Senin, 23 Desember 2024

Menghargai Jasa Orang Lemah

Baca Juga

Warkah al-Basyar Vol. VIII Edisi 23 (03 Juli 2009 M./10 Rajab 1430 H)
 
Dalam beberapa hari ini headline media masa kita kembali memberitakan nasib sejumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia yang sungguh-sungguh menyedihkan. Mereka menjadi korban kekerasan majikannya dengan cara-cara yang brutal dan tidak manusiawi. Di samping dipukul, disetrika, disulut rokok, mereka dalam banyak kasus juga tidak diberikan upahnya untuk sekian bulan. Pendek kata, mereka diperlakukan sebagai layaknya budak belian. Padahal mereka sudah bekerja sepenuh hari dan untuk itu mereka berhak atas upahnya. Perlakuan majikan tersebut merupakan kezaliman, melanggar hak-hak asasi manusia sekaligus juga melanggar agama.
 
Nasib buruk tersebut tidak hanya dialami oleh sedikit TKW dan tidak hanya terjadi di Malaysia, tetapi sudah ratusan bahkan ribuan di negara-negara lain, seperti Arab Saudi dan sejumlah Negara Timur Tengah lainnya yang nota bene adalah Negara Islam. Ini sungguh ironi, peristiwa yang seharusnya tidak boleh terjadi tetapi nyatanya terjadi. 
 
Pertanyaan kita adalah mengapa kekerasan itu terjadi? Pada umumnya orang akan menjawab karena akhlak atau moral para majikan mereka buruk, jahat atau tidak menjalankan agamanya dengan baik dan sebagainya. Jawaban ini boleh jadi ada benarnya, akan tetapi tidaklah sepenuhnya. Karena betapa banyak orang yang kita anggap baik, shaleh, taat beribadah dan terhormat juga melakukan kekerasan terhadap TKW atau buruh, bukan hanya di luar negeri tetapi juga di dalam negeri.
 
Jawaban yang paling mungkin dan menyeluruh adalah karena para majikan memandang dirinya lebih tinggi, lebih kuat dan lebih terhormat, sedangkan para tenaga kerja atau buruh itu dianggap lebih rendah, lebih lemah dan lebih tidak mampu. Jadi ada hubungan kekuasaan yang timpang antara keduanya. Di mana dan kapan saja, hubungan kekuasaan yang timpang selalu berpotensi melahirkan kekerasan.

Sikap Islam terhadap orang-orang yang lemah

Agama Islam berpendirian bahwa kehidupan yang adil dan makmur di dunia ini, tak mungkin akan terwujud apabila para dhu’afâ, mustadh’afin (yang dilemahkan) fuqarâ’ dan masâkîn tidak mendapat layanan dari masyarakat yang berada, mampu (kaya) dan para penguasa yang adil.
 
Para TKW/I dan buruh pada umumnya adalah orang-orang yang lemah. Para dhu’afâ (orang-orang lemah), fuqarâ (para fakir) dan masâkîn (kaum miskin) sebenarnya adalah sendi dan tulang punggung kekuatan suatu masyarakat. Mereka merupakan golongan yang selayaknya mendapatkan perhatian kita yang utama dan pertama. Betapa tidak, segala hal yang menyangkut kehidupan kita di dunia ini, banyak sekali yang bergantung kepada rakyat jelata, kaum yang lemah dan kaum miskin tersebut, baik petani, buruh, nelayan, pemulung, tukang becak, kuli angkut dan lain-lainnya. Kita sesungguhnya tidak mungkin bisa hidup tanpa mereka.
 
Orang yang terhormat atau orang kaya tidak mungkin bisa membangun rumah tan-pa bantuan keringat para pekerja bangunan. Para pengusaha tidak bisa menjalankan roda perusahaannya tanpa para buruh atau karyawan. Para pemilik kendaraan angkutan tidak akan  menghasilkan keuntungan tanpa para supir. Para pemilik sawah berhektar-hektar tidak akan bisa mengolah sawahnya tanpa tangan dan tenaga buruh tani. Para pemilik bank sangat memerlukan satpam untuk menjaga ATM-ATM-nya yang ada di mana-mana. Para pemilik pom bensin tidak mungkin berhasil tanpa karyawan yang melayani pengisian bensin. Betapa banyak orang-orang kaya menjadi pusing luar biasa ketika harus ditinggal mudik pembantunya.
 
Demikianlah, beberapa contoh saja yang menunjukkan bahwa sesungguhnya orang-orang yang kita anggap lemah, miskin atau rendahan merupakan orang-orang yang berjasa sangat besar atas orang-orang kaya, mampu dan kuat. Betapa besar devisa negara yang dihasilkan dari cucuran keringat dan tetesan darah para TKW/I, lebih dari 50 Triliun! 
 
Kita dapat menyimpulkan bahwa kekayaan yang kita miliki adalah karena kerja keras dan atas pertolongan mereka yang kita anggap rendah, lemah dan miskin. Nabi Saw bersabda: “Innamâ tunsharûn wa turzaqûna bi dhu’afâikum” (Sesungguhnya kamu mendapat pertolongan, pembelaan dan rizki adalah berkat jerih payah dan perjuangan orang-orang yang lemah di antara kamu).
 
Rasulullah Saw dalam banyak kesem-patan sering menggariskan suatu sikap yang jelas terhadap masyarakat yang lemah ini. Golongan manusia yang dimarginalkan menurut Nabi harus diberi pelayanan dan santunan yang memadai, apalagi pada saat-saat di mana negara tengah ditimpa krisis ekonomi yang begitu dalam. Ini semata-mata dalam kerangka besar pembangunan dunia yang adil dan makmur. Dalam dunia yang adil dan makmur setiap warga mendapat haknya sesuai dengan kewajiban yang dibebankan atas diri mereka. Allah mengatakan:
 
“Dan dalam harta mereka (orang kaya itu), terdapat hak-hak (yang seharusnya diberikan kepada) para peminta yang tak punya dan pada mereka yang tak meminta (karena malu terhadap kehormatan dirinya)”. (QS. Adz-Dzâriyat [51]: 19).
 
Sebaliknya, mengabaikan dan membiar-kan mereka terus menderita justru akan menimbulkan malapetaka sosial yang serius. Coba bayangkan bagaimana keadaan bangsa dan negara andaikata para buruh, karyawan, supir, petani, satpam dan orang-orang yang kita anggap rendah, tak berharga dan miskin itu mogok kerja? Sudah tentu negara akan bangkrut dan runtuh.
 
Nabi yang mulia bersabda: “Kefakir-an (kemiskinan) dapat membuat orang untuk melakukan kekufuran”. Kekufuran atau keka-firan tidak hanya berarti menolak adanya Tuhan. Kekafiran adalah ketertutupan hati untuk menerima kebaikan dan kebenaran orang lain. Kekafiran adalah juga mengingkari nikmat yang diberikan oleh Allah atau melanggar dan mengingkari prinsip-prinsip kemanusiaan.
 
Maka Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang terhormat. Mereka sama derajatnya di hadapan Allah. Tidak ada kelebihan satu atas yang lain atas dasar kedudukan sosial, ekonomi, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya. Kehormatan hanyalah karena ketaqwaannya kepada Allah. Maka Islam juga mengajarkan agar umat manusia saling bekerja sama, saling menolong dan membantu. []
 


Penulis adalah ketua Dewan Kebijakan Yayasan Fahmina institute  Cirebon  Jawa Barat

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya