Di Jakarta saja, sekarang ini, orang yang memiliki mobil Sport Ferrari berjumlah 100 orang. Harga mobil Ferrari berkisar antara Rp. 5 miliar sampai Rp. 17 miliar per-unit. Jika dipukul rata berharga 7 miliar per-unit, berarti ada Rp. 700 miliar hanya dibelanjakan 100 unit mobil Ferrari-nya orang Jakarta. Masya Allah, itu lebih besar dari Anggaran Belanja Pemerintah Kota Cirebon. Sementara di Jakarta, dana itu hanya dimiliki 100 orang pemilik Ferrari.
Berarti tidak hanya bumi atau negara Indonesia yang kaya, orang-orangnya pun kaya-raya. Karena itu mall berdiri di mana-mana, perusahaan properti atau rumah juga terus meraup untung, penjualan mobil terus meningkat, termasuk motor dan pakaian sehari-hari. Bayangkan dalam satu tahun, ada 500 orang yang mampu membelanjakan uang lebih dari Rp. 750 triliun. Angka yang fantastis, karena sama dengan belanja seluruh birokrasi pemerintah dan seluruh rakyatnya dalam satu tahun juga. Tetapi itu hanya dilakukan 500 orang saja.
Tetapi jika kita sholat di Masjid at-Taqwa di Kejaksan Cirebon, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dekat Kasepuhan, Masjid Sunan Gunung Jati, atau juga lewat di banyak perempatan lampu merah Kota Cirebon, kita akan menemukan tidak sedikit yang minta-minta. Beberapa yang sudah tua renta, ada yang sambil menggendong anak, ada juga kakek-kakek, atau anak-anak kecil yang kelihatan gembel. Di pesarean Gunung Jati bahkan terkadang mereka seperti memaksa.
“Mereka bukan orang miskin, tetapi orang yang menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk meminta-minta”, kata temanku yang tidak berminat memberi sedekah ke mereka. “Mereka itu tidak mengikuti hadits Nabi”, lanjutnya. “Nabi kan menyatakan kalau bekerja mencari kayu bakar lebih baik daripada meminta-meminta”. “Nabi juga menyatakan: makanan yang paling baik dikonsumsi seseorang adalah jika diperoleh dari pekerjaannya”. Orang yang bersikap seperti temanku ini tidak sedikit. Ia memilih tidak bersedekah, dengan alasan akan memanjakan mereka dan membuat mereka tetap malas.
Tetapi ada orang yang berpikir sebaliknya. “Kita kasihlah mereka, paling-paling juga lima ratus atau seribu dari uang kita, setidaknya untuk mereka makan hari ini, dan juga tidak besar kok yang kita keluarkan”. “Parkir aja sudah seribu, kan gak ada bedanya, tukang parkir juga minta-minta”. “Allah kan sering berpesan untuk menyantuni para peminta dan mereka yang tidak beruntung (lissaa ili wal mahruum)”. Demikian alasan yang dikemukakan.
Apapun komentar orang terhadap peminta-peminta, yang jelas tidak ada pekerjaan yang layak bagi mereka, selain minta-minta. Terutama mereka yang tua renta, kemungkinan besar alasannya adalah karena kemiskinan, tidak ada kesempatan pekerjaan dan tidak ada jaminan dari negara. Jika dihitung-hitung pasti berjumlah sangat banyak. Sayangnya tidak ada sensus mengenai mereka. Tetapi setidaknya ada fakta, adanya orang miskin meminta-minta. Berjumlah satu pun, mereka adalah manusia. Apalagi kalau berjumlah banyak. Pasti ada persoalan di kehidupan sosial kita. Mungkin karena keluarga dekat mereka sudah tidak ada, tidak ada tetangga yang peduli, organisasi Islam juga sedikit sekali mengurus mereka, zakat hanya ada satu tahun sekali. Sekalipun dalam UUD kita, fakir miskin dijamin dan ditanggung negara, tetapi kenyataannya masih sangat jauh.
Bersikaplah Bijak kepada Peminta-Minta
Nampaknya siapapun kita, sedikit banyak ikut andil atas keberadaan kedua fakta di atas. Kita terkadang bangga mempertontonkan keberadaan ‘sosial’ dan kekayaan yang kita miliki. Melalui baju yang dipakai, kendaraan yang dinaiki dan makanan yang disantap. Kita senang makan di tempat mewah yang transparan, dapat ditonton banyak orang. Atau paling tidak kita menyenangi tontonan kekayaan itu setiap hari di televisi. Ini bisa memicu orang lain untuk berbuat hal yang sama. Mengumpulkan dan mempertontonkan kekayaan pula. Bahkan jika ada kesempatan, mungkin memperolehnya dengan korupsi, mencuri, atau paling tidak akan meminta-meminta, bahkan mungkin bisa bunuh diri kalau sampai kebutuhan yang paling dasar tidak terpenuhi. Kita harus mawas diri, kepada diri kita masing-masing. Yang pejabat, dosen, aktivis, ulama, atau orang biasa. Siapakah kita, dan apa yang telah kita lakukan?
Jika bertemu mereka yang minta-minta; jika kita merasa lebih baik dari mereka, selayaknya kita bersyukur kepada Allah SWT. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim, 14: 7). Bersedekahlah, karena Allah SWT menjelaskan ciri-ciri orang yang baik (muhsin) itu, di antaranya adalah mereka, yang sadar: [wa fii amwaalihim haqqun lissaa-ili wal mahruum] “Bahwa di dalam harta mereka itu, ada hak bagi peminta-peminta dan orang miskin yang tidak beruntung”. (QS, adz-Dzariyat, 51: 19). Jika kita memberikan sesuatu kepada mereka, janganlah diikuti dengan kata-kata mengumpat, marah, cemberut, atau perasaan kesal. Karena ini akan menghapus pahala kita, dan tentu menyakiti mereka. [Qaulun ma’ruufun wa maghfiratun khoirun min shadaqtin yatba’uha adzaa] “Perkataan yang baik atau berdoa untuk ampunan, adalah lebih baik daripada bersedekah sambil diikuti perkataan yang menyakitkan”. (QS, al-Baqarah, 263).
Jika kita tidak ingin bersedekah –karena alasan tertentu- untuk mereka, hendaklah berkata baik kepada mereka, atau diam saja dan berdoalah , agar mereka memperoleh pekerjaan yang layak. Berdoa memohon kepada Allah SWT, dan mendorong para pengambil kebijakan atau orang-orang kaya, untuk melakukan sesuatu bagi perbaikan mereka. Kalau pun mereka itu korban sindikat yang memanfaatkan mereka untuk minta-minta, kita tidak perlu menyalahkan mereka. Sebaiknya kita sampaikan kepada para pengambil kebijakan agar menyelesaikan para sindikat itu.
*) Penulis adalah peneliti di Fahmina Instiute, Dosen di STAIN Cirebon.
Tulisan ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII edisi 09 th. 2008