Senin, 23 Desember 2024

Perbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 1)

Baca Juga

Oleh Pdt. Kukuh Aji Irianda, Pendeta Jemaat di GKI Pamitran, Cirebon

Perkembangan toleransi antar umat beragama akhir-akhir ini, bagi saya, tidak menggembirakan. Dimulai dari isu penistaan agama di Jakarta, isu kemudian berkembang bentuknya menjadi kekerasan seperti bentrok antar ormas, bom molotov meledak di Gereja Kristen Oikumene Samarinda (Kaltim, 13/11/2016) dan Vihara Singkawang (Kaltim, 14/11/2016), serta yang terakhir adalah isu makar.

Isu penodaan agama di Jakarta agaknya juga diperkeruh oleh peran media yang begitu masif menyebarkan berita-berita yang sensitif ini secara nasional. Yang lebih menyedihkan lagi, hampir semua media di negri ini dikuasai oleh parpol tertentu. Yang terjadi bisa ditebak:

Pertama, media dipakai untuk menjadi alat kampanye calon pilihan parpol si media. Kedua, Kejadiannya di Jakarta, tapi kami yang di daerah yang tidak tahu apa-apa, sangat merasakan dampaknya. Hubungan pertemanan dan tetangga yang tadinya baik, tapi jika bicara soal isu penodaan agama, bisa saling maki dan benci. Ketiga, Energi negeri ini seolah-olah habis hanya membicarakan soal isu satu ini. Dan bagi saya, media (yang tidak netral itu) ikut berperan serta menciptakan keadaan yang seperti ini.

Berangkat dari keadaan ini, tercetuslah kemudian sebuah gagasan bagaimana memerangi isu kebencian dan perpecahan antar elemen bangsa ini dengan cara yang damai. Bagi saya caranya satu: “Perbedaan itu bukan harus ditakuti, melainkan harus didekati.” Mungkin terdengar ekstrim. Tapi saya punya keyakinan bahwa setajam-tajamnya perbedaan, namun ketika dipertemukan, keduanya akan melihat bahwa kita adalah sama: manusia. Manusia yang butuh untuk disapa, didengar, diajak bicara, dihargai, dicintai. Semakin perbedaan dijauhi, maka pada saat yang sama rasa curiga dan prasangka akan semakin tinggi.

Awal perjumpaan

Lalu terlintaslah sebuah gagasan mengajak anak-anak remaja gereja (GKI Pamitran, Cirebon) untuk Live-In (tinggal bersama) di pesantren. Gagasan Live-In ini saya pakai sebagai Penutupan untuk kelas Katekisasi yang saya ampu. Katekisasi adalah kelas belajar tentang dasar-dasar iman Kristen selama kurang lebih sembilan bulan.

Gagasan ini kemudian saya sampaikan kepada Abdurahman Wahid, Ketua Gerakan Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon. Mas Omen, begitu ia disapa, tidak disangka menyambut dengan antusias pula. Beliau bersama pengurus Pelita menyampaikan ide ini dan mempertemukan saya dengan Kiai Haji Amin Fuad, Pengasuh Pesantren Bapenpori Al-Istiqomah, Babakan, Kab. Cirebon. Pesantren ini terletak di Ciwaringin, perbatasan Kabupaten Cirebon dan Majalengka.

Inilah pengalaman saya bertemu dengan seorang Kiai untuk pertama kalinya, langsung bertatap muka. Pada mulanya ada rasa takut dan sungkan ketika Mas Omen mau mempertemukan kami berdua. Tapi ternyata, rasa takut itu musnah seketika karena ternyata, saya bertemu seorang Kiai yang begitu ramah, menyambut dan menghormati tamunya sedemikian rupa, dan penuh guyon.

Saya berkata dalam hati, “Pak Kiai bisa gaul dan guyon juga ternyata…”. Oh Tuhan.., inilah wajah Islam yang saya yakini masih banyak tersebar di seluruh negeri. Wajah Islam yang penuh hospitalitas, penuh kasih sayang, dan penuh rahmat untuk semesta.

Setelah rapat ini-itu untuk menyusun sebuah acara yang menarik untuk anak-anak remaja, tibalah hari dimana saya membawa mereka untuk datang ke pesantren, yaitu 31 Maret – 2 April 2017. Alangkah senangnya, anak-anak remaja GKI Jatibarang juga antusias untuk ikut bergabung.

Baca Bagian 2 di sini

Baca Bagian 3 di sini

Tulisan pertamakali di terbitkan di www.pelitaperdamaian.org

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya