Kamis, 14 November 2024

Kartini, Perjuanganmu Dulu Hingga Kini

Baca Juga

Perayaan ini sudah dibakukan tiap tahun. Namun dibalik perayaan ini, apakah hanya dimaknai sebatas mengenang ketokohan Kartini dengan dibalut simbol-simbol Jawa? Atau kita benar-benar merefleksikan perjuangan Kartini dengan segala gagasan-gagasannya dalam sebuah gerakan maupun pemikiran?  Sudah sejauh mana kita memaknai dan mewujudkan gagasan dan cita-cita Kartini?

Dalam konteks kekinian, sebagian generasi muda menilai Kartini sebagai mithos. Kartini dianggap sesuatu yang sudah usang. Kepoloporan Kartini yang begitu revolusioner melampaui jamannya malah dianggap ketinggalan jaman. Apakah ini disebabkan ketidaktahuan mereka yang karena terbatasnya informasi dari guru-guru mereka yang pada dasarnya juga memiliki pemahaman yang kurang tepat tentang kepeloporan Kartini -dan penghargaan yang salah kaprah. Selain itu masyarkat luas juga mengenal sosok Kartini hanya sebatas sebagai pejuang emansipasi perempuan. Padahal kalau kita telaah lebih dalam pikiran-pikirannya, Kartini adalah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa manusia kritis dan pribadi yang peka terhadap kondisi sosial pada saat itu –bahkan sampai sekarang –tidak mempunyai ruang untuk mencerdaskan peri kehidupan bangsa dan turut serta membangun negeri kaya kita, Indonesia.

Motto Hidup Kartini

Cobalah kita renungkan kembali apa yang menjadi motto hidup Kartini yang dituangkan melalui surat untuk sahabat penanya Stella Zeehandelaar (seorang perempuan muda biasa di Negeri Belanda, yang tahu sedikit-sedikit tentang “Hindia” melalui bacaan dan perspektif kaum “progresif”), Kartini mengatakan bahwa:

“Kamu tahu motto hidupku? “Aku mau”. Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. “Aku tidak mampu” menyerah. “Aku mau!” mendaki gunung itu. Aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat. Stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan dia padam. Buatlah aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas”.

Motto tersebut mencerminkan sosok yang begitu berani ingin mewujudkan cita-citanya, sekalipun terjepit dalam situasi penjajahan kolonial dan tradisi Jawa yang mengungkung perempuan dan menempatkannya sebagai kantja wingking (red: teman belakang), sebuah posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan untuk bisa berkembang. Meskipun Kartini  adalah seorang putri priyayi, tapi Ia sangat peka dengan keadaan pathologis masyarakat waktu itu, yang hidup di bawah diskriminasi rasial dan apartheid bahasa.


Perjuangan Kartini

Perjuangan Kartini untuk mengangkat kehidupan kaum perempuan tidaklah gampang. Meskipun beliau belum mampu merasakan buah perjuangannya hingga meninggal karena melahirkan pada usia 24 tahun, Ia masih meninggalkan buah pikirannya melalui surat-suratnya. Dengan mengkaji surat-suratnya kita dapat mempelajari banyak hal. Kita tidak hanya mengenal Kartini sebagai tokoh, tapi sebagai pokok. Berangkat dari pengalaman pahit kehidupan pribadinya, ia menuangkan gagasan berupa; pertentangannya terhadap poligami dan perjuangannya untuk mendapatkan akses pendidikan bagi perempuan Jawa khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dalam Suratnya tertanggal 6 Nopember 1899, Kartini – walaupun secara eksplisit hanya sekali menyebut kata ‘poligami’ –dengan berani berucap:

“…..Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang ayah? Yang hanya karena dia sudah bosan dengan istrinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal; hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai dosa”.

Praktik poligami dewasa ini bak virus yang terus menyebar dan bisa dilakukan oleh sipapun, tak terkecuali bagi si kaya/si miskin. Dengan dalih agama, seolah-olah praktik poligami dibolehkan. Meskipun sang suami merasa mampu berbuat adil, lalu ukurannya berdasarkan apa? Secara psikologis, perempuan tetap menjadi korban dan tak mampu membela dirinya sendiri. Dalam keadaan terpaksa, akhirnya perempuan mau dipoligami karena tak punya pilihan lain daripada diceraikan.

Persoalan lain yang diangkat Kartini adalah pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan. Karena pada zaman itu, akses perempuan untuk mendapatkan pendidikan sangat sulit. Hanya kaum bangsawan saja yang bisa mengenyam bangku sekolah. Birokrasi kolonial pada waktu itu tidak memberikan kesempatan bagi rakyat biasa untuk belajar, sehingga mereka terus saja menjadi bodoh dan mudah dijajah. Kartini tidak menyerah melihat kondisi tersebut. Ia mengirimkan surat kepada istri salah satu pejabat Belanda (J.H. Abendanon). Kemudian Abendanon mengeluarkan surat edaran  dalam rangka pendirian sekolah-sekolah yang dikirimkannya kepada kepala-kepala administrasi regional, surat edaran tersebut berbunyi:

“Sepanjang masa, kemajuan perempuan merupakan faktor penting dalam peradaban manusia. Perkembangan intelektual populasi rakyat Bumiputra tidak akan bisa maju pesat jika dalam proses perkembangannya kaum perempuan tidak diperhitungkan. Perempuan sebagai pendukung peradaban…”      

Apa yang dikatakan oleh  Abendanon memang tidak dapat dipungkiri. Selama ini perempuan jarang diperhitungkan. Padahal peranannya sangat besar, tidak hanya bagi peradaban manusia akan tetapi juga bagi kemajuan suatu bangsa.

Refleksi Bersama

 

Cita-cita dan perjuangan Kartini akan menjadi tidak relevan kalau ia hanya dikenang sebagai tokoh, tetapi juga harus menjadi sebuah identitas. Karena gagasan-gagasannya tersebut mesti diapresiasi dalam wujud gerakan dan dijadikan ruh perjuangan bagi para feminis. Rasanya ironis bila melihat kondisi perempuan Indonesia saat ini masih jauh dari apa yang diimpikan oleh Kartini. Dimana angka melek huruf dan tingkat pendidikan perempuan masih rendah. Kekerasan terhadap perempuan belum juga surut, poligami masih terus terjadi. Meskipun harus sama-sama kita akui bahwa perjuangan menuju perubahan yang lebih baik masih terus dilakukan. Oleh sebab itu, momentum Kartini kali ini kita refleksikan bersama untuk menghidupkan kembali ruh gerakan perempuan menuju peradaban manusia yang lebih baik. Ayo perempuan Indonesia, terus maju dan raihlah impianmu!


*) Penulis adalah Staff program Islam & Gender Fahmina institute Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan Bahas Jejak Sejarah dan Ajaran Hindu di Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute — Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Bagi Orang Muda bahas jejak sejarah dan ajaran...

Populer

Artikel Lainnya