Selasa, 15 Oktober 2024

Pendidikan Gratis, Politik Kekuasaan dan Komitmen Artifisial*)

Baca Juga

Dasar Pendidikan Gratis
Dasar kewajiban setiap Negara untuk melaksanakan pendidikan gratis bagi semua warga negaranya (terutama pendidikan dasar) dalam hukum internasional  telah jelas dan tidak membutuhkan tafsir apapun.  Beberapa teks dasar hukum internasional yang dapat dirujuk untuk ini misalnya;

  1. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Universal Declaration of Human Rights (1948).
  2. The State Parties to this convention undertake to formulate, develop and apply a national policy which … will tend to promote equality of opportunity and of treatment… and in particular (a) to make primary education free and compulsory. UNESCO Convention against Discrimination in Education (1960).
  3. Primary Education shall be compulsory and available free for all. International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (1966).
  4. State Parties recognize the right of the child to education and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall in particular (a) make primary education compulsory and available free for all. Convention on the Rights of the Child (1989)

Di Indonesia penyelenggaraan program wajib belajar telah dicanangkan dan diselenggarakan sejak zaman awal kemerdekaan. Namun dalam prakteknya pembiayaan pendidikan dasar hingga tahun 2003 masih harus ditanggung secara langsung oleh masyarakat. Baru melalui UU Sisdiknas No. 30/2003 konstitusi di Indonesia menegaskan bahwa pendidikan dasar  diselenggarakan tanpa memungut biaya.

Secara cultural dan institusional, amanat pendidikan gratis sebetulnya telah dirancang sejak bangsa ini sebelum merdeka. Ketidakadilan pendidikan pada zaman colonial telah mengobarkan para pejuang untuk memberikan pendidikan bagi semua rakyat melalui pesantren, perguruan Muhammadiyah, Taman Siswa dan sebagainya. Ketika Indonesia merdeka, dalam pembukaan UUD 1945 salah satu dasar pembentukan Negara Indonesia juga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Dalam konstitusi sejak tahun 1960-an anggaran pendidikan  telah dicanangkan 25 persen. Misalnya dalam ketetapan MPR/MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Pola Pembangunan Nasional Perencana Tahapan Pertama 1961-1969 dan Tap MPRS Ni. XXVII/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan pasal 9 butir 1, lampiran C1 dinyatakan anggaran pendidikan nasional 25 persen dari APBN. Sementara dalam Tap MPRS/XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, pasal 6 disebutkan agar APBN untuk pendidikan sebesar 25 persen di laksanakan.

Amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 juga menegaskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi anggaran pendidikan nasional. Penegasan ini diperkuat dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Memang Pemerintah berulang kali menginginkan anggaran pendidikan kurang dari 20 persen, tetapi Judicial Review yang diajukan oleh PGRI, ISPI, dan beberapa individu dan kelompok lain tentang UU No. 20/2003 terutama menyangkut alokasi biaya pendidikan 20 persen, Mahkamah Konstitusi  memutuskan bahwa pemerintah telah melalaikan atau melanggar konstitusi karena tidak melaksanakan amanat UU tersebut.

Keputusan MK ini secara langsung maupun tidak memberikan  penguat yang berkekuatan hukum tetap, bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 31 Amandemen UUD 1945 menyatakan: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.  Turunan pasal ini ada di UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 5 UU Sisdiknas menyatakan: Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

 

Amar putusan MK ini semakin memperkuat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang secara otomatis melekat pada setiap orang, sebagaimana  ditegaskan Pasal 26 Deklarasi HAM: Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib.

Pengalaman Tiga Tahun Silam

Tiga tahun silam, tepatnya tanggal 13-14 Februari 2007  Kelompok Kerja (POKJA) Pendidikan menyelenggarakan Semiloka ”Menuju Pendidikan Gratis di Yogyakarta” di Kompleks Kepatihan1 .  Hasil semiloka ini menunjukkan bahwa DI. Yogyakarta sebagai kota pendidikan, pada aspek kebijakan tidak mecerminkan sebagai kota yang sangat peduli dengan pendidikan.  Secara umum kebijakan pendidikan di Yogyakarta tidak  jauh berbeda dengan propinsi atau kabupaten-kota lain, yakni menempatkan layanan pendidikan masyarakat sebagai sektor marginal. Kemauan eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan (baik tingkat propinsi dan kabupaten/kota) sangat minim. Di DI. Yogyakarta yang memiliki komitmen dalam forum tersebut dan  akan mengusahakan dengan segera pendidikan gratis bagi masyarakat, terutama wajar sembilan tahun, baru Kabupaten Gunungkidul2 .   
Melihat kenyataan ini, maka jelas bahwa dari segi kemauan politik yang ditunjukkan dalam kebijakan, dan dilakukan dengan serius, DI. Yogyakarta dengan rendah hati harus belajar (misalnya) dengan Jembrana (Bali),3 Musi Banyuasin,  dan Sukoharjo (Jawa Tengah)4 .
Ketika Pokja Pendidikan Gratis melakukan pemantauan Penerimaan Mahasiswa Baru (PSB) tahun 2007 di seleuruh DIY dan secara kelembagaan Kepala Dinas Pendidikan dan Wali Kota Yogyakarta hampir setiap hari masuk di media (koran) melarang pemungutan pada orang tua (pada masa itu yang paling responsif tentang ini memang baru kota). Hasilnya cukup menggembirakan (meski pungutan tetap ada dengan berbagai cara), misalnya pungutan pada orang tua untuk sekolah-sekolah favorit menurun (ada negosiasi antara orang tua, dan proses kekuatan negosiasi ada pada orang tua, dengan misalnya akan melaporkan ke media). Namur ketika PSB 2008  situasi kembali berubah, pungutan pada orang tua kembali mahal karena kepala dinas dan wali kota tidak melakukan larangan secara masif lewat media.

Belajar dari Kota Yogyakarta5

Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota-kabupaten di Indonesia yang merespon dengan cepat atas kebijakan pemerintah pusat yang “menggratiskan” Pendidikan Dasar sembilan tahun melalui program BOS N (APBN) 2009. Respon bukan hanya menyangkut  penyaluran BOS N tetapi juga menyediakan dana cukup besar dari BOSDA (APBD). Misalnya BOS N SD sebesar 400 ribu persiswa per tahun ditambah 250 ribu dari BOSDA. BOS N SMP sebesar 575 ribu persiswa per tahun ditambah 625 ribu (lebih besar dari BOS N).

Keberpihakan pemkot pada pendidikan juga memiliki nilai lebih dari daerah lain karena memberikan alokasi pendidikan gratis pada  Taman Kanak-Kanak Negeri (TK Negeri) yaitu TKN Pembina (Jl. Glagahsari) dan TKN 2 (Jl. Kapas). Di kedua TKN ini sejak Januari 2009 tidak ada lagi pembayaran uang sekolah. Lebih dari itu pula, bagi siswa yang orang tuanya memiliki kartu Jamkesos diberi tambahan untuk biaya pendidikan 650 ribu per tahun.

Apa yang dilakukan pemerintah kota ini sangat penting bagi masyarakat Jogja pada umumnya bahwa kemauan politik untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa dapat menerobos segala rintangan yang dihadapi. Pemerintah kabupaten lain selayaknya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pemkot Yogyakarta ini.   

 
Pemerintah Kota tampaknya menyadari betul bahwa kebijakan pendidikan gratis ini akan mempengaruhi mentalitas dan proses pembelajaran di sekolah. Selain larangan meminta biaya pendidikan kepada orang tua murid, juga sejak dini memperingatkan kepada semua birokrasi dan pelaksana di sekolah jangan sampai mutu pendidikan menurun.

Kekhawatiran ini cukup beralasan karena selama ini sekolah-sekolah negeri selain telah mendapatkan kucuran dana dari pemerintah, guru berstatus PNS lebih banyak, juga masih menarik biaya pendidikan dari orang tua siswa. Maka dana operasional sekolah pun bisa dikatakan “melimpah”. Maka dengan kebijakan baru ini, dengan dana yang pas-pasan, sangat dimungkinkan kinerja pendidikan akan menurun dan mempengaruhi kualitas pendidikan.

Situasi ini memang dilematis. Oleh karena itu, yang terpenting adalah melakukan pengawasan dan penegakkan atas peraturan dan tanggungjawab dari masing-masing bidang. Apabila ditemukan pelanggaran atas bidang dan tanggungjawab dari masing-masing bagian maka harus ada sangsi yang jelas dan tegas. Apalagi mentalitas pegawai negeri yang selama ini dominan dan ditengarai “bekerja part time – bergaji full time”. Cara bekerja yang full time seperti ini merupakan salah satu cara pembaruan pola pikir yang cukup efektif bagi kemajuan bangsa. Inilah tantangan yang harus dijawab. 

Harapan masyarakat dengan pendidikan gratis ini, selain mutu tetap menjadi prioritas, angka partisipasi pendidikan meningkat, angka putus sekolah menurun (bahkan nol persen), juga  akan dilanjutkan dengan kebijakan yang lebih luas lagi dengan gratis seluruh biaya pendidikan termasuk pungutan bagi penerimaan siswa baru dan seterusnya, sebagaimana amanat undang-undang. Bukan sebaliknya, pasca Pemilu 2009 kebijakan pendidikan kembali memberikan beban teramat berat bagi kebanyakan rakyat di negeri ini.

Barangkali yang perlu diberikan catatan bagi pemkot dan daerah lain adalah bahwa beberapa tahun silam pemkot telah mencanangkan program wajib belajar dua belas tahun.  Dengan pencanangan program ini berarti program pendidikan dasar  di kota tidak lagi Sembilan tahun, sehingga sudah seharusnya pemerintah kota juga memberikan pendidikan gratis untuk pendidikan 12 tahun. Hitungan Pokja Pendidikan Gratis untuk program pendidikan dasar 12 tahun di kota yang hanya membutuhkan dana  9,53 persen dari APBD (hitungan dari APBD 2006/2007)  merupakan  kondisi yang sangat mungkin dan tidak sulit bila mau melaksanakan.

Politik Kekuasaan & Komitmen Artifisial

Setiap penyelenggara Negara seharusnya sejak awal memberikan jaminan dan kontrak politik kepada masyarakat akan pemihakannya pada kesejahteraan masyarakat minimal  kesanggupannya memenuhi hak rakyat dalam bidang pendidikan dasar gratis, bermutu dan ditanggung oleh Negara. Karena ini merupakan salah satu tugas pokok penyelenggara Negara yang harus melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), dan memajukan (to promote) rakyat.

Sampai saat ini sebetulnya komitmen pemerintah pusat hingga daerah tentang pendidikan gratis belum teruji karena antara presiden, menteri pendidikan nasional, sekjen pendidikan nasional, dan dirjen mandikdasmen  masih selalu beda persepsi.  Misalnya presiden dan Mendiknas menyatakan sekolah gratis akan tetap dilaksanakan, tetapi  Sekjen dan dirjen Mandikdasmen  menyatakan pemerintah tidak akan menggratiskan sekolah.

Bahkan Prof. Suyanto, Ph.D,  Dirjen Manajemen Dipdasmen Depdiknas dalam kolom Analisis di SKH. Kedaulatan Rakyat (30/12/08) yang berjudul “Pendidikan Gratis”.  Menuliskan Bos adalah “atas kebaikan pemerintah pusat” bukan atas kewajiban dan tanggungjawab pemerintah yang menjadi hak setiap warga Negara. Pada akhir paragraf empat dan awal paragraph kelima Pak Yanto menulis; “Subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal di desain hanya untuk membantu pemerintah daerah. Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS)”. Benar, Pak Yanto dikenal sosok professor yang humoris, tetapi menyangkut tanggungjawab Negara, tidak semestinya menyalahpahamkan dan memposisikan “kewajiban pemerintah” menjadi “budi baik pemerintah”.

Menyangkut UU  No. 9/2009 tentang BHP misalnya, pada pasal 41 ayat 1 disebutkan pemerintah pusat dan daerah menanggung semua biaya pendidikan SD-SMP.  Namun lagi-lagi Mendiknas menyetakan pemerintah hanya menanggung biaya operasional. Belum lagi soal pembagian kewenangan pengelolaan dan pembiayaan pendidikan yang dipahami dan diberlakukan dengan “standar ganda”.  Misalnya, UU Sisdiknas pasal 43 ayat 2 “pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggarakannya  wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya”.  Tetapi pada pasal 46 ayat 1 disebutkan “pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”. Lalu hal ini menjadi dasar pemerintah untuk terus menarik biaya pada orang tua. Padahal mestinya pasal 46 ini konteknya adalah pendidikan di luar pendidikan wajib belajar.  Hal ini semakin rumit bila kita lihat  UU BHP pasal 21 yang memberikan kewenangan pemda mengatur penyelenggaraan SD, SMP dan SMA.  Pasal seperti ini berpotensi mengaret, karena tanggungjawab utama tidak ditegaskan.

Tampaknya impian masyarakat untuk mendapatkan pendidikan gratis masih terbelenggu oleh “korupsi-korupsi” pemikiran dan pemaknaan (juga korupsi material) oleh penyelenggara negara. Sehingga yang muncul adalah kebijakan artificial dengan mengabaikan makna substantive akan kewajiban penyelenggara Negara pada raknyatnya.  Bila ini terus berlanjut plus control yang lemah, maka benar kekhawatiran Indra Jati Sidi (Mantan Dirjen Dikdasmen) bahwa tanda tanya besar bahwa wajib belajar sembilan tahun akan tuntas sampai tahun 2010. Hal ini juga berarti pengabaian pemerintah atas program education for all (pendidikan untuk semua). Wassalam

 


*) Pengantar materi diskusi “Pendidikan Dasar Gratis: Jawaban dari Persoalan Pemerataan Pendidikan Berkualitas” diselenggarakan oleh Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) DI. Yogyakarta, Kamis 5 Maret 2009.

Uraian agak lengkap tentang hasil Semiloka  ini dapat di baca tulisan saya dalam opini di SKH. Bernas, Jihad untuk Pendidikan (kalau tidak salah di muat tanggal 20 Februari 2007). 
Sejak semiloka itu, Pokja Pendidikan Gratis beserta elemen masyarakat lainnya secara massif melakukan kampanye pendidikan gratis  dengan melakukan analisis APBD,  pengawasan terhadap PSB, dan juga menerbitkan buku “Mewujudkan Pendidikan Gratis”. Dalam buku ini dilakukan survey pembiayaan pendidikan serta  melakukan hitungan unit cost secara rinci tentang kebutuhan pendidikan gratis dari SD-SMP-SMA/SMK (program wajib belajar 12 tahun/bukan hanya Sembilan tahun) di setiap kabupaten-kota dengan mengacu pada APBD dari tahun yang berjalan. Hasilnya hanya dibutuhkan anggaran 6,30 persen (Kulonprogo), 9,13 persen (Bantul), 8,76 persen (Gunungkidul), 9,27 persen (Sleman) dan 9,53 persen (Kota Yogyakarta).
Tentang konsep kebijakan, penyelenggaraan dan hasil Program Pendidikan Gratis di Kabupaten Jembrana Bali dapat dibaca disertasi Dr. Riant Nugroho atau  dalam edisi ringkas ada dalam buku Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan PUblik (H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Pustaka Pelajar: Desember 2008) 
Tentang konsep kebijakan, penyelenggaraan dan hasil Program Pendidikan Gratis di Kabupaten Sukoharjo dapat dibaca dalam versi sangat singkat pada buku Kertas Posisi Mewujudkan Pendidikan Gratis (Pokja Pendidikan Gratis: 2007).
Secara agak detil tentang program Pendidikan Gratis di Yogyakarta  dapat dilihat tulisan saya di SKH. Kompas tanggal 15 Januari 2009 berjudul; Pendidikan Gratis di Yogyakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya