Sabtu, 7 Desember 2024

Memangkas Rantai Kekerasan atas Nama Agama

Baca Juga

Omongan Mary McCarthy ada benarnya. “Dalam kekerasan, kita lupa siapa kita,” kata novelis perempuan Amerika ini. Jika ajaran dasar setiap agama dan keyakinan melarang, mengapa kekerasan justru dilakukan, bahkan dengan simbol-simbol keagamaan?

Jika ia identik dengan kebodohan, mengapa justru dilakukan oleh orang-orang terdidik dan terpelajar? Mungkin itu, dalam kekerasan kita memang betul-betul lupa siapa kita sesungguhnya. Kekerasan tak kenal latar belakang agama, pendidikan, etnis, dan lain-lain.

Dalam pengertian yang luas, kekerasan memang harus dilihat sebagai sesuatu yang tak hanya merujuk pada bentuk kekerasan fisik. Ia menyangkut sebuah “proses” dan “hubungan” tak seimbang, diskriminatif, manipulatif, dan menindas.

Kekerasan–termasuk kekerasan atas nama agama—semestinya selalu dipandang sebagai yang tak berwajah tunggal. Ia banyak muka. Kekerasan tak bisa semata-mata perkara doktrin. Faktornya lebih lebih luas dari itu: ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan lain-lain.

Karena itu, kekerasan terhadap komunitas Syiah, misalnya, tak bisa dilihat semata-mata saat dan sebab-musabab ketika kekerasan meletus. Kekerasan itu harus dilihat buah dari rangkaian dan hubungan yang timpang selama ini. Kekerasan itu seperti pucuk-pucuk dari tindakan intoleransi yang selama ini mereka alami.

Dengan logika itu, kekerasan atas nama agama yang meningkat belakangan ini semestinya dipahami sebagai sebuah gambar kecil dalam gambar besar jaminan kemerdekaan di Indonesia.

Seperti diperkirakan, tren pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia tahun 2012 betul-betul menanjak dibanding sebelumnya. Laporan The Wahid Institute (WI) menyebut, di sekujur tahun 2012, 274 kasus pelanggaran dengan total 363 tindakan meletus di Tanah Air.

Pelanggaran paling banyak dilakukan aktor non-negara. Maksudnya, kelompok-kelompok sipil di luar negara, seperti organisasi keagamaan, kelompok-kelompok tertentu atau pribadi. Jumlahnya, 197 tindakan.
Sementara itu aktor negara (pemerintah tingkat pusat dan daerah atau aparat keamanan) melakukan 166 tindakan. Naik 78 persen dari tahun lalu yang jumlahnya 93 kasus. Laporan Human Right Watch (HRW) belum lama ini juga menyoal pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara.

Pelanggaran dengan korban jiwa meninggal terjadi pada 26 Agustus 2012. Sekitar 200 warga penganut Syiah Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, diserang dengan menggunakan parang dan batu. Rumah mereka dirusak dan dibakar. Hamamah (50), pengikut komunitas ini, tewas dengan usus terburai.
Lainnya luka-luka. Ini pelanggaran serius setelah kasus Cikeusik. Tajul Muluk, pemimpin komunitas tersebut, sebelumnya dipenjara karena disangka melanggar Pasal Penodaan Agama, KUHP 156a. Pasal ini juga dikenakan pada Sebastian Joe yang didakwa menodai agama lewat tulisannya di Facebook.

Kepolisian merupakan pihak paling sering melanggar. Bentuk tindakan terbanyak, pembiaran (57 tindakan). Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bertengger di nomor dua dengan 34 tindakan. Dalam kasus pelaksanaan ibadah HKBP Filadelpia Kabupaten Bekasi atau GKI Yasmin, aparat misalnya tak menindak pelaku intoleransi atau kekerasan dalam acara kebaktian Minggu yang rutin mereka lakukan.

Yang diminta mengalah dan dievakuasi justru jemaat HKBP Filadelpia atau GKI Yasmin. Alasannya, demi menghindari konflik yang lebih besar. Intimidasi dan penyebaran kebencian yang dilakukan massa intoleran dibiarkan. Pembiaran juga terjadi dalam kasus pembubaran diskusi Irsyad Manji oleh massa intoleran di Teater Salihara (4 Mei) dan di LKiS, Yogyakarta (9 Mei).

Sementara itu korban paling sering mengalami pelanggaran aparatus negara adalah umat Kristiani (37 tindakan). Setelahnya disusul kelompok yang diduga sesat (25 tindakan), individu (14 tindakan), anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (13 tindakan), anggota Syiah (12 tindakan).

Di sejumlah daerah, jemaat Ahmadiyah dipaksa tak melakukan aktivitas keagamaan. Misalnya terjadi di Kendal, Juni 2012. Aparat kecamatan memaksa mereka menandatangani surat pernyataan tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan Ahmadiyah.

Penting juga dicatat sepanjang 2012, WI mencatat dengan baik sejumlah warta baik yang melegakan, di antaranya langkah-langkah pemerintah dan aparat yang mendukung kualitas jaminan kebebasan beragama warganya.

Misalnya kebijakan Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Jawa Tengah, yang membolehkan kelompok penganut Sedulur Sikep mengosongkan kolom agama dalam e-KTP, Kantor Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang membebaskan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mencantumkan agama mereka Islam dalam kolom agama di KTP, atau putusan MK yang menyatakan anak-anak yang dilahirkan di luar hubungan perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya.

Penegakan Hukum Lemah

Membaca peta kekerasan di atas, ada sejumlah hal yang penting dicatat. Pertama, meningkatnya kasus pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan tindakan tegas aparat. Pelaku kekerasan dihukum ringan.

Sebaliknya, korban justru menjadi tersangka dengan vonis berat. Kedua, pemerintah bukan hanya seperti tunduk pada kehendak mayoritas, melainkan juga menjadi pihak yang banyak melakukan pelanggaran. Di lapangan, aparat sering kali membiarkan tindakan penyebaran kebencian dan intimidasi terhadap kelompok minoritas.

Ketiga, kelemahan kepemimpinan dan tebalnya muatan politik di tingkat lokal menyebabkan isu agama masih sering dipakai dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya menyulut praktik-praktik diskriminasi dan pelanggaran.

Keempat, masih adanya regulasi baik di tingkat nasional maupun lokal yang bertentangan dengan prisip kebebasan beragama dan
dijadikan pegangan untuk membatasi dan melanggar hak-hak seseorang atau warga negara, khususnya kelompok minoritas.

Kelima, hak-hak korban kekerasan yang umumnya kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan orang-orang yang disesatkan belum mendapatkan keadilan khususnya terkait aset mereka yang hancur. Sejauh ini, korban-koban yang berada di pengungsian akibat serangan massa seperti di Sampang dan Lombok juga tidak jelas masa depannya.
Untuk keluar dari jeratan kekerasan itu, tak ada cara lain yang lebih strategis selain menjawab catatan-catatan di atas dengan langkah nyata dan komitmen negara pada konstitusi.

*Penulis adalah peneliti the Wahid Institute dan pengajar ISIF Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan: Memahami Teologi Kekeristenan

Oleh: Zaenal Abidin Fahmina Institute Persekutuan bersma Gereja-gereja di Indonesia Setempat (PGIS) Cirebonsukses menggelar diskusi lintas iman dalam rangka Sekolah...

Populer

Artikel Lainnya