Pertanyaan mendasar saya: “Apakah Islam itu menghargai perempuan? Apakah Islam itu betul-betul agama pembebas? Atau justru Islam agama penindas?”
Pertanyaan itu saya lontarkan saat mengikuti Pengajian Kamisan yang biasa di gelar setiap hari Kamis oleh Guru Besar Feminis Muslim Indonesia KH Husein Muhammad di Kantor Fahmina Institute, Kamis, (30/3). Dalam pengajian itu membahas isi kandungan kitab Uqudulujain krya Seyeikh Nawawi Al Bantani yang sering kita aji di pesantren, namun pengajian kali ini tidak hanya membacakan ulang namun mencoba untuk mengkaji kwalitas hadis dan penafsiran ulang yang lebih egaliter.
Saya meyakini bahwa sejak awal agama Islam dipromosikan sebagai agama pembebas, membebaskan manusia dari ketertindasan dengan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Apabila kita menengok ke belakang saat kondisi Arab pra-Islam dikenal dengan zaman jahiliyah, di mana perbudakan menjadi sistem sosial saat itu. Perdagangan manusia, pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan, dan pembunuhan adalah sesuatu yang biasa dilakukan. Begitupun nasib perempuan, ketika lahir kedunia dikubur hidup-hidup karena membut malu keluarga, dikawinkan sebelum menstruasi dan dicerai, diperdagangkan, dijadikan jaminan hutang dan diwariskan bak benda. Selain itu, perempuan juga hanya sekedar alat pemuas seksual laki-laki saja bahkan menjadi simbol kehinaan.
Nabi Muhammad SAW lahir sebagai reformis sejati membawa ajaran Islam untuk mereformasi peradaban manusia sedunia. Bagi kaum perempuan tertindas, Nabi Muhammad adalah tokoh feminis pertama yang membebaskan perempuan dari ketertindasan, memperlakukan perempuan secara adil dan manusiawi. Pada kondisi masyarakat Arab yang misoginis dimana sudah terbiasa mengubur bayi perempuan hidup-hidup, justru ajaran Islam menyerukan untuk syukuran pesta (aqiqah) perempuan, meskipun baru satu ekor kambing untuk perempuan dan dua ekor kambing untuk laki-laki.
Saat masyarakat tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan, justru ajaran Islam memberikan perempuan hak waris dan hak persaksian meskipun baru satu berbanding dua untuk laki-laki. Saat perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai pelengkap keinginan laki-laki (Adam), justru Islam mengakui bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah SWT dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni surga. Saat perempuan (Hawa) yang tadinya dicitrakan sebagai penggoda laki-laki (Adam), tiba-tiba dibersihkan namanya melalui keterangan bahwa yang terlibat dosa adalah kedua-duanya.
Hal diatas adalah wujud nyata bagaimana Islam hadir membebaskan perempuan dari ketertindasan dan memperoleh kemerdekaan. Islam sangat memperhatikan kondisi dan kedudukan perempuan. Islam terus menerus hingga saat ini melakukan revolusi atas status perempuan dengan cara evolusioner. Islam melakukan transformasi sosial atas status, posisi, dan peran perempuan, baik dalam ruang domestik maupun ruang publik.
Perlu kita sadari, bahwa tafsir-tafsir terhadap teks al-Qur’an dan al-Hadits yang diskriminatif terhadap perempuan lahir dari struktur sosial patriarkhisme yang menghebatkan laki-laki dan merendahkan perempuan. Mengakarnya sistem patriarkhi sebagai warisan budaya yang berlaku ratusan abad sebelum masehi mengendap di alam bawah sadar masyarakat hingga saat ini. Oleh karena itu, tak heran apabila budaya tersebut mempengaruhi dunia Islam yang bercorak misoginis (membenci perempuan), sehingga secara tidak langsung ikut andil dalam memberikan pembatasan hak dan gerak kaum perempuan.
Secara biologis, Islam membedakan laki-laki dan perempuan sesuai dengan proses dan fungsi reproduksi masing-masing. Itulah yang kemudian di sebut kodrat, tak bisa direkayasa oleh manusia. Maka dengan perbedaan tersebut bagaimana justru dapat saling melengkapi dan menyempurnakan demi kelangsungan hidup. Sedangkan secara gender (peran sosial), Islam memposisikan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah SWT, yang membedakan adalah kualitas ketaqwaan terhadap-Nya. Adapaun dihadapan manusia itu hanyalah konstruk sosial budaya, tentunya bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, karena itulah rekayasa manusia. Perempuan dan laki-laki memang berbeda, tetapi tidak untuk dibeda-bedakan. Berarti cara pandang yang membeda-bedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, dll. bukanlah cara pandang Tuhan melainkan cara pandang manusia.
Apabila kita meyakini bahwa Allah SWT itu adil, maka sudah pasti subtansi Kalamullah (al-Qur’an) secara keseluruhan adil, termasuk adil terhadap laki-laki dan perempuan. Jika Allah SWT Maha Adil, maka pasti Nabi Muhammad SAW membawa misi keadilan (al-Hadits), termasuk adil terhadap laki-laki dan perempuan. Apabila Allah SWT dan Rasul-Nya adil, bagaimana bisa manusia dengan mengatasnamakan Islam memperlakukan perempuan tidak adil? Oleh karena itu harus dipahami dan dilakukan interpretasi terhadap teks al-Qur’an dan teks al-Hadits yang terkesan masih diskriminatif serta tidak adil antara laki-laki dan perempuan agar tetap dalam koridor kesetaraan dan keadilan, sebagaimana sifat Allah SWT dan Rasul-Nya Yang Maha Adil.
Teks al-Quran yang terkesan tidak adil dan diskriminatif, sepertihalnya pembagian waris perempuan mendapatkan setengah dari satunya laki-laki (sebelum Islam datang perempuan menjadi benda yang diwariskan), poligami dibatasi empat saja dan diperintahkan monogami (sebelum Islam datang perempuan dipoligami tak terbatas), menegaskan kewajiban nafkah suami (sebelum Islam datang anak dan istri ditelantarkan tanpa dinafkahi), dll merupakan hasil negosiasi maksimal (Mantiqatul ‘iltiqa’) kultural antara idealitas yang diinginkan al-Qur’an dengan realitas budaya yang timpang saat itu. Al-Qur’an tidak langsung mengubahnya secara radikal, tetapi mengubahnya secara berangsur-angsur.
Maka tugas kita sebagai khalifah fil ‘ardl untuk terus menjaga keadilan dan kesetraan laki-laki dan perempuan yang bersumber dari teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an dan al-Hadits harus dalam posisi membawa misi kesetaraan dan keadilan, termasuk keadilan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga ajaran Islam menjadi rahmatan lil ‘aalamiin, yakni rahmat bagi seluruh alam. Manifestasi daripada rahmat adalah bagaimana terwujudnya nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan kemanusiaan. Karena Islam adalah agama pembebas, bukan penindas.
[…] Dimuat oleh https://fahmina.or.id/islam-bukan-agama-yang-diskriminatif/ […]