Manusia dan kemanusiaan adalah focus pikiran dan perhatian utama Gus Dur, siang dan malam serta pada setiap nafas yang berhembus. Ia mencintai manusia dengan seluruh pikiran dan hatinya. Ia seperti tak pernah lelah dan bosan bicara bahwa manusia siapapun dia wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Ia terus mendengungkan gagasan bahwa agama hadir untuk membebaskan manusia dari situasi dunia yang gelap menuju dunia yang bercahaya. “Li Tukhrij al-Nas min al-Zhulumat ila al-Nur”. Dunia gelap adalah dunia yang dikepung kebodohan dan kezaliman, dan dunia bercahaya adalah dunia yang diliputi ilmu pengetahuan dan keadilan. Ia membaca dengan penuh kekaguman kata-kata Nabi Muhammad bahwa pekerjaan manusia yang paling utama dan paling disukai Tuhan adalah hadir bersama manusia, melepaskan penderitaan mereka, menghilangkan rasa lapar dan haus mereka, membagi kegembiraan di hati mereka, merajutkan tali persaudaraan di antara mereka, menegakkan keadilan dan menebarkan jaring-jemaring perdamaian dan cinta. Gus Dur bekerja keras menerjemahkan gagasan kemanusiaan itu baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dan terutama dalam sikap hidupnya sehari-hari di mana dan kapanpun. Dengan penuh gairah cinta, ia berjalan tanpa rasa gentar, menerjang terjang setiap penghalang, untuk mewujudkan impian-impiannya itu. Kepalanya bagaikan gunung berapi yang menyimpan magma spiritualitas begitu dahsyat. Magma itu tak pernah berhenti bergolak. Ia bergerak-gerak begitu aktif, acap meletup-letup, memercik, menumpahkan lahar panas, lalu mengaliri tanah-tanah gersang dan kering-kerontang. Manakala telah dingin, tanah-tanah itu berubah menjadi gembur-subur. Bumi manusia menghijau menyembulkan bunga warna-warni, indah dan menebarkan wewangian”.
Dalam konsep etika spiritual, pengabdian kepada kemanusiaan tersebut oleh Mulla Sadra dinyatakan sebagai proses perjalanan dari makhluk untuk makhluk bersama Sang Maha Benar (Al-Khaliq/Tuhan) : al-Safar min al-khalq ila al-khalq bi al-Haq. Ini adalah kebijakan Tuhan yang tertinggi ; “al-Hikmah al-Muta’aliyah”. Maka, pengabdian manusia kepada kemanusiaan pada hakikatnya merupakan puncak pengabdian mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syams Tabrizi, sang Darwisy misterius mengatakan : “Kita harus belajar mencintai makhluk Allah”. Katanya :
وَمَا لَمْ نَتَعَلَّمْ كَيْفَ نُحِبُّ خَلْقَ اللهِ فَلَنْ نَسْتَطِيعَ أَنْ نُحِبَّ حَقًّا. وَلَنْ نَعْرِفَ اللهَ حَقًّا
Selama kita tidak belajar bagaimana mencintai makhluk Allah, kita tidak akan bisa benar-benar mencintai siapapun, dan kita tidak akan mengenal Allah dengan sebenar-benarnya”.
Pikiran, kerja dan sikap Gus Dur disambut dengan penuh kegembiraan dan empati bukan saja oleh para pengikutnya yang sekeyakinan, melainkan juga mereka yang berada di luar keyakinan dirinya. Mereka yang disebut akhir ini serentak meneriakkan dengan riang : “Apa yang dikatakan dan dijalani Gus Dur, itulah yang difirmankan Yesus, diajarkan Moses, dituturkan Sang Budha, disabdakan dalam Baghawad Gita, ditulis dalam Tipitaka dan diceramahkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Melalui Gus Dur kata-kata Yesus, Moses, Budha Gautama, Gita dan Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali”.
Gus Dur Sang Darwisy Pengembara
Maulana Jalal al-Din Rumi, sang sufi penyair terbesar, menyebut gurunya : “sang mentari dari Tabriz”. Dan saya menyebut Gus Dur sebagai sang mentari dari Nusantara. Matahari dari Tabriz itu dikenal sebagai darwisy pengembara. Dan Gus Dur adalah juga sang darwisy pengembara itu. Sebagaimana umumnya pengembara, ia sering menjadi subyek yang aneh, asing, dicurigai atau bahkan dimusuhi oleh mereka yang tak mengerti, tak paham, dan tak tercerahkan. Manakala sang pengembara memasuki suatu perkampungan atau perkotaan, ia akan dianggap si “nyleneh”, “nyentrik” atau bahkan “bahul”, “bahlul” atau “majnun”, oleh orang-orang di kampung dan di kota itu, bukan hanya karena celotehnya yang tak jelas dan tak mudah dimengerti tetapi juga karena pikiran-pikiran dan sikap-sikapnya yang tak lazim. Dan terhadap semua itu, Gus Dur tetap saja diam. Ia mengerti bahwa mengubah tradisi dan kebiasaan memang tak mudah dan itu memerlukan kesantunan.
Para darwisy pengembara adalah para pencinta manusia. Bagi mereka tubuh-tubuh manusia adalah suci, karena di dalamnya berdiam sifat-sifat keilahian. Manusia dalam pandangan para darwisy adalah tempat Tuhan merindukan Diri-Nya Sendiri. Manusia adalah pancaran Cahaya dan Cinta-Nya. Di dalam tubuh kasarnya tersimpan magma spiritualitas Ilahiyah yang sanggup menggenggam dunia atau melepaskannya. Dengan demikian kehormatan manusia harus dijaga.
Sa’di Syirazi, sufi-penyair besar dari Persia, meniupkan terompet kemanusiaan itu dalam puisinya yang indah :
أَىْ / بَنُوا آدَمَ جِسْمٌ وَاحِدٌ اِلَى عُنْصُرٍ واحِدٍ عَائِدُ
إِذَا مَسَّ عُضْواً أَلِيمُ السَّقَامِ فسَائِرُ أَعْضَآءِهِ لاَ تَنَامُ
إِذَا أَنْتَ لِلنَّاسِ لَمْ تَأَلَّمْ فَكَيْفَ تَسَمَّيْتَ بِالْآدَمِى
O, Ya
Anak-anak Adam adalah satu
Kepada keasalan yang Satu ia (datang) dan kembali
Bila lara menyentuh satu tubuh
Tubuh-tubuh yang lain bergetar, terjaga-jaga
Bila kau tak merasa lara
Bagaimana mungkin menyebut diri anak Adam
Di bawah pandangan ruh kemanusiaan (al-Ruh al-Insaniyyah) itu Sa’di menatap para bijakbestari (al-Arifin), sambil mengatakan :
أَنَّ الْعَارِفَ اَوْ الصُّوفِى هُوَ الَّذِى يَخْدُمُ النَّاسَ, لاَ الَّذِى يَخْتَار الْعُزْلَةَ وَالْاِعْتِكَافَ. وَاَنَّهُ لَا بُدَّ لَهُ اَنْ يَتَزَوَّدَ بِالْعِلْمِ. وَيَطْلُبُ مِنْ كُلِّ النَّاسِ حَتَّى الْحُكَّامِ اَنْ يَتَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ الدَّرْوِيشِ.
“Seorang bijakbestari adalah dia yang mengabdi kepada dunia manusia, bukan yang memilih menepi dalam sepi dan berdiam diri di atas sajadah. Untuk pengabdian itu dia harus berbekal ilmu pengetahuan. Dia meminta semua manusia dan para pejabat negara, agar mengenakan etika Darwisy. Katanya lagi :
لَيْسَتِ الْعِبَادَةُ سِوَى خِدْمَةِ النَّاسِ لَيْسَتْ بِالتَّسْبِيحِ وَالسَّجَادَةِ وَارْتِدَآءِ الدَّلِق
أَبْقَ أَنْتَ عَلَى عَرْشِ سُلْطَانَتِكَ بِأَخْلَاقٍ طاهِرَةٍ وَكُنْ دَرْوِيشاً
Pengabdian kepada Tuhan
Adalah pelayanan kepada manusia
Bukan hanya dan semata memutar biji tasbih
Menggelar sajadah dan menyandang kain sorban
Duduklah kau di atas singgasana kekuasaan
Dengan etika yang bersih