Sabtu, 27 Juli 2024

Pelatihan Penelitian Sosial bersama Anas Saidi dan Martin van Bruinessen

Baca Juga

Meneliti Tidak Sekadar Memburu Data

“Datanglah kepada rakyat, hidup bersama rakyat, belajar dari rakyat, rencanakan bersama rakyat, bekerja bersama rakyat, mulailah dengan apa yang diketahui rakyat, ajarilah dengan contoh, belajarlah dengan bekerja”

(James YC.Yen, 1920, Perform PDPP, 2003).

Pelatihan Penelitian Sosial bersama Anas Saidi dan Martin van BruinessenKalimat di atas setidaknya mewakili pesan awal Pelatihan Penelitian Sosial yang digelar Fahmina-institute, di kampus Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Dalam pelatihan tersebut, mendatangkan dua narasumber ahli di bidang penelitian. Anas Saidi, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai narasumber  di pelatihan pertama beberapa pekan lalu (21-24/2/09). Kedua, Martin van Bruinessen, Professor dari Uttrech University Belanda sebagai narasumber  di pelatihan kedua pada Rabu (11/3/09) kemarin.

Dipandu Marzuki Wahid dan Nurul Huda SA sebagai fasilitator, kedua narasumber yang memiliki beragam pengalaman sebagai peneliti sekaligus akademisi, mampu membuka wacana para peserta pelatihan tentang dunia penelitian. Anas Saidi misalnya, dari awal hingga akhir  pelatihan, tidak sekadar menyampaikan konsep dasar dalam sebuah penelitian. Lebih dari itu, dia tidak luput menekankan betapa pentingnya sebuah Participatory Action Research (PAR) yang digagas oleh Kurt Lewin. Sejatinya, praktik kehidupan sosial merupakan teori yang terbaik. Dia juga menciptakan pendekatan baru yang disebut Field Theory, yang selanjutnya dia sebut Action Research. Dari PAR, dia juga menemukan bahasa perubahan sosial (social change) melalui 3 (tiga) tahap. Pertama, mencairkan kebekuan situasi. Kedua, melakukan intervensi. Kemudian Ketiga, mencairkan situasi kembali. Penemuannya yang sangat berpengaruh adalah metode Group Dynamic. Focus Group Discussion (FGD) dan halaqah yang akrab kita dengar, juga diambil dari pola Group Dynamic ini.

Selain itu PAR juga dipahami sebagai cara penguatan rakyat, melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan yang efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka. Secara praktis, PAR mampu menyelesaikan masalah masyarakat jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, tidak hanya membangun ilmu sosial tetapi perubahan sosial sekaligus. PAR juga turut serta dalam membebaskan masyarakat dengan cara meningkatkan kesadaran kritis dan kemampuan politisnya, sehingga perubahan sosial tercipta.

Dengan sekian teori penelitian sosial, baik klasik maupun kontemporer, Anas juga mencoba memberikan alternatif penggunaan sebuah teori untuk realitas dengan beragam latar belakang. “Kalau kita lihat dari problem yang diungkapkan, ternyata penelitian itu tidak sekadar ingin melihat penelitian itu seperti apa, tetapi juga ingin melihat behind the reality. Contohnya, kenapa partai A lebih dikenal teratur, rapi dan disiplin. Berbeda dengan B yang tidak teratur secara keorganisasian. Dari sini, kita tidak sekadar ingin mengetahui tentang sebuah fakta, tapi juga kenapa fakta itu terjadi, siapa yang berada di balik fakta itu (beyond the fact), dan juga ingin mengubah fakta yang ada itu,” papar Anas ketika menanggapi sejumlah tema penelitian masing-masing peserta.

Mengutip sebuah contoh penelitian, Anas juga tak jarang mengutip isu-isu sosial politik yang masih aktual. “Jadi penelitian itu apa? Penelitian itu intinya ingin memotret realitas sosial seperti apa adanya. Jangan sampai melebih-lebihkan fakta atau malah mengurangi fakta. Kenapa? Karena menghindari penafsiran secara bias. Seperti baru-baru ini, ada berita tentang meninggalnya seorang tokoh masyarakat. Lalu di tengah penelitian ditemukan data dari seseorang bahwa sehari sebelum peristiwa itu, Sang tokoh terlihat berjalan dengan perempuan muda ke arah sungai. Dari sini mungkin ada pendapat dia itu selingkuh, atau ada mindstraming dia dijebak. Analisis jangan mendahului fakta, karena semua praduga itu belum tentu benar,” jelas Anas.

Sekali lagi, Seorang Peneliti Harus Jujur

Pelatihan Penelitian Sosial bersama Anas Saidi dan Martin van BruinessenMateri pelatihan Anas Saidi yang luas dengan beragam teori dan contoh penelitian, kian diperjelas dengan pemaparan Martin van Bruinessen. Martin yang telah melakukan penelitian puluhan tahun di Indonesia tentang NU, tarekat, pesantren, dan perkembangan gerakan Islam kontemporer ini tidak henti-hentinya menekankan agar bersikap jujur sebagai peneliti. Sekalipun berhadapan dengan obyek penelitian yang tingkat kesulitannya cukup tinggi, diupayakan agar tetap jujur.  Jujur dalam menganalisis data, maupun jujur dalam membuka identitas sebagai peneliti ketika di lapangan. Sedangkan jujur dalam menuliskan informan dalam sebuah penelitian kasus yang sensitif, bisa dilakukan dengan inisial. Karena menurut dia, hal ini berkaitan dengan keselamatan informan. Sehingga harus dirahasiakan ataupun dianonimkan dalam rangka melindungi keselamatan korban.

“Dalam kondisi paling sulit, apakah peneliti tidak boleh jujur? Bagi saya ini sangat sulit, karena walau bagaimanapun penelitian kita akan diketahui juga. Contohnya Fahmina meneliti golongan yang berbeda prinsip dengan Fahmina, kalau kita bilang kita dari Fahmina, mungkin kita akan ditolak. Jadi mungkin kita bisa dengan cara lain. Seperti “berbohong” itu tadi. Tapi apakah kita akan merasa betah? Kalau saya pribadi, berusaha menghindari itu. Jadi waktu itu, saya perlu pendekatan dengan orang lain. Karena kalau tidak begitu, maka mereka akan curiga,” jelas dia.  

Bersama Martin, para peserta juga lebih banyak membahas persoalan teknis penelitian kualitatif. Terutama terkait dengan penelitian tentang Pondok Pesantren di Cirebon. Selama pelatihan, dalam proses diskusi juga sengaja difokuskan tentang penelitian kualitatif. Menurut Nurul Huda SA, hal ini dikarenakan terbatasnya waktu pelatihan, sehingga diutamakan tanya jawab yang berkaitan dengan kebutuhan peserta yang notabene penelitiannya kualitatif. Huda juga berharap, pengetahuan dari pelatihan ini mampu diaplikasikan dalam setiap kerja-kerja Fahmina ke depan. Baik dalam proses pendampingan kasus, maupun mengolah data-data yang ada dalam sebuah tulisan maupun laporan penelitian yang bermakna.

Sementara itu, Marzuki Wahid, fasilitator pelatihan sekaligus Direktur Fahmina-institute, menerangkan  setidaknya pelatihan ini dapat memberikan pemahaman tentang penelitian yang tidak sekadar meneliti, memburu data, lalu tidak ada tanggungjawab moral terhadap apa yang sudah diteliti.

“Di sinilah pentingnya paradigma penelitian partisipatoris. Karena selama ini, masyarakat cenderung dijadikan obyek saja. Masyarakat diteliti, tetapi tidak ada tindak lanjut tentang bagaimana dampak penelitian tersebut terhadap masyarakat akibat penelitian tersebut. Masyarakat juga tidak dirangkul dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan terkadang kurang dipahami dan kurang dapat diterima masyarakat,” jelas dia.

Sehingga dengan PAR, lanjut dia, hasil penelitian tidak hanya bermanfaat bagi si peneliti tetapi juga masyarakat. Karena dalam hal ini, ada kesepakatan antara masyarakat dan peneliti.[]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya