Jumat, 4 Oktober 2024

Peran MUI Pasca-Soeharto

Baca Juga

Penilaian yang terakhir tersebut semakin mengkristal ketika pada Juli 2005 MUI mengeluarkan sebelas fatwa yang dipandang banyak kalangan sebagai fatwa kontroversial. Dalam fatwa tersebut, MUI mengharamkan pemikiran Islam liberal, pluralisme, pernikahan antaragama, doa bersama yang dipimpin oleh non-Muslim, dan perempuan yang mengimami jama’ah shalat laki-laki. Fatwa tersebut juga menyuarakan kembali pelarangan Ahmadiyah karena dianggap sebagai sekte sesat. Fatwa tersebut telah menggerakkan beberapa kelompok Muslim radikal menyerang dan/atau mengancam komunitas Ahmadiyah dan tokoh-tokoh Muslim liberal. Satu tahun kemudian, tepatnya 21 Mei 2006, MUI mengorganisir demonstrasi besar-besar mendukung RUU APP (rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi) karena RUU tersebut, bagi kalangan Islamis, dipandang sebagai salah satu sarana untuk melakukan Islamisasi Indonesia.

 

Terhadap fenomena tersebut, banyak tokoh Muslim yang selama ini berpandangan moderat memandang MUI telah menjadi bagian dari kekuatan Islam konservatif yang selama ini berhasrat meg-islam-kan Indonesia. Dawam raharjo, misalnya, melihat fatwa MUI tersebut sebagai refleksi proses radikalisasi umat Islam Indonesia dalam rangka untuk menerapkan shari’at Islam di Indonesia.1 K.H. Mustofa Bisri, salah seorang tokoh NU, menyatakan bahwa fatwa kontroversial MUI mencerminkan hilangnya kepercayaan diri orang-orang MUI. Gus Mus, begitu dia biasa dipanggil, juga menyatakan bahwa orang-orang yang menyerang Ahmadiyah berdasarkan fatwa MUI tersebut adalah orang-orang yang lebih sesat.2 Respon MUI sendiri terdengar seperti suara Muslim konservatif yang memandang Islam selalu dalam ancaman musuh-musuh Islam. MUI menyatakan bahwa apa yang dilakukan MUI hanyalah mempertahankan Islam dari ancaman musuh-musuhnya.

 

Tulisan ini hendak menguji peran MUI dalam proses radikalisasi islam di Indonesia pasca-Soeharto. Secara keseluruhan, tulisan ini memperlihatkan bahwa telah terjadi transformasi MUI dari instrumen negara pada masa Orde Baru menjadi instrumen kalangan Muslim konservatif di era pasca-Orde Baru. Muslim radikal-konservatif sedemikian rupa memanfaatkan MUI dalam rangka menginstitusionalisasi nilai-nilai keagamaan mereka dan untuk mencapai agenda politik mereka, yaitu Islamisasi Indonesia.
        
MUI dan Kepentingan Politik Rejim Orde Baru

 

MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta pada acara Musyawarah Nasional ke-1 Majelis Ulama se-Indonesia yang berlangsung dari 21-27 Juli 1975 di Balai Sidang Senayan Jakarta.3 Ada dua alasan yang dikemukakan Soeharto saat itu: pertama, keinginan pemerintah untuk melihat umat Islam bersatu dan kedua, menyadari bahwa banyak problem yang dihadapi bangsa tidak dapat diatasi tanpa partisipasi ulama.4

 

Di samping alasan normatif tersebut, kepentingan politik rejim tampaknya justru yang lebih dominan. Soeharto sangat menyadari posisi penting ulama dalam masyarakat Indonesia. Dia tertarik untuk merangkulnya ke dalam agenda politiknya. Kepentingan politik pemerintah terhadap MUI bisa dilihat dari rambu-rambu yang diberikan Soeharto pada sambutan di acara pembukan, di antaranya: sebagai penerjemah konsep dan aktivitas pembangunan nasional dan daerah kepada rakyat; menggerakkan dan mengarahkan masyarakat untuk membangun; menjadi mediator antara pemerintah dan ulama; pejabat pemerintah bertindak sebagai pelindung; dan tidak boleh bergerak di bidang politik.5 Rambu-rambu tersebut memberi gambaran awal tentang tujuan politis pendirian MUI, yaitu untuk menetralisir ancaman politik umat Islam dan legitimasi keagamaan bagi kebijakan-kebijakan rejim.

 

Menurut M.B. Hooker, mulai periode 1975 sampai awal 1990-an, fungsi utama MUI adalah mendukung, dan dalam beberapa hal menjustifikasi, kebijakan dan program-program pemerintah.6 Pendapat senada juga dilontarkan oleh Mudzhar bahwa dari sejak berdirinya sampai akhir tahun 1980-an, MUI tidak berdaya menolak tekanan pemerintah yang memintanya untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah.7

 

Ada beberapa contoh yang bisa dikutip di sini. Salah satu di antaranya adalah kasus penggunaan IUD (Intra Uterine Device) sebagai praktek KB (Keluarga Berencana). Pada tahun 1971, sejumlah ulama mengeluarlkan fatwa bahwa IUD haram karena pemasangannya dilakukan dengan membuka aurat perempuan. Pemerintah memandang bahwa fatwa tersebut sangat berbahaya bagi kesuksesan program KB nasional, dan karenanya, berusaha keras untuk membujuk ulama agar mencabut fatwa tersebut. Baru dua belas tahun kemudian pemerintah bisa membujuk ulama. Dengan dukungan keuangan dari Departemen Agama dan BKKBN, MUI menggelar Konferensi Nasional Ulama di Jakarta pada 1983, di mana akhirnya pelarangan IUD dicabut. Ini jelas-jelas menunjukkan bagaimana MUI memberikan fatwa untuk menjustifikasi program-program pemerintah.8

 

Contoh lain dari sikap MUI yang paling sering disimpulkan sebagai kelemahan MUI terhadap pemerintah adalah tentang judi lotere (Porkas) yang disponsori pemerintah untuk menggalang dana olahraga.9 Sejak awal, umat Islam telah memprotes keberadaan lotere tersebut karena dianggap sebagai judi yang diharamkan oleh Islam. Sekalipun demikian, MUI pusat hanya diam. Bahkan, Ketua Komite Fatwa MUI Pusat, Ibrahim Hosen, menulis buku yang menjelaskan pandangannya tentang halalnya Porkas. Sekalipun dia menyatakan bahwa itu pendapat pribadi, masyarakat tetap menyorotnya sebagai representasi dari suara MUI. Setelah para mahasiswa Muslim melakukan demonstrasi, akhirnya pada 23 November 1991, MUI mengeluarkan fatwa bahwa judi lotere (SDSB) banyak mudharatnya dan hukumnya haram.10

 

Ketidakberdayaan MUI di hadapan pemerintah tercermin dalam ungkapan Basri. Dalam sebuah pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam pada tahun 1990-an, KH. Hasan Basri menyatakan bahwa MUI pernah menghadap Soeharto langsung dan meminta agar SDSB dihentikan karena menurut pengamatan MUI, SDSB lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Soeharto menjawab, “Kalau begitu Pak Kyai, saya minta Pak Kyia dan MUI untuk membantu mengurangi mudharatnya”.11

 

Dari beberapa kasus di atas, terlihat bahwa selama Orde Baru, MUI tidak berdaya untuk keluar dari tekanan pemerintah agar memberi legitimasi keagamaan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Konformitas MUI terhadap kebijakan pemerintah dilakukan dengan dua cara. Pertama, diam atau bersikap abstain dalam sebuah kasus yang dilematis seperti judi lotere. Kedua, memberi fatwa yang bersifat supportive terhadap kebijakan pemerintah.
         
Proses Awal Radikalisasi MUI

 

Radikalisasi MUI diawali pada tahun 1990-an ketika dalam rangka membendung gerakan-gerakan prodemokrasi dan kekuatan-kekuatan kritis, Soeharto membangun aliansi dengan kelompok-kelompok Islamis. Rejim Soeharto mulai mendekati kelompok-kelompok Islam yang sebelumnya bermusuhan, misalnya, DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Kisah pertemuan Anwar Harjono, ketua umum DDII saat itu, dengan Soeharto di Istana Negara bisa dianggap sebagai momentum rujuk. Acara ini terjadi pada Januari 1995 pada saat ketua umum DDII tersebut melaporkan rencana Sidang IX OKI (Organisasi Konferensi Islam) Bidang Dakwah. Acara OKI tersebut didukung penuh oleh pemerintah, bahkan Soeharto berkenan membukanya secara resmi. Menanggapi banyaknya komentar tentang dirinya, Harjono menyatakan, “Kalau pemerintahnya mendekat apa kita mesti menjauh.”12

Pergeseran atau perubahan orientasi politik rejim memiliki konsekuensi pada perubahan di dalam MUI. Kepengurusan MUI periode 1995-2000  mulai memasukkan tokoh-tokoh penting DDII, termasuk Anwar Harjono dan Hussein Umar, ketua dan sekretaris umum DDII. Bahkan, Hussein Umar telah diangkat sebagai staf ahli dalam Musyawarah Nasional MUI ke-5, pada 22-25 Juli 1995.13 Permasalahannya di sini bukan pada apakah Anwar Harjono dan Hussein Umar layak atau tidak menjadi pengurus MUI, namun poin penting di sini adalah bahwa selama ini MUI tertutup bagi tokoh-tokoh DDII yang dianggap sebagai kelompok Islam ekstrem yang tidak mendapat tempat dalam kehidupan politik Orde Baru.

Tanpa disadari ini menjadi proses awal radikalisasi MUI. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa sikap MUI yang hampir tidak ada bedanya dengan sikap keislaman kalangan konservatif. Misalnya, ketika kasus Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) meledak,14 di mana pemerintah menuduh PKI berada di belakangnya, kelompok Islam konservatif dengan antusias membela pemerintah. Media Dakwah, media DDII, melaporkan bahwa mimbar bebas yang dilakukan di kantor pusat DPP PDI berlangsung sangat brutal seperti perilaku PKI.15 Edisi bulan berikutnya menurunkan laporan bahwa PKI menunggangi PDI. Misalnya, salah satu beritanya berjudul “Massa Megawati Ditunggangi PKI Baru: Jakarta pun Dibakar dan Diguncang”. Wujud konkret dari kekuatan PKI ini adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik).16 Edisi bulan September, Media Dakwah terbit dengan judul cover “Ganyang Komunis, Umat Islam Paling Awal Anti PKI!!”. Hussein Umar, Sekjen DDII menyatakan bahwa rangkaian peristiwa menjelang 27 Juli memperlihatkan kesamaan aksi dengan yang biasa dilakukan PKI. Media Dakwah menurunkan laporan bahwa PKI menunggangi PDI.17

 

Bagaimanakah suara MUI dalam menyikapi tuduhan pemerintah dan kalangan DDII adanya kekuatan komunis di balik Kerusuhan 27 Juli?

 

K.H. Hasan Basri mengeluarkan pernyataan yang sama bahwa kekuatan PKI berada di balik peristiwa 27 Juli.18 Secara kelembagaan, MUI mengeluarkan pernyataan resmi yang menuduh bahwa kekuatan komunis berada di belakang aksi kerusuhan dan membenarkan tindakan aparat keamanan.19   Di samping itu, MUI bersama “ormas Islam”20 lain juga membuat pernyataan yang diberi judul “Sikap Umat Islam”. Pernyataan sikap tersebut berisi antara lain: gerakan-gerakan kelompok demokrasi selama ini dianggap sebagai mimpi untuk menggerakkan people’s power yang bertentangan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang religius dan cinta damai;  bersama dengan pemerintah dan ABRI, umat Islam akan menghadapai setiap gerakan radikal; menyerukan agar umat dan generasi muda waspada terhadap bahaya laten komunis dan juga menyerukan kepada semua umat beragama agar tidak menjadikan rumah ibadah sebagai persembunyian oknum-oknum PRD dan aktor-aktor intelektualnya; dan menyerukan kepada pers agar tidak memberi peluag kepada berkembangnya komunisme agar tidak terulang lagi kasus tabloid Monitor.21

 

Kasus lain adalah masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997. Pada 23 Januari 1998, Danjen Kopassus Mayjen Prabowo Subianto mengadakan acara buka bersama dengan umat Islam di Markas Besar Kopassus Cijantung. Fadli Zon menjadi mediator yang bertugas untuk mengundang tokoh-tokoh Islam.22 Anwar Harjono (Ketua DDII), K.H. Kholil Ridwan (Ketua BKSPPI), K.H. Abdul Rasyid Abd. Syafii (Ketua Dewan Pimpinan KISDI), Husein Umar (Sekretaris Jenderal DDII), Ir. AM. Luthfie (Forum Ukhuwah Islamiyah), KH. Hasan Basri (Ketua MUI) adalah bagian dari tokoh-tokoh penting yang datang di acara tersebut.23

 

Pesan yang hendak disampaikan dalam acara tersebut adalah bahwa krisis ekonomi Indonesia saat itu merupakan ulah para konglomerat Cina non-Muslim yang didukung oleh kekuatan Barat (Amerika, Yahudi, Nasrani dan Cina perantauan) yang tidak senang dengan perubahan politik nasional yang mulai berpihak ke Islam. Dalam pidatonya, Sumargono menyatakan bahwa keadaan sekarang adalah ulah CSIS dan orang-orangnya Benny Murdani yang iri karena Islam mulai menguasai politik nasional. Prabowo menyatakan bahwa harus ada persatuan yang kokoh antara umat Islam yang mayoritas dengan ABRI.24 Prabowo juga menyatakan secara terbuka bahwa dia akan mengambil tindakan terhadap orang-orang Cina yang merusak ekonomi Indonesia dan terhadap “musuh-musuh Islam”.25 Rangkain sambutan ini kemudian ditutup oleh sambutan K.H. Hasan Basri yang dalam sambutannya mensyukuri kemesraan antara umat Islam dengan ABRI. Dia juga memuji Prabowo sebagai tokoh masa depan. Dia bahkan berpesan agar umat Islam menjaga Prabowo.26

 

Kesamaan sikap MUI dengan kalangan Muslim konservatif tampak ketika pada 8-10 Februari 1998, MUI menggelar Rakernas. Isu yang mendominasi adalah bahwa bahwa krisis ekonomi yang terjadi tidak murni faktor ekonomi, tapi ulah kelompok tertentu yang tidak senang dengan naiknya peran Islam dalam kehidupan bernegara. Kelompok tersebut adalah yang selama ini menguasai pos-pos penting dan mulai terpinggirkan dengan mulai masuknya orang-orang Islam ke dalam birokrasi negara.27 Tidak sulit untuk ditebak bahwa “kelompok tertentu” tersebut adalah komunitas Cina dan non-Muslim.

 

Bisa disimpulkan bahwa organisasi korporatis seperti MUI, secara fungsional, adalah bagian dari aparatus negara. Perubahan politik rejim akan memberi dampak kepada lembaga korporatis tersebut. Dengan kata lain, aliansi rejim dengan kalangan Islamis pada akhirnya membawa pada proses radikalisasi dalam MUI.

MUI pasca-Soeharto (1998-1999): Menguatnya Faksi Konservatif di Dalam MUI

 

Pada tahun 1998, Menjelang jatuhnya Soeharto, Din Syamsuddin yang saat itu menjadi sekretaris harian MUI membawa masuk beberapa organisasi Islam radikal, antara lain, Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (FKAWJ), Hizbut Tahrir (HT), dan Front Pembela Islam (FPI),28 ke dalam MUI melalui pintu Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Din mengakui bahwa tujuannya adalah untuk menjembatani gap antara Muslim radikal dan moderat.29

 

Akan tetapi, betulkan tujuan Din adalah untuk membangun jembatan antara Muslim radikal dan moderat? Untuk mengetahui tujuan sesungguhnya di balik perekrutan kelompok-kelompok Islam radikal ke dalam MUI, paling tidak, dua pertanyaan pokok harus dijawab lebih dulu: pertama, siapa (kelompok mana) yang berada di belakang FUI dan apa motif gerakannya dan kedua, apa dampaknya terhadap MUI.

 

FUI yang menjadi pintu masuknya kelompok Islam radikal ke dalam MUI adalah sebuah forum bersama organisasi dakwah (orda) dan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang selama ini terkoordinasi di bawah payung DDII. FUI dirintis oleh M. Natsir pada 1 Agustus 1989.

 

Pendirian FUI dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas kristenisasi yang dianggap cukup membahayakan akidah umat Islam selama kekuasaan Orde Baru. Dalam naskah pendiriannya dinyatakan bahwa umat Islam perlu memperhatikan secara seksama permasalahan-permasalahan agama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. FUI didirikan sebagai forum silaturrahmi untuk mempererat persatuan dan kesatuan serta sebagai wahana untuk melakukakan pengkajian atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas.30 FUI juga menyelenggarakan diskusi-diskusi untuk mengkaji politik nasional berkaitan dengan kepentingan politik umat Islam. Hasil kajian diserahkan kepada orang-orang yang dianggap dapat mempengaruhi kebijakan negara melalui lobi tokoh-tokoh FUI.31

 

Penilaian bahwa hampir semua tokoh yang tergabung dalam FUI berasal dari ormas atau orda yang memiliki kaitan historis dengan Masyumi bisa dilihat dari 25 tokoh yang menandatangani naskah pendirian FUI. Mereka adalah K.H. Masjkur (NU), KH. Rusli Abdul Wahid (Perti), M. Natsir (DDII), Prof. Dr. H.M. Rasjidi (DDII), H.M. Ch. Ibrahim (SI), K.H. Hasan Basri (DDII dan Ketum MUI), K.H.M. Yunan Nasution (DDII), K.H.A. Latief Muchtar, MA (Persis), Dr. Anwar Harjono, SH (DDII), Bustaman, SH (SI), Drs. H. Nurulhuda (Perti), Faisal Baasir, SH (al-Irsyad al-Islamiyah), Ir. H.A.M. Luthfi (DDII), K.H. Murtadho Ahmad (Pesantren al-Barkah Bekasi), Radjab Ranggasoli, SH (mantan anggota DPR/MPR), Drs. Sjaiful Masjkur (NU), H. Hussein Umar (DDII), A. Rahman Syamsuddin (SI), K.H. Sholeh Iskandar BKSPP se-Jabar), K.H. Buchari Tamam (DDII), K.H. Noer Ali (Pesantren At-Taqwa Bekasi), Prof. Dr. Ismail Sunny, SH., MCL (Muhammadiyah), Moh. Soleman (DDII), K.H. Dudun Abdulqohhar (Pesantren Ad-Dakwah Sukabumi), dan H. Nuddin Lubis (mantan wakil ketua DPR/MPR).32 Dari 25 orang penandatangan, 9 orang berasal dari DDII. Hanya dua orang yang berasal dari NU, itu pun bukan berasal dari unsur PBNU. Selebihnya dalah orang-orang yang berasal dari latar belakang ormas-ormas Islam yang dekat dengan DDII, baik langsung maupun tidak.

 

Bahwa FUI merupakan forum bersama ormas-ormas Islam yang dekat dengan DDII juga bisa dilihat dari susunan presidiumnya. Setelah disahkan pada 18 Februari 1995, presidium FUI beranggotakan sembilan orang yang terdiri dari pimpinan puncak ormas-ormas Islam, antara lain, Ittihadul Muballighin (Korps muballigh yang diketuai oleh Syukron Makmun), Muhammadiyah, DDII (Dewan Dakwan Islamiyah Indonesia), PUI (Persatuan Umat Islam), Al-Irsyad al-Islamiyah (al-Irsyad), BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia), Persis (Persatuan Islam), dan SI (Syarikat Islam)33

 

Jadi, FUI adalah front bersama perjuangan politik ormas-ormas Islam yang berada di bawah payung DDII atau dekat dengan keluarga besar DDII. Bahkan, bisa dikatakan bahwa DDII menjadi unsur dominan di dalamnya. Bersama dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa, mereka berusaha memainkan kartu Islam untuk menghadapai tuntutan reformasi yang sedang disuarakan oleh mahasiswa dan kelompok-kelompok pro-demokrasi lain.

 

Selanjutnya, kita perlu mendiskusikan pengaruh kelompok konservatif di dalam MUI. Pengaruh mereka bisa dilihat dari penjelasan Ali Yafie, ketua umum MUI dari tahun 1998-2000, tentang FUI. Dia menyatakan bahwa FUI adalah forum pendamping MUI.34 Selanjutnya, Yafie menyatakan bahwa Forum Ukhuwah Islamiyah berperan aktif dari saat berkembangnya gerakan reformasi, terutama bulan Mei, bulan di mana Soeharto mengundurkan diri. Forum ini terus-menerus melakukan pertemuan, arahan dan bimbingan kepada umat Islam sesuai dengan peran MUI.35 Penjelasan Yafie tersebut sama dengan keterangan Amidhan, salah seorang ketua MUI, yang menyatakan bahwa FUI merupakan forum diskusi “para pimpinan ormas Islam tingkat pusat” yang secara terbatas dan intens terselenggara secara teratur yang difaslilitasi MUI.36 Pengakuan MUI terhadap FUI sebagai forum pendampingnya ini dibuktikan dengan mengikutsertakan, bahkan mengorganisir, FUI untuk menyikapi problem-problem nasional sehingga FUI turut berpartisipasi dalam pengeluaran statemen-statemen yang dilakukan oleh MUI.37

 

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa FUI memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap MUI di saat reformasi. Kuatnya pengaruh FUI terhadap MUI berarti menguatnya pengaruh kalangan Muslim radikal terhadap MUI.

 

Yang tidak kalah penting untuk dijawab adalah pertanyaan mengapa kalangan konservatif bisa tiba-tiba begitu berpengaruh terhadap MUI? Jawabannya adalah kesiapan kalangan ini untuk mengambil peran baru dalam situasi politik saat itu dibanding kelompok lain. Keterlibatannya yang intens dalam masalah-masalah politik di penghujung akhir pemerintahan Soeharto membuatnya menjadi salah satu kelompok yang “paling siap” dalam permainan politik saat itu. Seperti yang telah diprediksi oleh Liddle sebelumnya bahwa kelompok Muslim skripturalis, khususnya DDII, akan memiliki sumber daya politik yang besar setelah turunnya Soeharto. Prediksi ini didasarkan antara lain atas fakta bahwa mereka memiliki aliansi dan akses ke para politisi di samping didukung oleh organisasi dan media.38  

 

Hal yang sama juga bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa “tiba-tiba” Din Syamsuddin memiliki peran penting dalam membawa masuk kelompok Islam radikal ke dalam MUI. Dibanding dengan figur-figur lain di dalam MUI, Din adalah orang yang paling paham mengenai peta politik saat itu. Din memiliki background politik yang cukup kuat. Pengalamannya sebagai koordinator Badan Litbang Golkar serta keterlibatannya dalam CPDS (Center for Policy and Development Studies) dan IPS (Institute for Policy Studies) telah membuatnya menjadi orang yang paling siap sebagai mastermind dalam langkah-langkah politik yang harus diambil MUI saat itu.

 

Uraian di atas menjelaskan kepada kita tentang mulai “berkuasanya”39 kalangan konservatif-radikal di dalam MUI. Keberhasilan kelompok ini “menguasai” MUI menentukan karakter MUI selanjutnya, di mana MUI bergeser dari mandat awalnya (“tidak boleh bergerak di bidang politik”) masuk ke dalam permainan politik praktis yang dikendalikan oleh kalangan Islam konservatif-radikal.
        
Politisasi MUI: MUI, Islam Militan, dan Militer

 

Bagian ini akan mendiskusikan politisasi MUI oleh kalangan Muslim konservatif dan sisa-sisa kekuatan rejim lama, terutama militer, dengan membahas empat kasus: sikap politik MUI terhadap pengangkatan Habibie sebagai presiden, pembentukan Furkon, penyelenggaraan KUII, dan tawsiyah MUI menjelang Pemilu 1999.

1. MUI dan Kepresidenan Habibie
Adalah menarik untuk melihat sikap MUI terhadap kepresidenan Habibie dalam konteks perseteruan politik yang terjadi pasca turunnya Soeharto. Paling tidak, ada tiga kekuatan besar yang sedang bertarung saat itu: sisa-sisa kekuatan rejim sebelumnya yang tetap berkuasa, kelompok Muslim konservatif yang berusaha untuk mendapatkan peran politik dalam situasi politik baru, dan kekuatan pro-reformasi total. Melihat sikap MUI terhadap kepresidenan akan memberi informasi kepada kita tentang posisi politik MUI dalam peta kontestasi politik saat itu.

 

Pengangkatan Habibie sebagai presiden menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang menolak menganggap bahwa Habibie adalah bagian rejim lama yang secara moral tidak berhak menjadi presiden. Sementara, kelompok yang mendukung Habibie menganggap bahwa hal itu sesuai dengan prosedur konstitusional. Kalangan Muslim konservatif adalah bagian dari kelompok pendukung kepresidenan Habibie. Anwar Harjono, ketua umum DDII, menyatakan bahwa pengangkatan Habibie adalah konstitusional dan sah.40

 

Sore hari setelah Habibie dilantik menjadi presiden, beberapa organisasi Islam yang dekat dengan DDII, misalnya, KISDI, PII, BKSPPI, dsb. menggelar demonstrasi di gedung DPR/MPR untuk mendukung Habibie. Berbeda dengan para mahasiswa yang meneriakkan reformasi total, slogan demonstran baru ini adalah “reformasi konstitusional”.41 Polarisasi kekuatan juga terlihat dalam barisan mahasiswa sendiri. Akan tetapi, polarisasi ini memperlihatkan pola yang sama. Kelompok mahasiswa yang memiliki kedekatan ideologis dan historis dengan Masyumi di masa lalu atau DDII mendukung (atau paling tidak, tidak melakukan penolakan dan perlawanan secara terbuka terhadap) Habibie. Sebagai contoh,  KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) tidak menolak pengangkatan Habibie.42

 

Kekuatan di belakang demonstrasi baru ini adalah aliansi lama antara Muslim konservatif (keluarga DDII atau orda/ormas Islam yang bergabung di dalam FUI/BKUI) dan militer hijau. Diakui oleh Fadli Zon bahwa pada malam hari di hari ketika Habibie dikukuhkan menjadi presiden, dia dan Din Syamsuddin serta beberapa orang lain menemui Prabowo untuk meminta Prabowo menemui Habibie guna memberi ucapan selamat dan usulan-usulan bagi kabinet Habibie. Fadli Zon dan Kivlan Zen diminta Prabowo untuk menyiapkan usulan (diketik di Makostrad) yang kemudian dibawa Prabowo menemui Habibie. Din Syamsuddin memimpin doa agar Habibie mau menerima usulan mereka. Prabowo juga dititipi pernyataan sikap 44 ormas Islam yang tergabung dalam Komite Reformasi Konstitusional yang akan berdemonstrasi mendukung Habibie di gedung DPR/MPR besok pagi.43 Pengakuan Zon ini dibenarkan oleh Dewi Fortuna Anwar, salah seorang penasehat Habibie, bahwa setelah Habibie dilantik sebagai presiden, Prabowo menemui Habibie dan menyatakan dukungannya. Prabowo “menekan” Habibie agar ia tetap dipertahankan di posisinya sebagai Pangkostrad dan mengusulkan agar Subagyo diangkat sebagai Pangab menggantikan Wiranto. Saat itu, Prabowo juga menunjukkan pamflet yang akan dibawa oleh para demonstran pendukung Habibie yang diorganisirnya untuk mengimbangi kekuatan mahasiswa di gedung DPR besok pagi.44

 

Dalam situasi ini, posisi MUI dapat dilihat dalam pernyataan sikapnya. Setelah mengadakan pertemuan dengan FUI, pada tanggal 27 Mei MUI mengeluarkan pernyataan sikap yang berjudul “Amanah kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie”. Melalui ini, MUI memberi ucapan selamat kepada Presiden Habibie sebagai Presiden RI ketiga. Dinyatakan juga bahwa jabatan presiden yang sekarang dipegang Habibie adalah amanah dari Allah dan seluruh bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan dan reformasi sesuai dengan undang-udang. MUI berharap agar amanah ini memberi dorongan moral bagi Habibie dan kabinetnya untuk berkerja sungguh-sungguh, tenang dan tegar. Tidak lupa statemen tersebut menghimbau agar semua pihak menghentikan polemik tentang posisi presiden dan kabinet. MUI juga mendukung penuh Menhankam/Pangab, Jendral Wiranto, yang mendukung kepemimpinan Habibie.45

 

Sikap MUI di atas menunjukkan sebuah indikasi yang sangat kuat bahwa dia berada dalam jaringan aliansi kelompok Muslim konservatif dengan militer. Di samping pengakuan MUI sendiri bahwa pernyataan sikapnya dikeluarkan setelah bermusyawarah dengan FUI, isi pernyataan sikap tersebut juga paralel dengan sikap politik keluarga besar DDII. Pada 30 Juni 1998, pengurus DDII yang langsung dipimpin oleh Anwar Harjono mengadakan pertemuan dengan Habibie. Pada pertemuan tersebut, dinyatakan bahwa jabatan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri adalah sah secara hukum. Setiap upaya yang mempersoalkan keabsahan Habibie adalah inkonstitusional. Oleh karena itu, Presiden Habibie diharapkan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan yang perlukan untuk menyelamatkan bangsa dan dapat menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan tuntutan reformasi.46

 

Politisasi MUI oleh militer dan kelompok Islam konservatif akan semakin terlihat dalam pendirian Furkon (Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi) dan Pam-Swakarsa, pasukan sipil pengaman SI-MPR 1998.

2. Furkon dan Pam-Swakarsa SI-MPR

Polarisasi kekuatan politik antara yang pro dan kontra-Habibie terus berlanjut sampai menjelang digelarnya Sidang Istimewa MPR(SI-MPR) pada 10-13 November 1998. Kelompok Islam konservatif yang selama ini membela Habibie bertekad untuk mengamankan SI, sedang kalangan nasionalis-sekuler yang sejak awal menolak Habibie bertekad untuk menggagalkan SI.47

 

Pro-kontra ini bisa dilihat dalam perang spanduk antara kedua kubu. Spanduk-spanduk kelompok kontra-Habibie, misalnya, “Turunkan Sembako, Turunkan Habibie” atau “Aksi Reformasi Belum Selesai” disaingi dengan spanduk-spanduk yang menuduh gerakan reformasi sebagai gerakan komunis, misalnya, spanduk yang berbunyi, “Jika Kamu Melawan Habibie, Kamu melawan Islam, dan Jika Kamu melawan Islam, Kamu adalah Komunis”.48 Spanduk versi terakhir tersebut di bawahnya tertera nama organisasi-organisasi Islam konservatif, misalnya, KISDI, DDII atau BKSPPI.

 

Menurut Marcus Mietzner, tuduhan-tuduhan komunis tersebut memperlihatkan dua hal. Pertama, adanya faksi dalam militer yang menggunakan Islam sebagai kekuatan politik yang dimobilisasi untuk menghadang musuhnya. Kedua, kepentingan barisan pendukung Habibie untuk mempertahankan Habibie dengan mencap  kelompok yang anti-Habibie sebagai komunis. Munculnya spanduk, selebaran dan khotbah jum’at  yang menyerukan bahaya komunis menunjukkan adanya mobilisasi umat Islam oleh pemerintah dan ABRI untuk menghadang gerakan anti-Habibie.49

 

Ada beberapa kelompok yang tergabung dalam Pam-Swakarsa. Ada Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, FKPPI, dll. Sekalipun demikian, kelompok Islam adalah yang paling besar. Di antara kelompok Islam tersebut, Furkon adalah kelompok yang paling menonjol.50 Furkon-lah yang paling aktif menghadang demontrasi mahasiswa sejak beberapa hari sebelum SI dilaksanakan.51

 

Komandan lapangan Furkon adalah Faisal Biki, adik kandung Amir Biki, tokoh Islam garis keras yang meninggal dunia dalam persitiwa Tanjung Priok 1984. Dialah yang merekrut dan mengorganisir pasukan Furkon.52 Faisal Biki meyakini bahwa mengamankan SI sama dengan membela Islam. Dengan tegas, dia  menyatakan, “Untuk Islam, saya siap tumpahkan darah dan serahkan jiwa.”53 Pandangan Biki tersebut adalah pandangan umum kalangan Muslim konservatif pembela Habibie yang bertekad mengamankan SI. Egy Sudjana, misalnya, menyatakan bahwa pemerintahan Habibie adalah pemerintahan yang menguntungkan umat Islam sehingga SI harus diamankan sekalipun dengan tantangan yang berdarah-darah.54
        
Pasukan Swakarsa Islam Pro-SI55
  No Organisasi Jumlah Massa Keterangan
1 Banser GP Ansor (NU) 3.000 orang Tidak jadi turut terlibat dalam Pam-Swakarsa karena diperintahkan untuk menjaga rumah-rumah kiai dan pesantren-pesantren
2 GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan Masyarakat Banten 30.000 orang Sejak sepekan menjelang SI sudah berada di gedung DPR/MPR, dan jumlah ini terus bertambah.
3 FURKON (MUI) 100.000 orang Sejak sepekan menjelang SI sudah berada di gedung DPR/MPR, sebanyak 40.000 orang.
4 Brigade Hizbullah (Badan Koordinasi Umat Islam) 120.000 orang Didukung 32 Ormas Islam 
5 KISDI (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) 5000 orang Didukung sejumlah pesantren yang tergabung dalam dalam BKSPPI
6 Liga Muslim Bandung 1.000 orang Dikumpulkan dari beberapa kabupaten di Jawa Barat, antara lain: Ciamis, Garut, Tasikmalaya, dll.
7 Remaja Masjid Al-Furqon Bekasi 450 orang Berada di gedung DPR/MPR sepekan menjelang SI
8 Mahasiswa Islam Bandung 700 orang Gabungan sejumlah mahasiswa Muslim di berbagai kampus

         
Furkon adalah sebuah organisasi baru yang dibentuk pada tanggal 10 September 1998 oleh Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Tokoh penting di balik pembentukan Furkon adalah Nazri Adlani, di mana Adlani sendiri akhirnya ditetapkan sebagai ketua umumnya dengan dibantu oleh Najmuddin Ramly sebagai sekretaris umum. Tujuan pembentukan Furkon adalah untuk mengamankan dan menyukseskan SI-MPR.

 

Sekalipun dibentuk oleh FUI, namun Furkon dianggap banyak kalangan sebagai sayap paramiliter MUI saat itu. Penilaian Furkon sebagai sayap pramiliter MUI didasarkan pada beberapa hal.  Pertama, MUI secara kelembagaan tidak pernah menyangkalnya. Kedua, FUI yang melahirkan Furkon dianggap MUI sebagai forum pendampingnya, di mana banyak sikap-sikap politik MUI secara langsung berasal dari FUI, sehingga banyak kalangan yang merangkai nama FUI dengan MUI (FUI-MUI). Ketiga, Hasan Basri yang menjadi ketua umum MUI adalah salah seorang pendiri FUI. Keempat, Furkon menjadikan kantor MUI sebagai pusat koordinasi, bahkan dalam beberapa aksinya, Furkon secara terang-terangan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari MUI sehingga banyak juga kalangan yang menyebut nama lengkap Furkon dengan Furkon-MUI. Kelima, ketua umum Furkon adalah Nazri Adlani, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris umum MUI.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa atau kekuatan mana sesungguhnya yang berada di belakang Furkon?

Kita bisa mengawali diskusi ini dari sosok Nazri Adlani yang menjadi figur penting dalam Furkon. Nazri Adlani yang menjadi sekretaris umum MUI untuk periode kepengurusan 1995-200 adalah mantan koordinator petugas Bintal (Pembinaan Mental) TNI Angkatan Darat. Dari latar belakang Adlani ini kita bisa menduga bahwa militer berada di belakang Furkon. Dugaan ini bisa dibenarkan dengan pengakuan Faisal Biki sendiri yang menyatakan bahwa yang mendanai mereka adalah Jenderal TNI Wiranto dan Abdul Gafur, Wakil DPR/MPR. Ia mendapatkan dana lebih dari 50 juta rupiah untuk merekrut pasukan dan mengorganisirnya. Pengakuan senada juga datang dari anggota milisi lain.56

 

Cara Wiranto menangani SI-MPR memperlihatkan pola lama, yaitu mengadu masyarakat sipil, di mana agama (Islam) dimanfaatkan dalam permainan politik.57 Ketika terjadi penembakan mahasiswa di kampus Unika Atma Jaya, serombongan militer yang langsung dipimpin oleh Kasum ABRI saat itu, Letjen  Fachrur Razi, mengadakan pertemuan tertutup dengan para pimpinan MUI. Dalam pertemuan tersebut, pihak militer meminta kepada para pimpinan MUI agar ketika beceramah ke masyarakat, menyebut nama Universitas Atma Jaya secara lengkap, yaitu Universitas KATOLIK Atma Jaya.58 Tidak sulit untuk menebak maksud di balik permintaan ini. Militer hendak membangun opini bahwa Tragedi Semanggi bukan bentrokan antara kelompok konservatif dan reformis, tetapi antara Muslim dan non-Muslim.

 

Sikap Furkon yang akan berjuang mati-matian mengamankan SI dengan menggunakan isu agama jelas merupakan isu yang juga diusung oleh kalangan Islam konservatif. Sehari menjelang SI, FSUHTM (Forum Silaturahmi Ulama, Habaib dan Tokoh Masyarakat) se-Jabotabek  mengadakan Apel Akbar Umat Islam di Stadion Senayan Jakarta. Sejumlah tokoh Muslim konservatif hadir, misalnya, Ketua Pelaksana Harian  KISDI, Ahmad Sumargono dan Sekjen DDII, Hussein Umar. Di acara ini, dinyatakan secara tegas tekad untuk mendukung SI-MPR. Di acara ini juga diserukan agar kelompok-kelompok yang akan menggagalkan SI-MPR menghentikan aksinya karena jika tidak, umat Islam akan siap menempuh segala resiko.59

 

Dengan melihat uraian di atas, tampak bahwa Furkon adalah sebuah “proyek politik” yang secara langsung melibatkan MUI dalam jaringan aliansi Islam konservatif dengan militer menjelang dan selama SI-MPR. Melalui Furkon, MUI menjadi “rumah bersama” antara Islam militan dan militer. Politisasi MUI oleh Islam militan dan militer juga terlihat dalam pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-3 yang diselenggarakan oleh MUI pada 3-7 November 1998 di Jakarta.
        
3. KUII (Kongres Umat Islam Indonesia)
Sebagaimana Furkon, Kongres Umat Islam bermula dari rekomendasi FUI atau BKUI yang menyelenggarakan rapat pada tanggal 10 dan 14 September 1998.60 Banyak kalangan menganggap bahwa KUII adalah puncak dari seluruh rangkaian upaya untuk mengamankan SI. Mimbar Ulama, majalah resmi MUI, mengungkap secara implisit bahwa Kongres Umat Islam merupakan rangkaian dari berbagai kegiatan awal untuk mendukung SI-MPR.61 Akan tetapi, KUII tidak semata-mata menjadi forum konsolidasi untuk mengamankan SI, tapi juga konsolidasi awal untuk kerja-kerja politik berikutnya, misalnya, memenangkan parpol Islam dalam Pemilu 1999 dan menerapkan syariat Islam di Indonesia.

 

Dalam kerangka acuan kongres secara jelas dinyatakan bahwa latar belakang pemikiran yang mendasari Kongres adalah situasi politik nasional saat itu.62 Dari jadwal pelaksanaan yang hanya beberapa hari menjelang SI-MPR, orang bisa menebak bahwa KUII ini memiliki muatan politis untuk mengarahkan suara Islam dalam mendukung SI. Hal ini bisa dilihat dalam hasil-hasil persidangan Komisi Sosial-Politik, di mana salah satu poinnya tidak hanya mendukung SI, tapi juga menyatakan kesiapan untuk mengamankannya. Komisi ini juga mewajibkan umat Islam untuk “memilih hanya calon-calon (tokoh) yang memiliki cita-cita terlaksananya ajaran Islam dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Umat Islam juga diwajibkan untuk “berusaha dan memberikan segala macam bantuan pengorbanan untuk tercapainya kemenangan Islam dalam Pemilu yang akan datang”.63 Hasil Komisi Sosial-Politik ini kemudian ditetapkan menjadi salah satu Rekomendasi KUII: mendukung pelaksanaan SI dan memenangkan partai Islam dalam Pemilu 1999.64  

 

Suasana Kongres terlihat seperti forum konsolidasi kekuatan politik Islam dalam menghadapi situasi politik yang ada. Tujuan jangka pendeknya adalah konsolidasi kekuatan untuk mengamankan SI MPR, dan dengan sendirinya berarti  mengamankan posisi Habibie, sedang tujuan jangka panjangnya adalah mengkonsolidasikan kekuatan Islam di tengah situasi politik yang sedang berubah secara cepat. Kemenangan politik Islam hanya bisa dicapai dengan persatuan umat Islam. Inilah semangat yang bisa dilihat selama pelaksanaan KUII. Salah satu pernyataan perserta kongres barangkali mewakili semangat yang ada di dalam kongres, “Insya Allah kita bisa bersatu; Insya Allah besok partai Islam di Indonesia hanya satu, yang mesti mendominir DPR dan senayan, bukan partai ini, itu, tetapi partai Islam, Hizbullah, partai Allah”.65

 

Selain persatuan politik Islam, isu lain yang mengemuka di forum adalah tentang penerapan syariat Islam. Di forum Kongres, isu ini tidak hanya dilontarkan secara sporadis, tapi menjadi bagian dari poin-poin penting yang dihasilkan oleh Kongres. Yang paling jelas adalah hasil Komisi Keagamaan, di mana poin pertamanya secara gamblang menginginkan agar “pelaksanaan syariat Islam dicantumkan dalam salah satu pasal UUD 1945”.66

 

Perdebatan lain yang banyak menarik perhatian kalangan luas adalah tentang presiden perempuan. Pertanyaan yang terlontar di forum adalah apakah Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Muslim dapat menerima perempuan sebagai presiden. Komisi Keagamaan dan Komisi Sosial-Politik sama-sama membahas masalah ini.  Komisi Sosial Politik menyatakan bahwa karena “mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim, maka Kongres Umat Islam ke-3 merekomendasikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah seorang pria yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt [tulisan tebal dari penulis].”67   Jelas di sini bahwa syarat menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia adalah pria dan beragama Islam. Sementara itu, Komisi Keagamaan terpecah menjadi dua: sebagian menyetujui dan sebagian menolak. Akhirnya, komisi meneruskan ke Steering Committee Kongres untuk membawa masalah tersebut ke Komisi Fatwa MUI.68 MUI tidak mengeluarkan fatwa apapun tentang kontroversi presiden perempuan.

 

Terlihat di sini agenda dan kepentingan politik kalangan Muslim konservatif sedang membonceng di belakang MUI. Keterlibatan DDII dalam KUII diakui sendiri oleh Anwar Harjono, “Dewan Dakwah…telah ikut menunjukkan partisipasinya dalam Kongres Umat Islam Indonesia, baik dalam penyusunan materi kongres, maupun dalam penyelenggaraannya, dan perumusan hasilnya”.69

 

Dari arena Kongres, kita bisa melihat dua kepentingan sedang bermain di dalam MUI. Militer (dan sisa-sisa rejim lama yang masih berkuasa) berkepentingan terhadap KUII dalam rangka untuk mengamankan SI, sedang kalangan Muslim konservatif tidak hanya berkepentingan untuk mengamankan SI, namun juga menjadikan KUII sebagai forum konsolidasi kekuatan politik Islam untuk mencapai target-target politik ke depan. Politisasi MUI oleh kalangan Muslim konservatif dan militer terlihat kembali menjelang Pemilu 1999.
        
4. MUI dan Pemilu 1999: Mengamankan Pemilu dan Memenangkan Parpol Islam

Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa militer berusaha untuk tidak kehilangan segala-galanya hanya karena reformasi politik yang tidak bisa mereka kendalikan. Oleh karena itu, maka militer berusaha agar reformasi politik tetap berlangsung secara terkendali. Militer mendukung agenda reformasi, asalkan tetap dijalankan oleh pemerintah. Itu berarti bahwa militer akan mengamankan tahap-tahap reformasi “resmi”, salah satunya adalah pelaksanaan Pemilu 1999.  Dengan alasan yang sama sebagaimana mereka mengamankan SI, kalangan Muslim konservatif juga kepentingan untuk mengamankan Pemilu 1999. Habibie tetap menjadi alasan utamanya. Habibie tetap dianggap sebagai figur penting bagi perjalanan politik Islam ke depan. Tidak mengherankan jika kalangan ini tetap mengusung Habibie sebagai calon presiden yang bisa menghadang Megawati.

 

Akan tetapi, bagi kalangan Muslim konservatif, mereka tidak cukup hanya mengamankan Pemilu, tapi juga harus memenangkannya. Bagi kalangan ini, Pemilu 1999 adalah momentum pertaruhan. Jika mereka gagal, maka itu berarti mereka akan tetap berada di pinggir lapangan politik nasional. Oleh karena itu, kalangan ini berjuang mati-matian untuk merebut suara umat Islam agar tidak lari ke parpol “non-Islam”. Sebagaimana yang terlihat di atas, upaya ini telah mereka lakukan sejak KUII. Menjelang Pemilu 1999, MUI kembali mereka gunakan untuk mengarahkan suara umat Islam agar memilih parpol Islam.

 

Furkon mengadakan Apel Akbar Umat Islam se-Jabotabek untuk mendukung suksesnya Pemilu pada 3 April 1999. Apel ini dilakukan untuk memberi warning kepada kelompok mana saja yang ingin menggagalkan Pemilu. Dalam pernyataan sikapnya, Furkon menyatakan bahwa solusi terbaik memecahkan masalah adalah Pemilu sehingga seluruh komponen bangsa harus menyukseskan Pemilu, dan siapa saja yang hendak menggagalkan Pemilu, maka Furkon dan seluruh umat Islam wajib menghadapinya. Furkon juga meminta agar mahasiswa untuk menghentikan demonstrasi karena demonstrasi hanya akan mencemaskan dan meresahkan masyarakat, sedang masyarakat diminta untuk tidak bertindak anarkhis. Tidak lupa, Furkon menyerukan untuk tetap waspada terhadap bahaya komunis sehingga tragedi G30S/PKI tidak terulang kembali.70

 

Sikap Furkon di atas kemudian dikuatkan dengan tawsiyah MUI pertama yang dikeluarkan pada 29 April 1999. Tawsiyah pertama ini berjudul “Himbauan Majelis Ulama Indonesia untuk Suksesnya Pemiliham Umum 1999”. Tawsiayah ini merupakan himbauan kepada masyarakat, terutama umat Islam, untuk menyukseskan Pemilu 1999 secara damai dan demokratis. Ada tiga poin penting dalam tawsiyah ini: pertama, mengharap umat Islam untuk berpartisipasi dalam Pemilu; kedua, menghimbau umat Islam untuk memilih parpol yang mampu memimpin bangsa ke arah kehidupan yang harmonis, bersatu, damai dan sejahtera; ketiga, menghimbau umat Islam untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan umat dan bangsa secara keseluruhan.71

 

Tawsiyah pertama diikuti oleh tawsiyah kedua yang dikeluarkan MUI pada 20 Mei 1999. Judul tawsiyah ini adalah “Taushiyah Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Menyongsong Pemilu 1999”. Tawsiyah kedua mulai memperlihatkan tensi menaik. Di samping menekankan kembali beberapa poin dalam tawsiyah sebelumnya, tawsiyah ini juga mulai terasa arah politik yang hendak dituju, yaitu memenangkan partai Islam dengan cara menjaga persatuan antarsesama parpol Islam dan mempengaruhi umat Islam untuk tidak memilih parpol yang “disusupi komunis”. Salah satu poin tawsiyah menghimbau agar umat Islam mengutamakan ukhuwah Islamiyah dan menghindari perselisihan dan perpecahan. Para pemimpin partai Islam dan partai yang berbasis umat Islam juga dihimbau untuk menghindari sikap egoisme kelompok. Setelah menyeru persatuan para pemimpin parpol Islam, poin berikutnya mengingatkan kembali tentang bahaya laten komunis yang sangat membahayakan agama. Sebagaimana yang tertera dalam salah satu poinnya, menyatakan bahwa “ [Menghimbau] Seluruh bangsa Indonesia, khususnya umat beragama, untuk waspada terhadap bahaya laten komunisme/PKI yang berusaha untuk menyusup ke dalam partai politik bahkan organisasi keagamaan.”72

 

Persatuan di antara sesama partai politik Islam atau yang berbasis umat Islam telah disuarakan sejak KUII. Pada saat itu, tidak sedikit suara yang menghendaki agar umat Islam bernaung di bawah satu partai. Ketika Pemilu 1999 semakin dekat, gagasan tentang persatuan partai Islam semakin kuat disuarakan, misalnya, ide kampanye bersama parpol Islam di dalam masjid dengan tidak menyebut nama partai.73

 

Jika pada tawsiyah pertama dan kedua, agenda politik kalangan Islamis masih terlihat samar-samar dan malu-malu, maka tawsiyah ketiga semakin terlihat jelas dan terang-terangan ke arah mana sesungguhnya tawsiyah politik MUI hendak di arahkan. Setelah tawsiyah kedua menghimbau untuk persatuan partai politik Islam dan mewaspadai bahaya laten komunis yang menyusup ke parpol, tawsiyah ketiga merupakan tujuan pokoknya, yaitu menggiring umat Islam untuk memilih partai Islam. Tawsiyah ketiga dikeluarkan satu minggu menjelang Pemilihan Umum. Tawsiyah ini mengatasnamakan ormas-ormas Islam Tingkat Pusat sekalipun tidak dijelaskan secara definitif ormas Islam mana saja yang turut dalam tawsiyah tersebut. Jika melihat kasus-kasus sebelumnya, maka sangat mungkin bahwa ormas-ormas tersebut adalah yang selama ini tergabung dalam FUI atau BKUI.

 

Dalam pembukaan tawsiyah dikutip surah Ali Imran ayat 28 tentang larangan orang-orang beriman (Muslim) mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Dari sini kemudian Dewan Pimpinan MUI dan Pimpinan Ormas-Ormas Islam (?) menyerukan:
        
Pertama: Agar bangsa Indonesia, khususnya umat Islam menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab sesuai kata hati nurani dengan memilih partai politik yang diyakini dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Isalam, bangsa dan negara.

 

Kedua: Agar umat Islam dengan ikhlas dan niat ibadah kepada Allah memilih salah satu dari partai politik yang secara sungguh-sungguh menonjolkan caleg-caleg (calon legislatif) yang bergaman Islam [garis bawah sesuai dengan teks aslinya]; dan berakhlak mulia.

 

Ketiga: Agar umat Islam mewaspadai kebangkitan kembali bahaya komunisme dan kekuasaan otoriter dan sekuler melalui partai politik peserta pemilu yang pada dasarnya menyimpan kebencian kepada Islam dan kejayaan negara Republik Indonesia.

 

Keempat: Agar umat Islam senantiasa berserah diri kepada Allah, memperbanyak do’a munajat agar Pemilu dapat berlangsung aman, demokratis, luber dan jurdil, sehingga bangsa Indonesia dapat keluar dari berbagai krisis menuju terwujudnya masyarakat Indonesia baru di bawah naungan ridha Allah SWT.74  

Kecuali poin terakhir, tawsiyah tersebut memperlihatkan maksud politik yang jelas. Secara umum, tawsiyah tersebut memberikan informasi tentang adanya dua kelompok partai politik, partai politik Islam dan partai politik non-Islam. Partai politik Islam adalah partai politik yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam dengan meletakkan calon-calon legislatif yang beragama Islam. Sementara, partai politik non-Islam adalah partai politik yang diyakini tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam serta meletakkan calon-calon legilatif yang tidak beragama Islam.

 

Dengan memilah dua orientasi politik parpol-parpol yang ada, MUI kemudian menyerukan kepada umat Islam untuk memilih partai politik Islam, yaitu partai politik yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam serta menonjolkan calon legislatif yang beragama Islam. Jika umat Islam mengikuti himbauan MUI ini, maka Indonesia akan keluar dari krisis dan menuju ke arah masa depan yang diridhai Allah.

 

Secara jelas tawsiyah di atas adalah suara kalangan Islam konservatif. Misalnya, dikotomisasi antara partai Islam dan partai non-Islam adalah logika yang sejak awal digunakan oleh kalangan Islam konservatif. Cover Media Dakwah edisi Maret 1999, secara tegas tertulis “Pemilu 1999: Partai Islam versus Partai Sekuler”. Di samping itu, isi tawsiyah di atas juga sejalan dengan statemen DDII yang dikeluarkan pada acara Silaturrahmi Dewan Dakwah:

…saya serukan agar seluruh kekuatan politik Islam dapat kiranya bersatu. Sekurang-kurangnya pada waktu kampanye tidak saling menjegal dan menyerang. Bahkan, alangkah baiknya jika setelah hasil Pemilu diketahui, partai-partai Islam itu dapat berkoalisi. Dengan berkoalisi, integrasi politik Islam dapat dipersatukan. Oleh karena itu, saya serukan kepada umat Islam: Pilihlah partai Islam! [tulisan tebal dari penulis].75
        
Himbauan yang senada juga dikeluarkan oleh FSUHTM dan Pengurus YPI Al-Azar yang dipublikasikan di Media Dakwah. Himbauan bertanggal 28 Mei 1999 tersebut berisi tiga hal: pertama, menyukseskan Pemilihan Umum 1999; kedua, mencoblos partai Islam yang memperjuangkan aspirasi umat Islam; dan ketiga, tidak memilih calon legislatif non-Muslim sebagai wakilnya di DPR/MPR.76

 

Tawsiyah MUI di atas juga mencerminkan aspirasi politik kalangan Islam radikal. Malam sebelum hari pencoblosan, tepatnya pada 6 Juni 1999, MUI mengadakan acara Malam Dzikir di Masjid Istiqlal. Acara yang diadakan dalam rangka menyukseskan Pemilu besok harinya tersebut tidak banyak diikuti umat Islam di kawasan Jakarta. Yang menarik dari acara tersebut adalah disebarkannya beberapa buah brosur di luar masjid yang menghimbau agar umat Islam hati-hati dalam memberikan suaranya dalam Pemilu besok harinya. Dalam brosur tersebut dianjurkan agar umat Islam tidak memberikan suaranya pada partai yang caleg-nya didominasi oleh orang-orang non-Muslim. Di antara brosur tersebut ada fatwa yang dibuat oleh FPI (Front Pembela Islam) yang langsung ditandatangai oleh ketuanya, Habib Muhammad Rizieq Syihab, tentang haramnya umat Islam memilih partai politik yang menetapkan caleg-nya dari kalangan non-Muslim melebihi 15%.77

 

Oleh karena itu, maka sekali lagi, adalah naif kalau tawsiyah MUI di atas semata-mata didekati dari sudut pandang keagamaan atau fiqhiyah.78 Konteks politik nasional saat itu dan agenda politik kalangan Islam konservatif tampak lebih dominan sebagai pertimbangan pengeluaran tawsiyah tersebut. Sebagaimana halnya isu tentang pelarangan perempuan dan/atau non-Muslim menjadi presiden dan wakil presiden, tawsiyah MUI tersebut tampak sebagai rekomendasi politik daripada rekomendasi keagamaan.

 

Jika dilihat jarak waktu antara tawsiyah pertama sampai ketiga, ketiganya dikeluarkan hanya dalam waktu kurang dari satu setengah bulan. Di samping menunjukkan panasnya situasi politik saat itu, hal ini juga bisa dijadikan sebagai jendela untuk melihat ketegangan yang tengah dialami oleh kalangan Islamis-konservatif menjelang Pemilu 1999. Ketegangan ini bisa dimaklumi karena berbagai jajak pendapat sebelum Pemilu 1999 menunjukkan bahwa partai-partai politik Islam tidak terlalu popular di masyarakat. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo menginformasikan bahwa partai politik yang potensial untuk keluar sebagai lima besar dalam Pemilu1999 adalah PDI P, Golkar, PKB, PAN, dan PPP, di mana dari seluruh kemungkinan, PDIP diprediksi akan menjadi pemenang Pemilu. Daerah pemilihan prestisius, DKI Jakarta, yang selama ini menjadi basis PPP, kemungkinan besar akan direbut oleh PDI P.79 Hasil jajak pendapat juga menunjukkan bahwa Megawati memiliki kans yang sangat besar untuk menjadi presiden.80

 

Sebagaimana tentang pelarangan presiden perempuan, banyak yang menilai bahwa tawsiyah MUI di atas terkait dengan pertarungan politik saat itu. Targetnya pun jelas, PDIP.81   Sekalipun Ali Yafie menyatakan bahwa tawsiyah tersebut tidak bertujuan untuk menghadang laju PDIP, namun secara implisit, arahnya memang jelas tertuju ke PDIP.82 Misalnya, isu calon legislatif non-Muslim adalah isu yang dihembuskan oleh kalangan Islam konservatif saat itu untuk menyerang PDIP yang sangat popular di masyarakat. Isu calon legislatif non-Islam yang menjadi pesan inti tawsiyah di atas hampir tidak bisa dipahami lain kecuali serangan langsung terhadap PDIP. Tidak mengherankan jika PDIP memberi respon keras terhadap tawsiyah MUI tersebut karena ia merasa menjadi target.

 

Serangan terhadap PDIP juga bisa dilihat dari warning tentang bahaya laten komunis dalam tawsiyah di atas. Sebagaimana yang terlihat di KUII bahwa PDIP diasosiakan dengan PKI. Menjelang Pemilu 1999, PDIP semakin menjadi target dari isu komunis ini. Misalnya, persaingan politik antara partai-partai Islam dengan PDIP dianalogkan dengan perseteruan antara Masyumi dengan PKI-PNI pada masa Soekarno.83 Di dalam tulisan Ibnu Hasyim untuk suplemen Media Dakwah tertulis, “Bangsa ini juga akan kembali menikmati bangkitnya kekuatan Nasakom Baru, yang pada tahun 1960-an diperankan oleh PNI, NU dan PKI. Sekarang unsur Nasakom dibentuk oleh koalisi PDI Perjuangan dan PKB. Sebab, unsur komunis sudah masuk ke dalam PDI Perjuangan…”84

 

Isu caleg non-Muslim dan komunis adalah dua isu yang digunakan untuk menyerang PDIP secara bergonta-ganti. Di cover majalah Media Dakwah edisi Juni 1999 tertulis “Umat Islam Resah Banyak Caleg PDIP non-Muslim” dengan latar belakang logo PDIP, salib dan palu-arit (lambang PKI). Ini adalah sebuh pesan yang sangat jelas untuk membuat asosiasi antara PDIP dengan kekristenan (non-Islam) dan komunisme

 

Bukti lain bahwa PDIP menjadi target tawsiyah MUI adalah kekecewaan MUI terhadap kemenangan PDIP dalam Pemilu 1999. Mimbar Ulama melaporkan kemenangan PDIP dengan judul “Pemilu 1999: Muslimin itu Kini Memerah”. Di bawah sub-judul “Pengaruh Fatwa MUI” tertera pertanyaan, “Adakah keberhasilan PDI Perjuangan sebuah bukti bahwa himbauan ulama itu tak lagi berarti?”85 Pertanyaan ini menjadi bukti lain bahwa himbauan MUI selama ini memang bertujuan untuk menghadang PDIP. Media Dakwah menulis tentang kekalahan partai politik Islam dan kemenangan PDIP juga menyinggung tentang tawsiyah MUI.

Sebenarnya, mendekati Pemilu lalu, Majelis Ulama Indonesia Pusat sebagai lembaga keagamaan yang bertugas mengayomi umatnya mencoba meyakinkan kepada umat Iuslam Indonesia untuk tidak ragu-ragu menyalurkan aspirasinya kepada partai-partai Islam. Belum lagi ditambah para juru dakwah dengan segala daya dan upaya mensosialisasikan ajakan MUI tersebut, tapi ternyata belum juga berhasil mengangkat perolehan suara partai-partai Islam.86

Berbagai aktivitas MUI mengiringi jatuhnya Soeharto di atas menunjukkan tiga hal. Pertama, institusi ini telah benar-benar berada di bawah kendali kelompok Islam konservatif untuk mencapai target-target politiknya, institusionalisasi atau negaraisasi nilai-nilai keislaman mereka. Kedua, MUI juga menjadi institusi yang dimanfaatkan oleh militer atau sisa-sisa kekuatan regim lama untuk menjaga agar perubahan politik tetap berada pada sistem negara (intra-systemic regime change). Hal ini penting dilakukan dalam rangka memproteksi posisi dan priviles politik mereka. Ketiga, ada pergeseran peran MUI dari sekedar institusi keulamaan yang hanya berurusan dengan masalah-masalah fiqhiyah ke arah lembaga keislaman yang terlibat aktif dalam kontestasi politik nasional pasca-jatuhnya Soeharto. Dalam kalimat yang lebih singkat, MUI pasca-Soeharto tidak lagi semata-mata institusi keulamaan yang hanya berkutat dengan masalah-masalah agama sebagaimana karakter awalnya, tapi mulai memasuki arena permainan politik praktis, di mana kekuatan pengendalinya adalah kelompok Islam konservatif dan sisa-sisa kekuatan politik lama (militer).
        
Kesimpulan

 

Sejarah MUI di bawah kekuasaan rejim Orde Baru memperlihatkan karakternya sebagai institusi semi-negara. Organisasi ini dibentuk oleh pemerintah untuk menetralisisr potensi politik ulama dan meraih dukungan umat Islam terhadap agenda-agenda politik pemerintah. Paling tidak, ada empat hal yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap MUI untuk menjamin tercapainya tujuan di atas. Pertama, meletakkan MUI langsung di bawah pengawasan dan kontrol negara. Kedua, MUI tidak diperbolehkan aktif dalam kegiatan politik praktis dan hanya berfungsi untuk menkomunikasikan program pembangunan kepada rakyat dan menjadi mediator komunikasi antara pemerintah, ulama dan rakyat. Sementara justifikasi MUI terhadap kebijakan pemerintah, paling tidak, dilakukan melalui dua cara. Pertama, abstain atau tidak mengeluarkan fatwa dalam sebuah kasus yang dilematis. Kedua, memberi fatwa yang bersifat supportive terhadap kebijakan pemerintah.

 

Konsekuensi dari organisasi korporatis seperti MUI adalah bahwa perubahan orientasi politik dalam birokrasi negara dengan sendirinya akan menyebabkan perubahan orientasi politik di dalam dirinya. Sebagai contoh, ketika pada dekade akhir 1980-an Soeharto menggeser pendulum politiknya ke arah Muslim konservatif, pada saat itu MUI juga mulai menyuarakan agenda-agenda kalangan ini. Misalnya, oposisi massa yang melibatkan PRD dan PDI Megawati serta krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 selalu dijelaskan dalam kerangka teori konspirasi tentang adanya kekuatan luar yang ingin merusak Islam.

 

Reformasi politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menciptakan sebuah ruang politik “kosong”, di mana hampir seluruh elemen sosial-politik berusaha untuk menyuarakan tuntutan-tuntutannya serta berusaha mendapatkan peran baru. Dalam situasi seperti ini, setiap kelompok menjadi bagian dari kompetisi politik. Organisasi korporatis eksklusionari (organisasi korporatis yang tidak masuk dalam power sharing) tidak bisa mengelak dari arus politik ini. Akan tetapi karena nature yang selama ini diletakkan padanya adalah apolitis, maka kekuatan yang paling siap dalam situasi ini adalah individu atau faksi yang telah memiliki modal politik sebelumnya. Individu atau kelompok ini tidak hanya akan menjadi kekuatan baru yang sangat berpengaruh dan mengendalikan organisasi, tapi juga mentransformasikannya dari sebuah organisasi korporatis yang apolitis menjadi instrumen politik yang bisa dimainkan.

 

Dalam kasus MUI, hal ini bisa dilihat dalam besarnya pengaruh kelompok konservatif terhadap MUI di masa transisi politik nasional tahun 1998/1999. Kelompok Muslim konservatif adalah kelompok yang secara politis paling siap menghadapai situasi politik baru karena jaringan dan keterampilan politik yang sudah diperolehnya selama ini. Faksi konservatif ini semakin kuat dengan masuknya kelompok Islam radikal ke dalam MUI yang dibawa oleh Din Syamsuddin melalui pintu FUI. Din Syamsuddin adalah salah seorang pengurus MUI yang memiliki background politik yang sangat kental, terutama jalinan politiknya dengan militer dan kalangan Islam militan. Menguatnya faksi konservatif di dalam MUI menandai dua hal: pertama, bergesernya kendali MUI ke arah kelompok Muslim konservatif dan kedua, berubahnya nature MUI dari organisasi apolitis menjadi alat politik yang dimainkan oleh kelompok Muslim konservatif ini.

 

Akan tetapi, reformasi politik bukanlah revolusi yang menghancurkan seluruh kekuatan lama. Reformasi politik memang memungkinkan untuk mengubah komposisi kekuatan politik lama, tapi tidak bisa sungguh-sungguh menghancurkan kekuatan politik rejim sebelumnya. Kekuatan politik lama tetap berusaha untuk mengkonsolidasi diri dalam rangka mempertahankan posisinya. Dalam kasus Indonesia pasca-reformasi, konsolidasi  kekuatan politik lama memperlihatkan taktik yang selama ini dilakukan oleh rejim Orde Baru, yaitu menggandeng kekuatan Muslim konservatif untuk menghadapi kelompok yang menentangnya. Ini terlihat dalam kerja sama militer dengan Muslim konservatif dalam menghadapai kekuatan pro-reformasi total yang berusaha untuk menyingkirkan semua kekuatan politik lama. MUI yang telah berada di bawah kendali kekuatan Islam konservatif hanya membutuhkan satu langkah kecil untuk menjadi bagian dari aliansi ini. Dan langkah itu mulai diwujudkan ketika ia memberikan dukungan secara terbuka terhadap kepresidenan Habibie. Dukungan MUI terhadap Habibie menandai dua kelompok kepentingan yang sedang bermain di dalamnya: kepentingan kalangan Muslim konservatif dan militer. Kedua kelompok ini berkepentingan untuk mempertahankan Habibie. Bagi kalangan Muslim konservatif, Habibie adalah garansi kekuasaan “Islam” ke depan, sedang bagi militer, mengamankan Habibie berarti mengamankan posisi dan peran politik militer yang mereka nikmati selama ini atau setidaknya, militer tidak kehilangan segala-galanya. Permainan kedua kelompok tersebut di dalam MUI semakin terlihat jelas dalam aktivitas-aktivitas MUI menjelang dan/atau selama SI-MPR dan Pemilu 1999.

 

Hal terakhir yang bisa dinyatakan di sini adalah bahwa dalam rangka untuk mencapai agenda-agenda politiknya, kekuatan Islam konservatif berusaha untuk memasuki negara. Mereka menggunakan dua strategi: non-struktural dan struktural. Strategi non-struktural dilakukan melalui demonstrasi, intimidasi, dan menyerang orang atau kelompok yang dipandang sebagai musuh Islam. Sementara, strategi struktural dilakukan dengan cara membentuk atau bekerja sama dengan partai-partai politik Islamis, beraliansi dengan kekuatan negara yang dipandang powerful seperti militer, dan menguasai atau mengontrol institusi Islam semi-negara seperti MUI.

 

Kekuatan MUI adalah posisinya sebagai institusi semi-negara, di mana keputusan-keputusannya didukung oleh pemerintah. Pemerintah sendiri memperlakukan MUI sebagai representasi dari keseluruhan umat Islam Indonesia sekalipun ia kenyataannya hanya didominasi oleh sekelompok kecil Muslim radikal-konservatif. Dengan posisi MUI seperti ini, maka menguasai MUI telah memberi dua keuntungan pada kelompok Muslim radikal: pertama, jalan lempang memasuki negara untuk melakukan Islamisasi Indonesia dari dalam dan kedua, legitimasi Islam untuk berbagai aktivitas non-strukturalnya. Dan ketika Muslim radikal berhasil mengontrol MUI, maka pandangan keislamannya dapat dengan mudah disebarkan karena suara mereka telah berubah menjadi suara MUI yang, dalam beberapa hal, dalam diklaim sebagai suara resmi pemerintah dan umat Islam Indonesia.

 

Situasi ini tentu saja membahayakan bagi toleransi dan kebebasan agama karena pada saat yang sama, seiring dengan meningkatnya pengaruh MUI terhadap pemerintah, MUI juga melebarkan sayapnya dengan membuka cabang hingga tingkat desa. Dengan sendirinya, maka penetrasi kaum Muslim radikal menembus semakin dalam baik ke negara maupun ke masyarakat.  


*Tulisan ini berdjudul asli Radikalisasi Islam Melalui Institusi Semi-Negara: Studi Kasus Peran Mui Pasca-Soeharto. Tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara Annual Conference On Islamic Studies  In Indonesia (Acis) VII, yang diselenggarakan di Pekanbaru Riau, 21 – 24 November 2007
** Penulis adalah Dosen STAIN Ponorogo

 
Catatan Kaki:
1http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=339, 19 September 2005.
2 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=865, 19 September 2005.
3 Mimbar Ulama, no. 240 (Agustus 1998), 10.
4 Moch. Nur Ichwan, “Ulama, State and Politics,” dalam Islamic Law and Society, vol.12, No.1 (2005), 48.
5 Tim, 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia (26 Juli 1975-26 Juli 1985), 18-19.
6 M.B. Hooker, “Islam and Medical Science: Evidence from Malaysian and Indonesia Fatwas,” Studia Islamika, 4/4 (1997), 16.
7 M. Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), 58-60.
8 Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama, 61.
9 Pada 28 Desember 1985, pemerintah memberi izin pada sebuah yayasan untuk mengadakan judi lotere ini bernama Porkas (dari istilah Inggris “forecast”) yang bertujuan untuk mendapatkan dana bagi olahraga nasional. Pada 1987, nama Porkas diubah menjadi KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah) dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah). Tanggal 1 Januari Januari 1989, KSOB dan TSSB dihentikan dan diganti permainan baru bernama SDSB. “Dari Porkas Sampai SDSB,” Suara Merdeka (Senin, 19 Januari 2004), http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/nas4.htm, 13 Maret 2006.
10 Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 209.
11 Media Dakwah  (Agustus 1998), 33.
12 Media Dakwah (Februari 1995), 50-51.
13 Media Dakwah (Agustus1995), 12
14 Kudatuli adalah penyerangan terhadap kantor PDI Megawati karena tempat tersebut menjadi arena mimbar bebas bagi siapa saja untuk menkritik pemerintah.
15 Media Dakwah (Juli 1996), 19-20.
16 Media Dakwah (Agustus 1996), 45-46.
17 Media Dakwah (September 1996), 46-47.
18 Media Dakwah (September 1996), 54.
19 Lihat “Pernyataan Bersama Majelis Ulama Indonesia dan Organisasi-Organisasi Kemasyarakatan Islam tentang Rangkaian Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta,” dalam Mimbar Ulama, no. 216, th. xx (Agustus 1996), 8-9.
20 Sekalipun dinyatakan bahwa penandatangan “Sikap Umat Islam” adalah 27 ulama dari berbagai ormas Islam, namun kebanyakan mereka adalah pengurus MUI juga. Misalnya, Ilyas Rukhiyat dicantumkan sebagai tokoh NU, namun pada saat yang sama, dia juga salah satu ketua MUI. .Mimbar Ulama, no. 216, th. xx (Agustus 1996), 6-13.
21 Lihat “Sikap Umat Islam,” dalam Mimbar Ulama, no. 216, th. xx (Agustus 1996), 11-12.
22 Fadli Zon mengakui bahwa dia beberapa kali menjadi mediator pertemuan antara Prabowo dengan tokoh-tokoh Islam, di mana acara buka bersama di markas Kopassus hanya salah satunya. Baca Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998 (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004), 34.
23 Media Dakwah (Februari 1998), 41.
24 Media Dakwah (Februari 1998), 42.
25 Robert W. Hefner, Civil Islam (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2000), 202.
26 Media Dakwah (Februari 1998), 45-46.
27 “Taushiah Majelis Ulama Indonesia tentang Gerakan Hubbul Wathon,” dalam Mimbar Ulama, no. 232, th. xx (Januari 1998), 5-8.
28 Sidney Jones menyebut bahwa kelompok radikal Islam di Indonsia saat ini yang sangat terkenal adalah Laskar Jihad, Front Pembela Islam dan Jamaah Islamiyah. Lihat  Sidney Jones, “Indonesia: the Fear Factor,” dalam Le Monde Diplomatique (November 2005), http://mondediplo.com/2002/11/04indonesia
29 Data diambil dari wawancara langsung antara Nur Ichwan dengan Din Syamsuddin pada 5 agustus 2001 di Leiden. Baca Ichwan, “Ulama, State, and Politics,” 49.
30 Menurut Luthfi, salah seorang penandatangan pendirian FUI dan sekaligus sekjennya, tujuan pendirian FUI adalah mempertahankan dan melestarikan akidah umat Islam Indonesia terhadap setiap rongrongan dan gangguan yang ada; dan menyamakan persepsi, menyeragamkan sikap dan menyatukan langkah terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam Indonesia. A.M. Lutfi (Sekjen FUI), “”Kita Ada Pada Titik Belok Perjalanan Bangsa,” dalam Media Dakwah (Agustus 1998), 53.
31 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2003), 62.
32 Lihat tulisan A.M. Luthfi, “Ancaman Besar itu Bernama Disintegrasi Bangsa dan Ketergantungan Ekonomi yang Sangat Pada Kekuatan Asing,” dalam Media Dakwah (Juli 1998), 50-54.
33 Lutfi, “Kita Ada Pada Titik Belok Perjalanan Bangsa,” 51.
34 Ali Yafie, “Sambutan Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia,” dalam Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998: Umat Islam Menyongsong Era Indonesia Baru (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia, 2000), xx.
35 Mimbar Ulama, no. 243 (Agustus 1998), 6.
36 Amidhan, “Sambutan Ketua Kongres Umat Islam Indonesia,” dalam Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998: Umat Islam Menyongsong Era Indonesia Baru (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia, 2000), xvi.
37 Ichwan, “Ulama, State and Politics,” 49 dan 54.
38 R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru,” ter. Ahmad Sahal & Saeful Muzani, dalam R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), 126.
39 Istilah “berkuasa” di sini lebih berkonotasi “berpengaruh kuat” daripada berkuasa dalam pengertian “menguasai kepengurusan MUI secara struktural” sekalipun dalam beberapa hal, pengertian terakhir tersebut bisa dibenarkan.
40 Baca Anwar Harjono, “Berfikir Jernih dan Bersikap Arif,” dalam Media Dakwah (Juni 1998), 6.
41 Media Dakwah (Juni 1998), 18-19.
42 KAMMI adalah sebuah organisasi mahasiswa Islam yang berdiri di awal tahun 1998. Cikal bakal KAMMI adalah gerakan dakwah kampus atau gerakan tarbiyah yang diorganisir oleh para eks-tokoh Masyumi atau para aktivis DDII. Baca Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Pos-Soeharto Indonesia,” dalam South East Asia Research, (10, 2).
43 Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998 (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004), 145.
44 Adam Schawrz, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability (St Leonard, NSW: Allen & Unwin, 1999), 368-369.
45 “Amanah kepada Presden Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie,” Mimbar Ulama, no. 238 (Juni 1998), 29-30.
46 Media Dakwah (Juli 1998), 12.
47 Kelompok yang pro-Habibie kebanyakan terdiri atas kalangan Islam konservatif -radikal, misalnya, ICMI, Hammas (Himpunan Mahasiswa Muslim Antarkampus, dan Partai Keadilan, Pam-Swakarsa (Pengamanan Swakarsa), dll.. ABRI di bawah komando Jenderal Wiranto termasuk menjadi pendukung Habibie. Sementara, kelompok kontra-Habibie direpresentasikan oleh organisasi-organisasi mahasiswa dan organisasi-organisasi lain, misalnya, FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), Forkot (Forum Kota), Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi), PRRT (Perjuangan Rakyat untuk Reformasi Total), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), para rektor perguruan tinggi, LSM, organisasi-organisasi sosial, seperti Barisan Nasional, Koalisi Nasional, dan individu-individu yang konsen dengan reformasi dan demokrasi. Lihat M. Sudibjo, “Political Dynamics Prior to the 1998 Special Session of People’s Consultative Assembly,” dalam The Indonesian Quarterly, vol. xxvi, no. 4 (Fourth Quarter, 1998), 302-303; lihat juga Tempo (24-30 November 1998), 20-21.  
48 Schwarz, A Nation in Waiting, 396.
49 Tempo (13-19 Oktober 1998), 32.
50 Di samping Furkon, PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia) yang dipimpin oleh Egy Sudjana juga terlibat dalam pasukan sipil ini. Ahmad Sumargono dengan KISDI-nya juga menyatakan kesiapan pasukannya yang berjumlah 5000 orang untuk mengamankan SI. Kelompok Islam ini memiliki ciri-ciri khas, yaitu pemakaian simbol-simbol  Islam
51 Tempo (10-16 November 1998), 18-19.
52 Tempo (17-23 November 1998), 30.
53 Tempo (24-30 November 1998), 45.
54 Tempo (3-9 November 1998), 18-19.
55 Sumber: Tempo, (10-16 November 1998), 21.
56 Tempo (24-30 November 1998), 42-44.
57 Marcus Mietzner, “Persitiwa Semanggi dan ABRI,” dalam Tempo (24-30 November 1998), 29.
58 Wawancara dengan salah seorang yang ikut dalam pertemuan tertutup tersebut, pada 10 Februari 2006.
59 Tempo (24-30 November 1998), 48.
60 FUI atau BKUI adalah dua nama yang merujuk pada kelompok yang sama, yaitu ormas atau orda Islam yang memiliki kedekatan dengan DDII. Penyebutan FUI dan BKUI digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama. Misalnya, sekjen FUI menyatakan bahwa ide KUI berasal dari BKUI, sedang dokumen MUI menyebutkan berasal dari FUI. Lutfi, “Kita Ada Pada Titik Belok Perjalanan Bangsa,” 53-54.
61 Mimbar Ulama, no. 242 (Oktober 1998), 37.
62 Baca “Kerangka Acuan Kongres Umat Islam Indonesia Tahun 1998,” dalam Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998: Umat Islam Menyongsong Era Indonesia Baru (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia, 2000).
63 Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998: Umat Islam Menyongsong Era Indonesia Baru (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia, 2000), 13.
64 Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998, 28 dan 29.
65 Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia, 59.
66 Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998, 1.
67 Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia Jakarta, 3-7 November 1998, 14.
68 Dalam lembar rekomendasi komisi, tertulis “Tentang kemungkinan wanita menjadi presiden, Komisi terpecah menjadi dua pendapat. Sebagian menyetujui dengan syarat yang ketat, sebagian yang lain menolak. Komisi meneruskan kepada Steering Committee Kongres untuk meminta fatwa kepada MUI”. Lihat Tim Penyusun Buku Kongres Umat Islam Indonesia, Kumpulan Hasil-Hasil Kongres Umat Islam Indonesia, 3-7 November 1998, 1.
69 Anwar Harjono, “Hari Pahlawan yang Penuh Makna,” dalam Media Dakwah (Desember 1998), 6.
70 Mimbar Ulama, no 248, xxi (April 1999), 11-12.
71 “Himbauan Majelis Ulama Indonesia Untuk Suksesnya Pemilihan Umum 1999,” dalam Mimbar Ulama, no. 248, xxi (April 1999), 30.
72 “Taushiyah Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Menyongsong Pemilu 1999,” dalam Mimbar Ulama, no. 250, xxi (Juni 1999), 26.
73 Media Dakwah, no. 297 (Maret 1999), 47.
74 “Taushiyah Amanah Umat Islam Menyongsong Pemilu 7 Juni 1999,” dalam Mimbar Ulama, no. 250, xxi (Juni 1999), 27.
75 “Silaturrahmi Dewan Dakwah,” dalam Media Dakwah, no. 296  (Februari 1999), 6-7.
76 “Himbauan Kepada Kaum Muslimin,” dalam Media Dakwah, no. 300  (Juni 1999), 19.
77 Ulil Abshar-Abdalla, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 204.
78 Mudzhar melihat tawsiyah MUI tersebut semata-mata dari sudut pandang fiqh, di mana MUI dilihatnya sebagai institusi keulamaan yang sedang menyuarakan masalah kepemimpinan dari perspektif hukum Islam. Baca Mohamad Atho Mudzhar, “The Ulama, the Government, and Society in Modern Indonesia: The Indonesian Council of Ulama Revisited,” in Johan Meuleman (ed.), Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity (Jakarta: INIS, 2001), 323.
79 Jajak pendapat oleh Tempo. Lihat Tempo (13 Juni 1999), 12-13.
80 Lihat jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo di 19 provinsi. Tempo (30 Mei 1999), 18-19; Legowo, “The 1999 General Election,” 104-105.
81 Ichwan, “Ulama, State and Politics,” 56.
82 Tempo (13 Juni 1999), 38.
83 Baca laporan utama Media Dakwah yang ditulis oleh Adian Husaini dengan judul “Pemilu 1999: Kubu Islam Tersudut?” dalam Media Dakwah, no. 297 (Maret 1999), 42-46.
84 Media Dakwah, no. 300  (Juni 1999).
85 Mimbar Ulama, no. 251, xxi (Juli 1999), 32-33.
86 Media Dakwah, no. 301 (Juli 1999), 43.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya