Minggu, 3 November 2024

Merubah Wajah Polisi dengan COP (Comunity Oriented Policing)

Baca Juga

Mendengar kata “Polisi” yang terlintas di benak kita pada umumnya tidak akan jauh dari apa yang ditayangkan oleh sejumlah acara kriminal di beberapa stasiun TV swasta, seperti Buser di SCTV, Sergap di RCTI, Patroli di Indosiar dan lain-lainnya; –Dunia kriminalitas, perampokan, pencurian, pembunuhan, yang penanganannya begitu lekat dengan tugas-tugas kepolisian–. Atau juga, kesan Polisi begitu kuat menempel dibenak kita ketika menjumpainya di jalan raya ; yaitu POLANTAS yang tengah mengatur lalu lintas jalan. “Citra polisi” masa kini dimasyarakat kental dengan kekerasan. Kondisi itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Bahkan ada keengganan masyarakat ketika ada peristiwa kriminal untuk melapor karena dianggap akan menyulitkan. Tayangan televisi seperti yang disebut diatas juga kerap menayangkan letusan pistol dan kekerasan ketika memburu dan menggeledah tersangka, semakin memperburuk image polisi. Namun seburuk itukah ? Apakah kita bisa mengubahnya? Seiring perubahan politik yang tumbuh di masyarakat dengan semangat reformasi dan demokrasi melalui TAP MPR No IV/MPR/2000 dan TAP MPR No VII/MPR/2000 Polri dinyatakan lepas dari TNI, dan mesti menjalani fungsinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Lepasnya Polri dari TNI, niscayanya diikuti dengan perubahan kultur militerisme menjadi berorientasi sipil (civilian oriented). Namun, tidaklah mudah mengubah budaya yang telah berkembang bertahun-tahun dan mengakar di tubuh Polri. Begitu pula stigma polisi yang ada di masyarakat. Padahal, di era reformasi ini, telah terjadi perubahan, –dimana masyarakat lebih kritis, terbuka dan demokratis. Hal itu membutuhkan perubahan kualitas pemolisian yang berbeda dengan kondisi masyarakat yang relatif stabil dan tenang—. Karena fungsi kepolisian tidak melulu menangani kasus-kasus kriminal saja, ada yang lebih penting dan esensial yaitu sebagai kontrol sosial –dalam negara hukum kontrol itu menjadi kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah hingga sifatnya jadi birokratis, prosedural dan formal. Sehingga seringkali polisi dianggap sebagai penjaga status quo. Padahal mestinya polisi juga menjaga “status kehidupan” dengan memahami secara lebih mendalam persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat.

Aksi unjuk rasa, penggusuran, urbanisasi, perburuhan, HAM, pencemaran lingkungan, illegal logging, perdagangan perempuan dan anak-anak (traficking), adalah masalah-masalah yang sangat marak akhir-akhir ini ada didepan mata polisi dan butuh penanganan yang berbeda. Memahami dan mengurangi beban korban adalah salah satu contoh konkret apa yang disebut menjaga kualitas kehidupan. Maka, perubahan paradigma kepolisian menjadi berorientasi sipil adalah suatu keharusan bagi Civil Society. Wajah polisi harus lebih ramah dan berpihak pada masyarakat. Karena selama ini sebenarnya telah terjadi ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum disamping keinginan polisi untuk mereformasi dirinya sendiri paska pisah dari TNI.

Salah satu jawabannya, –walaupun perlu kajian lebih dalam dan disesuaikan dengan kultur domestik, salah satunya mungkin dengan program Comunity Oriented Policing (COP) atau polisi yang berorientasi pada masyarakat. Program itu telah lebih dua tahun diprogramkan oleh PUSHAM UII Yogyakarta di beberapa kelurahan dan kecamatan di Yogyakarta, dimana hasilnya dapat diketahui ada perubahan paradigma dalam masyarakat tentang keberadaan polisi, begitu juga performa polisi di dalam masyarakat. Walaupun program ini sebenarnya telah lama dikembangkan misalnya di Amerika seperti yang diungkap dalam buku “Surpervising Police Personal” oleh Paul Whisenan dan George M. Rush mengutip laporan Komisi Independen tentang Kepolisian LAPD : “ model pemolisian berbasis masyarakat atau COP memperlalukan pelayanan kepada masyarakat dan pencegahan kejahatan sebagai fungsi utama kepolisian di dalam masyarakat. Model pemolisian berbasis masyarakat (COP) telah berkembang dan mendapat penerimaan yang meluas pada tahun 1880-an.” Disamping itu juga seperti apa yang diamanatkan oleh Resolusi PBB No. 34/169 Ags 17 Desember 1979 yang merekomendasikan ditetapkannya strategi pemolisian berbasis masyarakat yang mencakup : Bagaimana membangun komitmen antar polisi dengan warga masyarakat yang taat hukum dan menerapkan kebijakan dan rencana aksi tentang hubungan masyarakat.

Kita mungkin telah akrab dengan istilah Siskamling, Ronda, Hansip, Pamswakarsa dan lain-lainnya, yang lebih mengedepankan swadaya masyarakat terhadap keamanan wilayahnya masing-masing. Walaupun sama-sama membutuhkan partisipasi masyarakat, tetapi penekanannya tidak melulu soal keamanan melainkan juga kondisi sosial secara umum, juga peran aktif polisi dalam berbaur di masyarakat yang lebih intensif. Adanya POKJA-POKJA (Kelompok Kerja) tentang COP di beberapa kelurahan di Yogyakarta tersebut yang terdiri beberapa elemen masyarakat baik tokoh masyarakat, pemuda, ibu rumah tangga dan polisi memberikan pemahaman masyarakat akan tugas-tugas kepolisian dan bersama merumuskan peran serta aktif masyarakat dalam membantu tugas-tugas kepolisian dan bisa juga menjadi ruang bagi kepolisian untuk memahami kebutuhan dan kondisi masyarakat seacara utuh sehingga komunikasi berjalan baik melalui pertemuan reguler dan aksi sosial lainnya.

Namun, secara mandat, Community Oriented Policing (COP) bertujuan untuk menstimulasi dan mendorong akselarasi reformasi polisi, bukan sekadar menjalin hubungan “baik-baik” antara polisi dan masyarakat, yang mana relasi yang dijalankan adalah komunikasi yang kritis, terbuka rasional. Hubungan yang “baik-baik” saja kadang berpotensi untuk menutupi kesalahan polisi atau sebaliknya, serta “mendomestikasi” keadaan kritis masyarakat. Meski banyak tantangan baik secara internal dan eksternal, Civilisasi Polisi hendaknya menjadi tugas kita bersama. Diantaranya, adalah Persoalan masih serba minimnya kesejahteraan anggota polisi yang sering menjadi alasan menurunnya kinerja polisi seperti yang dilansir oleh Political and Economic Risk (PERC), sebuah lembaga penelitian di Hongkong, yang menyebutkan bahwa sistem peradilan dan kepolisian Indonesia terburuk di Asia. Valid atau tidak, citra POLRI mesti dicermati. Namun, indikatornya menunjukkan adanya perbedaan penghasilan antara anggota polisi Indonesia dengan Pegawai Administrasi Keuangan setaraf ; yaitu hanya 22 %, bandingkan dengan Singapura 150 %, Malaysia 67 %, Thailand 47 %, Filipina 51 %, Hongkong 110 % dan Vietnam 38 %.

Dengan kondisi diatas, kita terpaksa melihat banyak anggota polisi nyambi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan disinilah sering terjadi penyalahgunaan wewenang. Seringkali kehadiran polisi di jalan tidak memberi kenyamanan bagi pengguna lalu lintas, tetapi mengundang rasa takut untuk ditilang. Atau kehadiran polisi di pusat-pusat keramaian sering diikuti dengan soal upeti. Sehingga kondisi internal polisi itu sendiri menjadi sebuah tantangan lain. Adrianus Meliala, kriminolog UI dan staf ahli Kapolri, mengatakan bahwa COP sebagai sebuah gagasan atau program sudah menjadi agenda dan perhatian Mabes Polri, tetapi karena banyak hal yang perlu dibenahi dan budaya militeris yang masih kuat, maka program COP masih ditanggapi dengan setengah hati. Artinya, mengharapkan “political will” sepenuhnya dari pemerintah dan POLRI sendiri sangatlah berat walaupun seperangkat aturan sudah menyemangatinya. Sebagai bagian dari kebutuhan bermasyarakat madani, ditengah keterbatasan dana dan rendahnya kesejahteraan polisi kita, barangkali tugas kita bersama untuk mengembangkan COP di wilayah masing-masing (local situation), tentunya dengan modifikasi dan menyesuaikan dengan kultur setempat.

Pendekatan sosial dan budaya menjadi intsrumen penting dalam mewujudkan COP. Keberhasilan program COP, secara menyeluruh akan mengubah strategi dan wajah POLRI ke depan, sehingga gagasan dan program ini menjadi skema POLRI di masa mendatang. Sehingga apa yang menjadi salah satu prinsip dasar COP, yaitu mengubah fokus pengamanan dari fokus reaktif pada kontrol kejahatan menjadi fokus proaktif pada penyebab kejahatan dan kekerasan disamping pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat lokal maupun secara umum bisa terwujud dan polisi bisa berwajah lebih “bersahabat” kepada masyarakat. Karenanya, –tragedi seperti di Bojong Bogor ; dimana polisi begitu brutalnya kepada masyarakat hanya karena pro kontra soal TPST ( Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) tak perlu terjadi lagi–***

  Sumber: Blakasuta Ed. 8 (2004) 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan Bahas Jejak Sejarah dan Ajaran Hindu di Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute — Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Bagi Orang Muda bahas jejak sejarah dan ajaran...

Populer

Artikel Lainnya