Gus Dur: Larang Ahmadiyah, Bakorpakem Langgar Konstitusi

0
1032

Selasa, 17 April 2008 pkl. 20.00 – 21.00 WIB bertempat di Sare Sae Jl.Siliwangi kota Cirebon, Akar Djati (Aliansi Keragaman Cirebon) mengadakan press release, menanggapi rekomendasi Bakor Pakem tentang pelarangan dan pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

 

Penyataan sikap diawali oleh tanggapan KH. Abdurahman Wahid (Gusdur) via handphone. Pada kesempatan ini Gus Dur menyatakan empat point menanggapi pelarangan tersebut. Pertama, rekomendasi Bakorpakem tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945) yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Kedua, jika dibutuhkan, Gus Dur siap menjadi pembela di pengadilan, yang akan membela kebebasan tanpa rekomendasi. Ketiga, menurut Gus Dur, fakta sejarah menyatakan bahwa salah satu tokoh Ahmadiyah yang bernama Ahmad Joyo Suwito (sepupu KH. Wahid Hasyim) adalah pejuang yang ikut berperang untuk kemerdekaan Indonesia. Jadi sebenarnya, sejak dulu tidak ada masalah dengan Ahmadiyah. Terakhir, Gus Dur berpesan kepada seluruh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk bersikap tenang dan siap menghadapi ketika di pengadilan.  

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut pertemuan lembaga-lembaga jaringan yang tergabung dalam Akar Djati, dalam rangka merespon isu dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama pada akhir Maret 2008 lalu. KH. Maman Imanulhaq Faqih selaku koordinator jaringan berpendapat bahwa, negara kita adalah negara hukum, oleh karenanya aparat berwenang harus menindak tegas kekerasan yang mengatasnamakan agama dan seluruh pelangggaran yang terkait di dalamnya.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, seharusnya selalu mengacu pada aturan dasar yaitu UUD’45. Karena dalam pasal 28 E sudah sangat jelas disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Selain itu Indonesia juga sudah meratifikasi kovenan Internasional mengenai hak sipil dan politik ke dalam UU No. 39 tahun 1999, serta UU No. 12 tahun 2005 yang secara spesifik mengatur soal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sehingga sudah semestinya setiap warga negara tanpa pengecualian apapun wajib dilindungi dan dipenuhi haknya untuk memilih agama dan keyakinannya. Negara dalam hal ini tidak diperkenankan untuk mengintervensi, apalagi menghakimi orang atau kelompok agama manapun. Karena kehidupan keberagamaan merupakan wilayah privat, bukan wilayah publik. (ab) baca press realese