Tanggal 20 Maret 2017, aku diundang PP. Lakpesdam NU, untuk berembuk/rapat bersama sejumlah intelektual muda NU, antara lain Dr. Moqsit Ghazali, Kiyai Taufiqurrahman Yasin, kandidat Doktor Marzuki Wahid, Ala’i Nadjib dan lain-lain, mempersiapkan pelaksanaan program PPWK (Program Pengembangan Wawasan Keulamaan), semacam kaderisasi ulama. Tempatnya di lantai 4, gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
Sebelum acara dibuka, di sebuah ruangan, depan kantor Rois ‘Am Syuriyah NU, aku dan beberapa teman ngobrol tentang situasi sosial keagamaan mutakhir, terutama soal Pilkada DKI dan kontroversi publik, termasuk di tubuh PBNU, mengenainya. Aku bertanya banyak hal soal ini kepada teman-teman yang saban hari “ngantor” di PBNU, karena aku di Cirebon.
Di tengah perbincangan yang hangat, seru dan penuh kelakar, muncul Kiyai Ishomuddin. Dia menyalami aku begitu hangat dan dengan sikap rendah hati. Aku merasa dia telah lama mengenalku. Aku mencoba mengingat-ingat. Ya, aku mengenalnya saat Muktamar NU 32 di Makassar, 2010. Beberapa teman memperkenalkan Kiyai Ishomuddin sebagai kiyai muda dari Lampung, yang cerdas dan menguasai Kitab Kuning. Pengetahuannya tentang Fiqh cukup luas dan mendalam.
Begitu dia duduk di sampingku, aku bilang “Anda adalah harap masa depan”. Dia spontan menjawab diplomatis “semua kita adalah harapan masa depan”. He he he
“Aku kagum saat anda menjadi Saksi Ahli Ahok, dan sepertinya pandangan anda kontroversial”, kataku. Dia tersenyum manis, semakin ganteng. Lalu aku bilang lagi : “apakah anda mengalami situasi tak nyaman sesudah kesaksian itu”.
“Ya, banyak orang mengkritik tajam dan sinis, mencaci maki dan tidak suka pada saya. Tetapi banyak juga yang simpati.
“Anda sangat berani”, kataku
“Saya menyatakan apa yang saya ketahui dari sumber-sumber Islam yang saya pahami. Saya telah membaca belasan kitab Tafsir tentang makna “Auliya”. Semuanya tidak ada yang mengartikan “pemimpin”, melainkan “teman setia”, “koalisi”, “kekasih” dan yang semakna dengan itu. Meski ada juga orang, ulama Indonesia yang memaknai “pemimpin”. Ya terserah saja”. Lalu dia segera menambahkan : “saya siap untuk dikeluarkan dari posisi saya di PBNU sebagai Rois Syuriah dua periode dan di MUI pusat sebagai wakil ketua. Kedua jabatan “bergengsi itu bukan atas permintaan saya”.
“Wouw. Luar biasa” gumamku.
Beberapa saat kemudian masuk rapat. Sampai pada soal pilihan kitab yang patut dibaca untuk seleksi calon peserta PPWK, Kiyai Ishom menyebut nama-nama kitab klasik dengan fasih. Beberapa teman menyebut kitab “Al-Muhadzab”. Ini diperdebatkan. Aku sendiri tak setuju. Aku mengusulkan nama kitab “Adab al-Dunya wa al-Din” karya Imam Mawardi, atau “al-Tibr al-Masbuk” karya Imam Ghazali. Perdebatan tak selesai. “Bagaimana menurut Kiyai Ishom?” Kata seorang teman. “Ya saya setuju “Al-Muhadzab”, karya Abu Ishaq al-Syirazi. “Kalau kiyai Ishom sudah bilang itu, sepatutnya kita setujui, kan Rois Syuriah”, kata kiyai Moqsit. Banyak yang setuju. Aku diam saja.
Aku menaruh harapan padanya.
Masih tentang Kiyai Ishomuddin dalam perbincangan di PBNU kemarin. Paling tidak ada tiga hal lagi yang masih tersisa dalam ingatanku dalam obrolan “santai dan penuh kelakar/ humor” ala NU, sebelum rapat, maupun perbincangan “serius tapi santai penuh senyum” di dalam rapat.
Pertama, aku bertanya soal “Tabayyun”, sebuah istilah yang kini makin populer dan seperti telah mengindonesia. Ia biasa dimaknai “klarifikasi”. Kiyai Ishom menyinggung hal ini dalam kasus Ahok. “Harus Tabayyun dan “Tabayyun itu dilakukan oleh pihak yang menuduh kepada pihak yang dituduh”. Artinya pihak yang menuduh seharusnya bertanya kepada yang disangka, dicurigai atau dituduh tentang maksud ucapannya. Aku mengerti siapa yang dimaksud dia pihak menuduh dan siapa yang dituduh.
Saat mendengar ini aku ingat kata-kata Nabi yang artinya kira-kira begini: “Bila masyarakat dibiarkan menuduh orang lain seenaknya, niscaya akan terjadi peristiwa-peristiwa tuduh-menuduh harta orang lain. Oleh karena itu maka yang menuduh harus mengajukan bukti, dan bila yang dituduh mengingkarinya, dia dituntut bersumpah”.
“Lalu, jika yang menuduh tidak menyampaikan bukti dan yang dituduh menyangkal, bagaimana”? Kataku. Kiyai Ishom menjawab singkat : “al-Qaulu Qauluhu”. Aku tersenyum. Dia benar-benar mengaji kitab kuning dalam fiqh. Kalimat itu berarti “yang dibenarkan adalah pernyataan/ucapan pihak yang dituduh”.
Oh. Aku mendesah.
Kedua, kiyai Ishom, dalam perbincangan tentang kesaksiannya di Pengadilan, atas kasus Ahok, tidak hanya mengemukakan argumen teologis/keagamaan dengan menyebut tafsir para mufassir atas kata “Auliya” dalam al-Quran, sebagaimana sudah disebut, melainkan juga argumen prinsip hukum. Yakni “Keadilan”. “Keadilan harus ditegakkan. Tidak boleh ada Kezaliman”.
Aku lagi-lagi kagum atas pandangannya. Dia mengerti benar soal prinsip hukum ini dan dia menyampaikannya dengan nada suara yang tegas dan dengan ekspresi yang tenang. “Ya benar, keadilan adalah prinsip dan puncak dalam hukum apapun, hukum agama maupun hukum negara. “Keadilan adalah pilar tegaknya langit dan bumi”.
Melalui sikap ini, dia sepertinya juga ingin menyatakan atau menujukkan netralitasnya atas kasus itu. Dia tidak melihat siapa dan siapa. Yang dia lihat adalah obyek hukum, soal hukum itu sendiri. “Biarkan hakim pengadilan yang memutuskan. Kita hanya memberikan kesaksian”, katanya.
Ketiga, saat berdiskusi di ruang rapat Kiyai Marzuki Wahid, sekjen PP. Lakpesdam, menyampaikan persyaratan calon peserta kaderisasi ulama. Mereka harus bisa membaca kitab kuning. Aku mengusulkan agar tidak hanya kitab kuning/kitab klasik, tetapi juga kitab putih/kitab kontemporer. Rapat menyepakati usulanku ini. Lalu apa saja kitab-kitab itu. Aku mengusulkan tiga kitab : “Allaa Madzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah”, karya Syeikh Ramdhan al-Buthi, “Tajdid al-Fikr al-Dini”, karya Dr. Mohammad Iqbal atau Dr. Fathi Ramdhan Hasan, dan “Al-Huquq al-Insaniyyah”, karya siapa saja. Lalu Kiyai Ishom menyahuti. Dia mengusulkan dua kitab kontemporer itu: “Al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah La Madzhab Islami” dan “Kubro al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah”. Keduanya karya Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi (al-Syahid), ulama besar Siria yang terbunuh. Perdebatan berlangsung sedikit panjang. Kiyai Ishom menegaskan bagusnya kitab “Kubro al-Yaqiniyyat”. Aku mengiyakan. Peserta rapat akhirnya menyetujui pilihan kiyai Ishom.