Kepercayaan kepada Tuhan pertama-tama merupakan masalah personal, individu, pribadi. Ia ada dalam hati sanubari masing-masing orang. Dengan akal yang diberikan Tuhan, orang diberikan kebebasan menentukan sendiri keyakinan dan kepercayaannya. Dengan kata lain orang tidak bisa memaksakan keyakinan kepada orang lain. “Lâ ikraha fi al-din, Qad tabayyana al-rusyd min al-ghay” (tidak ada pemaksaan dalam hal keyakinan agama, sebab sesungguhnya yang benar dan yang menyimpang telah benar-benar jelas). Nabi Muhammad sendiri bukan orang yang memaksakan kehendaknya terhadap orang lain: “lasta ‘alaihim bi musaithir” (kamu bukan orang yang bisa memaksa), kata al-Qur’ân. Allah juga menyatakan: “Andaikata Tuhanmu menghendaki niscaya semua orang di muka bumi akan beriman. Apakah kamu akan memaksa orang sehingga mereka beriman?”. [Qs. Yûnus (10): 99]. Di tempat lain dinyatakan: “Andaikata bukan karena pembelaan Tuhan terhadap apa yang diyakini orang satu atas yang lain, niscaya biara-biara, kuil-kuil, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong Agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.(Qs. Al-Hajj [22]: 40).[]