Senin, 23 Desember 2024

Kerajinan Bordir Sukawera Indramayu

Baca Juga

Bertahan dengan Mengandalkan Kualitas

 

Nama desa perajin bordir ini adalah Sukawera. Sebuah desa di kecamatan Kertasmaya, kabupaten Indramayu Jawa Barat. Secara bahasa suka  berarti seneng dan wera berarti ramai, meriah.

Nyatanya kondisi desanya tidak seramai yang diartikan. Jalan-jalan di desa itu tampak lengang. Di sana-sini tumbuh pohon besar. Rumah-rumah Penduduk seolah lama tak berpenghuni. Sedang di samping-sampingnya selalu saja ada pekarangan yang luas yang hidup berbagai macam tumbuhan. Belum lagi letaknya yang menjorok dari jalan raya, seakan-akan desa ini ingin bersembunyi dari balik keramaian dan hiruk-pikuk suasana kota.

Akan tetapi tidak berarti ”kesunyian” ini gambaran sepi dalam hal aktivitas. Justru dari desa inilah produksi bordir tergolong besar di Indonesia setelah Tasikmalaya. Bila memasuki desa ini kita akan disambut dengan beberapa papan nama perajin bordir. Di dalam rumah perajin itu biasanya berjejer pemuda dan pemudi yang duduk dan terus setia menjejakkan kakinya pada pedal mesin jahit. Gulungan benang, tumpukan kain dan suara mesin jahit telah menjadi pemecah kesepian tersendiri.
Menurut Kepala Desa (Kuwu) Sukawera, Asikin, desa dengan 700 kepala keluarga (KK) ini, hampir 80% warganya melakukan aktivitas membordir. Namun membordir belum dijadikan penghasilan utama, karena masih banyak warganya yang memilih menjadi TKW. Adapun enam produk bordir yang sudah cukup terkenal adalah Sekar Indah Bordir, Melati Jaya Bordir, Alfariska Bordir, Anas Jaya Bordir dan Alam Jaya Bordir.

”Perajin bordir yang sudah cukup terkenal kurang lebih delapan kelompok perajin yang masing-masing memiliki tenaga kerja 20 hingga 50 orang. Jumlah ini belum termasuk mereka yang bekerja secara mandiri atau perorangan. Disamping itu tidak sedikit orangtua yang sengaja menyediakan mesin jahit sesuai dengan jumlah anaknya,” papar Asikin kepada Blakasuta ketika ditemui di kediamannya, pada Jumat (14/11/08).

Belum Berani Ambil Resiko

Selama ini, lanjut Asikin, perajin yang ada belum mampu berkembang sepertihalnya perajin Tasikmalaya. Apalagi para perajin sebagian besar memilih bertahan dengan mesin tradisional. Bahkan hingga saat ini, motif bordir Indramayu masih meniru jenis bordir yang sudah ada di pasaran. Padahal dilihat dari hasilnya, kualitas bordir Indramayu tidak kalah dengan bordir terkenal lainnya. Akibatnya, segmen pengguna bordir Indramayu sebagian besar masih ada pada masyarakat kelas menengah saja.

Hal senada diungkapkan Hamzah, salah satu perajin bordir ”Sekar Indah Bordir Sukawera”. Menurut hamzah, pada dasarnya ada keinginan untuk mencari ciri khas tertentu dari bordir Indramayu. Namun, perajin belum berani berspekulasi. Karena motif utama rata-rata perajin adalah mengumpulkan uang sebanyaknya, agar usaha ini dapat berjalan terus.
”Di sini belum ada asosiasi. Saya pernah berinisiatif mengajak mereka membangun sebuah semacam forum perajin bordir Sukawera. Namun ternyata tanggapannya kurang antusias. Jadi dari SDM (sumber daya manusia)-nya masih sulit diajak bersatu,” ungkap Hamzah yang mengaku aktif memberikan pelatihan-pelatihan dan mengikuti pameran-pameran di luar kota, baik Jawa maupun Luar Jawa.

Mereka (para perajin) juga belum bisa memahami dan merasakan keuntungan berorganisasi. Itu sebenarnya demi keuntungan mereka juga. Padahal sebenarnya, lanjut Hamzah, kalau mereka mau itu sangat menguntungkan mereka. Apalagi dari pemerintah daerah sendiri sudah memberi kesempatan.

”Karena dari situ kita mendapat pengalaman mengenai manajemen usaha ini. Jadi inilah saatnya kita berkreasi. Tidak semata memikirkan saat ini, tapi juga masa depan. Sehingga tidak hanya berjalan di tempat itu-itu saja,” tandas Hamzah.
Hamzah juga berharap mampu mempertahankan kualitas bordir Sukawera. Selain itu juga ingin memberi contoh ke masyarakat, bahwa dengan membordir dia bisa sukses. Dia juga menyadari, bahwa usahanya bisa berkembang berkat kerjasama dengan pemerintah.

Dia masih optimis bahwa konsumennya masih melirik kualitas bordirnya. Bordir yang dia jual, paling mahal sekitar 600.000-an rupiah, dan yang paling murah 60.000-an rupiah. Tahun 2002, dia telah memiliki showroom sendiri, setelah sebelumnya hanya menjajakan dagangan dari pintu ke pintu. Dia juga memiliki cabang di Indramayu, meski belum maksimal.

Tidak Ada Motif Khusus

Senior Hamzah, Hj Mahmuddah, juga mengaku belum berani mengambil resiko pesanan dalam jumlah besar, apalagi dari luar negeri. Hj Mahmuddah adalah salah satu pengusaha bordir yang sering mendapat penghargaan dari pemerintah. Salah satunya penghargaan Upakarti, atas pengabdiannya di bidang kerajinan.

Dia juga mengaku tak menggunakan motif-motif spesial khas Dermayon. ”Produk-produk saya tidak memakai motif khas seperti Kapal Kandas, motif-motif dari Aceh atau Songket. Tapi bila disuruh membuat saya mampu.”

Selama ini yang sering dibuatnya adalah motif seruni, tapak kebo, bunga tulip, lunglungan dan lain-lain. Di antara sekian produk-produknya, busana muslimah nampaknya masih menjadi primadona. Lebih-lebih menjelang hari raya Idul fitri, sayang bila dulu sebelum krisis moneter konsumennya tidak dibatasi kalangan menengah ke atas. Bagaimana tidak, bila dulu produknya boleh dibeli dalam satu stel seharga 40.000 rupiah, kini rata-rata produknya dijual seharga 185.000 rupiah ke atas.

Untuk konsumen nampaknya dia tidak begitu merisaukan. Sebab tidak jarang konsumen yang sudah mengenal kualitas produk bordirannya, maka mereka datang sendiri ke rumah. Sekalipun demikian Mahmudah tidak boleh tinggal diam. Dia pun rajin keluar masuk instansi pemerintahan maupun swasta untuk memasarkan produknya. Kantor Pemda, Pertamina dan toko-toko tertentu adalah sasaran pemasarannya. Hingga kini produknya telah dikenal di Sumatera, Plaju, Balikpapan dan lain-lain.

”Kami memang masih melayani untuk wilayah dalam negeri. Tenaga pemasarannyapun langsung kami tangani. Ibaratnya tangan kanan memasukkan tangan kiri mengeluarkan,” tuturnya.

Sayang, badai krisis ekonomi dan moneter cukup berpengaruh pada keuntungan usahanya. Bila dulu penghasilan kotor satu bulan bisa mencapai tiga sampai dengan lima juta rupiah, kini memang tidak jauh berbeda.

”Hanya nilainya yang lain. Jika dulu kami punya keuntungan 5 juta rupiah dengan harga benang 2.500 rupiah pergulung. Jadi dalam pembukuan memang jumlah uang kami tetap. Hanya waktu dibelanjakan barang, uang kami kurang”.

Walau demikian produksi bordirnya masih tetap berjalan. Menurutnya kunci yang paling utama adalah tetap menjaga kualitas. Itu saja tidak cukup. Perkembangan bordir harus terus diikutinya.

”Kami tidak segan-segan melihat desain bordir dari televisi, membaca-baca majalah, buku-buku atau banyak melihat desain-desain bordir yang dipakai orang pada acara-acara tertentu. Dengan cara seperti itu produk-produknya akan tetap diminati orang. ”Sebab jika kita tidak mengikuti perkembangan jaman, maka sama halnya dengan membuang modal.”

Membordir dan Memberdayakan Perempuan    


Hajjah Mahmuddah dibesarkan dalam keluarga yang menekuni kerajinan ini. Ibunya pada tahun 1945 mula-mula belajar menekuni bordir dari Ibu Nur, wanita asal Tasikmalaya yang merantau di daerahnya.

”Waktu itu ibu saya belajar dengan membayar ongkos satu kwintal padi,” ujar Hajjah Mahmuddah mengenang. Setelah ilmu didapat, ibunya membuka usaha sendiri. Waktu itu ibunya dibantu enam orang pekerja dari desanya. Sambil menekuni usaha ibunya juga menularkan tradisi yang lama, yakni mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Pada tahun 1989, dia mendapat tawaran studi banding tentang kerajinan bordir di Tasikmalaya. Di atas prakarsa dari Pemda dan Departemen Perindustrian kabupaten Indramayu. Dari daerahnya ditunjuklah dua orang wanita yakni Mahmudah dan Masruroh. Meski hanya empat hari belajar di Tasikmalaya, Mahmudah merasa memperoleh banyak pengalaman. Ia banyak melihat motif-motif yang bagus juga desain yang cukup menarik. Dari situ juga ia banyak belajar bagaimana kiat-kiat menggaet konsumen.

Awalnya Mahmuddah sengaja merekrut pekerja perempuan di desanya. Karena saat itu masih banyak anak perempuan yang menganggur, dan tidak bisa meneruskan pendidikannya. ”Saya merasa prihatin dengan kondisi perempuan di sini, jadi dulu saya bertekad bagaimana agar mereka mampu menyelesaikan pendidikannya, minimal SMU. Jadi sebagian besar, mereka bekerja membantu saya sepulang sekolah. Mereka juga bisa belajar membordir gratis,” ujar dia.

Pertolongannya kepada tetangga  juga tak sebatas itu. Banyak di antara mereka yang meminjam uang dan pembayarannya dengan bordiran. ”Kasihan, ibu-ibu di sini banyak yang kekurangan. Kadang-kadang mereka pinjam uang 25.000 rupiah, dan bayarnya dengan bordiran. Tetapi  karena banyak kebutuhan, hutangnya 25.000 rupiah, sedang dapatnya hanya 10.000 rupiah. Maka untuk mengangsur ke saya 2.000 rupiah sedang yang 8.000 rupiahnya diambil” paparnya.

Kini dia tidak lagi merekrut pekerja perempuan yang ada di desanya, karena rata-rata mereka telah memiliki usaha bordir sendiri. Pendidikan mereka juga sudah dikatakan cukup tinggi dibanding sebelumnya.

Ketekunannya dalam membina usaha dan rasa cintanya pada profesi, membuat Mahmudah berhasil lolos atas lima orang kandidat lainnya dalam meraih Upakari. Kini perempuan single parent yang bertempat tinggal di belakarang Masjid Desa Sukawera, ini terus menekuni usahanya yang telah dirintis selama bertahun-tahun. Tentu sambil sesekali mengajari tetangganya atau membimbing dengan setia para  calon perajin bordir lainnya secara gratis. (a5)

 


Sumber: Blakasuta Edisi 15 th. 2009

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya