon peneliti atau akademisi memperkenalkan diri kepada dunia publikasi.

Lalu apa yang perlu diperhatikan seorang peneliti dalam menciptakan culture research? Stephen menjelaskan bahwa seorang peneliti penting untuk menentukan harapan dan dukungan, menyeimbangkan harapan (sebagai contoh : mengajar, administrasi dan penelitian), group membaca, dukungan dan dorongan dari teman, menulis review, program seminar, melakukan presentasi di konferensi, mempublikasikan karya tulis ilmiahnya, mencoba menentukan penghalang dan peluang dalam penelitian, peran dari sebuah pernyataan, kinerja yang diharapkan, pengajaran yang diharapkan, training ketrampilan penelitian, bahan kepustakaan dan ketrampilan, waktu, penyebaran hasil penelitian, serta mempersiapkan diri dari segi bahasa.

“Selama ini banyak peneliti tidak dapat terikat dengan penelitian ilmiah yang realistik. Mereka hanya melihat mengenai melakukan penelitian sebagai cara untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan mendapatkan penghargaan sebagai bagian dalam penilaian kinerja tahunan,” ungkap Stephen mengutip salah satu suara peneliti mengenai pentingnya Research Culture bagi seorang peneliti.

 

Menulis dengan Standar Jurnal International

Dalam pelatihan tersebut peserta juga diminta menentukan dan menuliskan langsung, tentang apa budaya penelitiannya. Selain itu mengidentifikasi tiga fasilitator yang mendukung budaya penelitiannya, serta mengidentifikasi tiga penghalang budaya penelitiannya, dan menentukan di mana akan mempublikasikan karya tulisnya. Dalam waktu sekitar 5-10 menit, Stephen dan Sage selalu meminta peserta mempraktikan langsung apa yang telah disampaikannya, termasuk strategi mengisi form application beasiswa luar negeri AusAid.

Dalam waktu setengah hari di hari pertama, tanpa sadar peserta telah mampu menjawab sejumlah pertanyaan dalam form application beasiswa luar negeri. Selain itu, sejumlah masalah yang berhubungan dengan penulisan laporan hasil penelitian. Karena dalam pelatihan tersebut, di hari kedua dan ketiga, Sage secara gamblang menjelaskan bagaimana tahapan menulis karya ilmiah dengan standar jurnal internasional. Salah satunya yang sesuai dengan standar jurnal-jurnal di Australia. Mulai dari bagaimana membuat penulisan abstrak sampai penulisan kesimpulan.

 

Mengembangkan Ketrampilan Peneliti dan Akademis

Pelatihan ini merupakan bagian dari upaya pengembangan ketrampilan bagi peneliti dan kalangan akademis Indonesia, terutama dalam menulis dan mempublikasikan karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Karena menurut Stephen, di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penelitian terendah.

Di akhir pelatihan, Stephen juga melaksanakan survei bagi penelitiannya mengenai efektifitas campur tangan dalam proses pengajaran dalam membangun kepercayaan akademisi Indonesia, untuk mempublikasikan penelitian mereka dalam bahasa Inggris dan mengubah strategi praktis dalam bidang penulisan karya tulis ilmiah.

“Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi, terhadap pemahaman dan juga mendorong para akademisi dari negara berkembang untuk menulis proposal penelitian dan mempublikasikan pekerjaan mereka.”

Sementara itu menurut Nurul Huda SA, Deputi II Rektor ISIF Cirebon, selama ini dalam kenyataannya masih banyak akademisi dan peneliti yang mengalami kesulitan menuliskan gagasan dan pemikirannya, terutama dalam sebuah bingkai tulisan ilmiah yang bagus. Kelemahan umum mereka, selain kemampuan substansial keilmuan yang kurang memadai, juga keterampilan menulis akademis dan strategi desiminasi tulisan ke berbagai Jurnal Ilmiah bermutu yang tidak dikuasai. Akibatnya, karya akademik yang dihasilkan kurang mendalam, tidak tersebar secara meluas, dan tidak mampu menggugah dunia.

“Atas latar  belakang ini, ISIF Cirebon bekerjasama dengan The Australian National University (ANU) Canberra Australia untuk menyelenggarakan pelatihan ini. Karena sudah jelas bahwa para akademisi dan peneliti memiliki tanggung jawab sosial yang besar, untuk melakukan diseminasi pemikiran demi transformasi sosial,” paparnya.

Menulis karya ilmiah, lanjutnya, adalah salah satu cara strategis untuk menyebarkan gagasan-pemikiran tersebut ke publik. Karena karya ilmiah yang layak publikasi adalah karya ilmiah yang diproduksi dari  hasil penelitian dengan  data-data dan analisis yang bisa dipertanggungjawabkan.(a5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya