Jumat, 13 Desember 2024

Berpihak Kepada Rakyat Lemah

Baca Juga

Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat, akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Sepertinya, kita semua harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian dan kebangsaan kita. Kita masih Saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan.

Pada saat ini ada kekuatan jahat, yang merasuki kita semua, baik masyarakat pesantren maupun lainnya. Yaitu pola hidup hedonistik yang dipromosikan melalui berbagai media, baik televisi, koran, ceramah, selebriti atau praktik dan teladan para tokoh-tokoh nasional. Kita dipaksa untuk hidup modern, instan, bertehnologi dan lain sebagainya. Di kampung semua orang sudah harus memiliki HP dan sepeda motor. Namun demikian gaya hidup ini tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mengelola sumber daya secara ramah baik tradisi dan lingkungan. Ini sangat membahayakan dan biasanya akan mengancam kehidupan yang lemah.

Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat, akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Ucapan sarkastik ini, bisa dilihat pada kasus-kasus yang menimpa banyak kelompok masyarakat kecil di kota maupun di desa. Begitu juga untuk kelompok-kelompok minoritas. Mereka akan disalahkan apapun yang mereka lakukan.

Bagi masyarakat lemah yang hidup di kota, selama hidupnya selalu salah. Tinggal di kolong jembatan salah, di bawah jalan tol juga salah, di pinggir rel kereta api juga salah, di kuburan juga disalahkan, apalagi di pinggir rumah orang-orang kaya pasti akan langsung diusir satpam setempat. Di mushala dan masjid-masjid sekarang sudah tertulis ‘dilarang tidur’ di dalam masjid. Jadi dimana mereka harus tinggal? Untuk dapat membeli rumah, mereka harus memiliki uang. Sementara, tidak ada pekerjaaan yang dapat mendatangkan uang bagi mereka. Mencuri pasti disalahkan. Jadi? Dunia akan menyalahkan mereka, apapun yang mereka pilih dan kerjakan. Mereka tidak diterima untuk hidup di kota. Mereka seharusnya tinggal di desa, tetapi tanah-tanah di desa juga telah direbut orang-orang kota untuk perumahan, villa dan resort. Yang tersisa hanyalah yang kering kerontang dan tidak menjanjikan.

Kalaupun mereka berada di desa, hanya meneruskan kebiasaan hidup di kota. Berjualan tehnologi kota yang belum tentu diperlukan di desa dan belum tentu ramah dengan lingkungan dan tradisi desa. Atau menjadi calo tenaga kerja yang akan dikirim ke luar kota atau luar negeri. Itupun berarti untuk kepentingan di luar desanya, atau akan tercerabut dari lingkungan desanya. Itupun bisa disalahkan sebagai agen ‘perdagangan orang’. Sementara orang-orang yang lebih kuat, seperti PJTKI atau perusahaan yang merekrut di luar negeri tidak pernah disentuh.

Begitu juga yang menimpa Pedagang Kaki Lima (PKL), di seluruh Indonesia. Mereka akan dipandang salah, tidak tertib, melanggar aturan dan karena itu terus-menerus akan digusur dan dikejar-kejar. Berbeda dengan para pedangang besar dan pemilik mall-mall. Mereka akan dielu-elukan sebagai investor dan pemasok devisa bagi negara. Sekalipun pada praktinya, mereka telah menggusur tanah-tanah publik, ruang-ruang umum, cagar budaya dan mematikan pasar-pasar tradisional. Dan seringkali, dalam urusan-urusan ini mereka melanggar aturan tata ruang, aturan perizinan dan aturan persaingan dunia usaha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru ngemplang  uang negara dari fasilitas kredit yang mereka bikin macet. Tetapi para pejabat negara, termasuk di pemerintahan daerah, menganggap mereka sebagai pahlawan devisa dan pejuang ekonomi bangsa. Ini berbeda sekali dengan yang dihadapi para pedagang kecil yang berada pada sektor-sektor informal. Atau sering juga disebut sebagai ekonomi menengah ke bawah.

Usaha ekonomi kecil dan menengah, serta sentra-sentra pasar tradisional adalah anak sah dari model perekonomian awal di Indonesia. Justru pendirian mall-mall, lahir dari model perekonomian yang merujuk pada mazhab ekonomi akumulasi modal atau biasa disebut dengan kapitalisme. Kita seharusnya mau jujur, bahwa meledaknya sentra-sentra ekonomi lemah, atau tepatnya PKL adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang hanya difokuskan pada pembangunan kota. Masyarakat desa tidak lagi tertarik untuk bekerja di desa. Bahkan tidak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Ketika tanah, sawah sudah banyak dibeli, mereka yang berada di kota. Ketika tanah, sawah sudah banyak yang tidak produktif lagi. Ketika bekerja di sawah, sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan tidak memiliki prestis sosial sama sekali. Semua rakyat desa berbondong-bondong tersedot memasuki kota untuk mengadu nasib.

Mereka tidak punya pilihan di antara program-program pembangunan yang tidak memihak mereka. Mereka terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk bisa berusaha. Bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Pembangunan mall-mall dan sentra-sentra bisnis juga seringkali tidak menyisakan tempat untuk mereka. Padahal mayoritas pekerja di dalam mall sendiri, adalah mereka yang digaji kecil. Yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Ini ironi pembangunan. Tetapi yang kita saksikan adalah penggusuran dan pengejaran. Atau tepatnya penertiban, seperti dikatakan pemerintah. Mereka tidak diakui, tetapi mereka tetap harus bayar retribusi. Bahkan penggusuranpun, seringkali akan menciptakan PKL yang baru, yang harus bayar lahan kembali dari awal dan retribusi seperti biasa. Sepertinya, penggusuran hanya menjadi sirkulasi untuk memperoleh tawaran dari PKL yang baru, dengan model pembayaran baru dan retribusi baru.

Dalam relasi dengan dunia pertama, Bangsa Indonesia selalu disalahkan. Indonesia dilarang menebang hutan sebagai paru-paru dunia. Namun sebagai paru-paru dunia, Indonesia tidak memiliki sumber daya, selain dari hutan. Lalu bagaimana? Bahkan kita, bangsa Indonesia, dipaksa untuk membeli produk-produk tehnologi dan makanan instan mereka, tetapi melarang kita memanfaatkan hutan kita. Kita pakai hutan salah, kita tidak membeli produk mereka juga salah. Orang lemah memang selalu disalahkan.

Ini harus menjadi kepedulian bersama. Kita dikepung oleh kehidupan hedonistik yang mengancam segala kekayaan kita; kekayaan agama, tradisi dan alam. Karena budaya instan hedonis ini, yang akan menghancurkan tradisi kebersamaan dan persatuan. Invansi budaya ini, tanpa kita sadari, merasuki seluruh kehidupan kita. Bisa jadi kita tidak lagi memiliki kewaspadaan. Kita pun bisa jadi akan menyalahkan orang-orang yang lemah dan kalah dalam percaturan ekonomi global.

Kasus Porong, Sidoarjo Jatim, menunjukkan betapa Negara tidak memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat yang tergusur. Bahkan digusur dan dikorbankan dengan semburan lumpur lapindo. Pemerintah gamang memberikan sangsi kepada Perusahaan yang mengakibatkan kecelakaan tersebut, tetapi juga tidak mengalokasikan anggaran untuk memberi penghidupan kepada mereka. Padahal mereka yang menjadi korban berjumlah ribuan. Mereka kehilangan rumah, tanah, kehidupan dan hilang masa depan. Tidak ada yang peduli. Tidak ada juga gerakan masif yang memaksa Negara. Termasuk dari kelompok-kelompok agama; NU, Muhammadiya atau yang lain. Tidak juga dari Partai yang mengatasnamakan Islam atau nasionalisme. Ironis. Sangat ironis. Sepertinya, kita semua harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian dan kebangsaan kita. Kita masih saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan. Saya teringat dengan apa yang dikatakan Khalifah Abu Bakr ra:

“Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku, karena itu aku perjuangkan hak-hak untuknya. Sementara orang yang kuat di antara kamu, adalah lemah di sisiku, karena itu aku akan memastikan kewajiban mereka dilunasi untuk memenuhi hak-hak yang lain”.[]


(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VI ed. 21 – tanggal 09 Nopember 2007)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Refleksi Gerakan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Cirebon: Menjaga Keberagaman dan Mencegah Kekerasan Berbasis Agama

Oleh: Zaenal Abidin Gedung Negara Cirebon menjadi saksi momen bersejarah pada Rabu, 11 Desember 2024, saat Panggung Kolaborasi puncak peringatan...

Populer

Artikel Lainnya