Sabtu, 27 Juli 2024

Pemerintah Didesak Keluarkan UU Perlindungan dan Keselamatan Kerja PRT

Baca Juga

Hari PRTKomisi Nasional Perempuan mendesak pemerintah khususnya DPR RI, Presiden, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakretrans) untuk segera mengeluarkan kebijakan pada standar upah minimum bagi pekerja rumah tangga (PRT) kedalam Undang-Undang.

Menurut anggota Komnas Perempuan Sri Nurherwati, desakan ini dikemukakannya karena hingga saat ini pemerintah masih belum mengupayakan besaran standar upah minimum, dan juga jaminan perlindungan dan keselamatan kerja bagi PRT

Para pembantu rumah tangga (PRT) sedang mengikuti acara peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional di Tugu Prolakmasi, Jakarta, Minggu (14/2).”Selama ini hak sebagai manusia (PRT) masih saja tidak manusiawi. Oleh karena itu perlu ada Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU Perlindungan dan keselamatan kerja ( PRT),” kata Sri di sela-sela peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional di Tugu Prolakmasi, Jakarta, Minggu (14/2).

Sri menjelaskan majikan sebagai pengguna dan PRT sebagai pelaksana pekerjaannya, harus saling menghargai hak-hak individunya, karena PRT bekerja selama 24 jam. “Dengan demikian, secara hukum hak-hak PRT, baik yang bekerja kepada majikan Indonesia maupun luar Indonesia dapat dilindungi, ujarnya.

Diungkapkannya, pihaknya sangat mendukung upaya kepolisian di Surabaya (Jatim) melakukan sosialisasi kepada para PRT untuk tidak mudah terpengaruh sebagai obyek kejahatan (trafficking) sebagai bentuk perlindungan sesuai amanat UUD 1945.

“Posisi PRT sangat rentan apalagi untuk perempuan dan anak. Secara relasi sosial sangat timpang ketika disosialisasikan adanya jaminan perlindungan yang menguatkan posisi PRT untuk tidak disalahgunakan,” ungkapnya.

Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga ini juga diluncurkan gerakan kampanye lewat acara “Serbet Cinta untuk PRT”.

Menurut Lita, aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), gerakan kampanye lewat serbet cinta raksasa ini dilakukan sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi rentan kekerasan yang dialami oleh PRT sekaligus mengingatkan kepada semua pihak mengenai pentingnya penghargaan dan pemenuhan hak terhadap PRT.

“Acara hari PRT ini berangkat dari keprihatinan sekaligus pengenangan terhadap peristiwa PRT anak, Sunarsih yang meninggal dianiaya oleh majikannya hingga meninggal pada 15 Februari 2001 lalu dan PRT-PRT lain yang hak-haknya dilanggar dan menjadi korban kekerasan,” kata Lita.

Untuk itu, menurut Lita,  melihat kondisi para PRT yang masih termarjinalkan, JALA PRT mengajukan dua tuntutan yang krusial kepada pemerintah.

“Pertama, JALA PRT mendesak pemerintah khususnya DPR RI, Presiden, dan Menakertrans untuk segera mewujudkan UU Perlindungan PRT pada 2010 ini. Kedua, JALA PRT menuntut pemerintah untuk menetapkan hari pekerja rumah tangga tanggal 15 Februari sebagai hari libur nasional untuk para PRT,” ujarnya.

Menurut data JALA PRT, hingga tahun 2008, PRT yang bekerja lebih dari 4 juta orang, termasuk di dalamnya satu juta anak pelayan. Di Indonesia, sebagian besar keluarga kelas menengah mempekerjakan pelayan untuk melakukan pekerjaan rumahtangga dan perawatan anak, tetapi tidak semua mengakui hak-hak mereka.

“Hal ini tidak dikenal di bawah UU Ketenagakerjaan di Indonesia. Mereka menerima gaji yang sangat rendah sebesar Rp200.000 per bulan untuk beban kerja yang sangat berat,” lirihnya.

Selain itu, lanjutnya, kadang-kadang majikan menyimpan gaji PRT dengan cara menunda pembayaran dan juga sering mengurangi gaji PRT sesukanya (majikan).

“PRT umumnya bekerja antara 12 sampai 16 jam karena tidak ada beban kerja tetap. PRT juga tidak memiliki hari libur mingguan dan memiliki sangat sedikit kesempatan untuk bersosialisasi di luar tempat kerja mereka,” ujarnya.

Untuk melakukan perubahan ini, menurut Lita diperlukan reformasi hukum oleh Presiden, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“PRT berhak menerima hak-hak yang setara dengan pekerja-pekerja lainnya, seperti kontrak kerja tertulis, upah minimum, upah lembur, satu hari libur dalam seminggu, delapan jam kerja per hari, waktu istirahat pada hari kerja, libur hari besar nasional, liburan, dan cuti sakit dengan gaji,” katanya (Az/id/Kominfo-newsroom).


Sumber:  http://www.bipnewsroom.info

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya