Sabtu, 27 Juli 2024

Pilkada, Kyai dan NU

Baca Juga

Pada Oktober 2013 mendatang, Kabupaten Cirebon akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam setiap Pilkada, kyai-ulama Pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi primadona, mesin politik pendulang suara penting, dan ajang rebutan para calon Bupati (Cabup).

Kyai-ulama Pesantren dan NU bak penyanyi muda yang merdu suaranya. Para Cabup, baik secara sendiri maupun bersama tim suksesnya, mengantri untuk meminangnya, melalui rayuan, pendekatan, janji-janji, dan juga cara-cara persuatif yang canggih agar penyanyi muda cantik bersuara merdu itu mau bernyanyi untuk meraup suara yang dibutuhkan kemenangan Cabup itu.

Tulisan ini bermaksud membaca fenomena Pilkada dan politik Kyai dan NU pada masa otonomi daerah, baik secara normatif maupun implementatif, dan pandangan alternatif yang penting diusulkan untuk Kyai-ulama Pesantren dan NU dalam menghadapi setiap Pilkada, terutama di Kabupaten Cirebon.

Kyai dan NU, Basis Civil Society

Tak diragukan lagi, NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, termasuk di Cirebon. Basis massa utama NU adalah pondok pesantren yang tersebar ke seluruh pelosok desa di setiap kecamatan. Bukan hanya jumlah pondok pesantren yang sangat banyak dan terus bertambah, tetapi penopang utama kekokohan NU adalah jutaan santri dan alumninya sejak beberapa abad yang lalu yang secara terun-temurun mewarisi tradisi Islam-pesantren ala ahlissunnah wal jama’ah. Pondok pesantren ini dipimpin oleh seorang atau sejumlah kyai-ulama yang secara turun-temurun menerima tongkat estafet kepemimpinan.

Dalam kehidupan sosial, NU dan kyai-ulama Pesantren ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Tidak bisa dipisahkan, meski berbeda wajah dan hadapan, tetapi mereka tetap satu keping yang sama. Sesuai dengan namanya, Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), maka tentu saja aktor utama organisasi sosial keagamaan ini adalah kyai-ulama. Tanpa kyai-ulama, NU bukanlah organisasi keagamaan, hanya organisasi sosial belaka. Demikian juga harus diakui bahwa atas jasa NU-lah, kyai-ulama Pesantren terkonsolidasi, terorganisasi, memiliki kaderisasi yang rapih, dan memiliki wadah perjuangan yang jelas dan terarah.

Keterpaduan NU dan kyai-ulama Pesantren dalam sejarah demokrasi di Indonesia, terutama sepanjang kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—telah diposisikan sebagai kekuatan politik yang dahsyat. Tidak saja selalu diperhitungkan oleh partai-partai politik, TNI-Polri, pengusaha, LSM, Ormas, dan birokrasi, tetapi sekaligus juga ditakuti oleh rezim kuat Orde Baru. Keterpaduan NU dan kyai-ulama Pesantren menjadi pilar penting bagi demokratisasi di Indonesia, pengimbang yang signifikan atas kekuatan rezim otoriter Orde Baru, karena independensinya dan pemihakannya yang jelas dalam konteks negara-bangsa yang demokratis.

NU pada masa Orde Baru, oleh banyak peneliti dan pengkaji politik Indonesia dijuluki “macan demokrasi” dan korpus civil society yang signifikan. Basisnya tidak lain adalah Pesantren dan para kyai-ulama yang selalu mengawal umat, mendampinginya, dan memeliharanya lengkap dengan seluruh tradisi yang menjadi akar kehidupannya.

Dilema Pilkada

Bagaimana peran NU dan kyai-ulama Pesantren pada era otonomi daerah pasca-reformasi dewasa ini? Apakah mereka masih menjadi “macan demokrasi” dan korpus civil society yang signifikan bagi demokratisasi di Indonesia? Atau malah sebaliknya?

Kita paham bahwa Pilkada adalah anak sah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah anak sah Reformasi pasca-otoritarianisme Orde Baru. Reformasi adalah ruh demokratisasi. Dengan demikian, Pilkada pada dasarnya adalah pengejawantahan dari demokratisasi di tingkat daerah, di mana setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih yang sama, tidak ada superioritas militer atas sipil, tidak ada diskriminasi laki-laki atas perempuan, tidak ada diskriminasi berdasar agama, keyakinan, etnik, ras, golongan, dan gender. Sampai di sini, kita hormat dan acung dua jempol untuk Pilkada.

Namun, fakta menunjukkan bahwa sepanjang sembilan tahun atau selama 2004-2013, saat mana otonomi daerah diberlakukan, sudah tercatat 291 kepala daerah, baik Gubernur, Bupati, ataupun Walikota terjerat kasus korupsi. Lebih tragis dari itu, 1.221 orang aparatur negara masuk perangkap korupsi.

Dari 291 kepala daerah itu, terdiri atas gubernur 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, Wabup 46 orang, walikota 41 orang, dan wakil walikota 20 orang.

Lebih sadis lagi, menurut data Transparency International Indonesia (TII), pada tahun 2012 saja telah terdapat 280 kepala daerah menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi.

”Pilkada kita telah melahirkan pemimpin-pemimpin koruptor,” ujar Wamenkumham Denny Indrayana beberapa waktu yang lalu.

Atas kasus ini, muncul sinisme, “ada Pilkada, ada korupsi.” Analisis para pakar menegaskan bahwa korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi berawal dari dana kampanye. Dalam masa kampanye, pasangan calon kepala daerah biasanya tidak hanya dibantu oleh tim sukses, namun juga ditopang tim di luar struktur tim resmi yang bekerja secara aktif, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Tim ini beragam, mulai dari pengawal pribadi, para normal, penasehat spiritual, hingga konsultan politik dari Jakarta yang dibayar sangat mahal. Intinya mereka saling berkepentingan. Tidak ada yang gratis dalam Pilkada. Seperti memberi uang mahar politik, infaq, bantuan sosial, sumbangan, santunan, lomba-lomba, poster, baliho, iklan, polling, survey, hingga do’a bersama, semuanya adalah modus-modus operandi di mana mesin korupsi Pilkada itu bekerja.

Dengan begitu, berbagai cara akan dilakukan ketika sudah menjadi kepala daerah untuk melunasi ‘hutang’, mengembalikan modal, menebus barang gadai, membalas jasa, dan sekaligus memperoleh keuntungannya, melalui korupsi proyek pemerintahan, APBD, ‘jual beli’ kewenangan, dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya.

Pertanyaannya kemudian adalah di manakah posisi NU dan kyai-ulama Pesantren seharusnya dalam Pilkada yang begitu kotor? Akankah mereka tetap menjadi pelaku Pilkada, penasehat Cabup, pendukung dan penggembira saja, ataukah akan berperan sebagai pengontrol jalannya Pilkada agar sesuai nilai-nilai demokratisasi yang mengharamkan segala bentuk korupsi itu? Ataukah hanya sebagai penonton saja?

Sikap Politik NU

Sejak tahun 1984, secara normatif, sikap politik NU sebetulnya sudah jelas dan tegas; “Kembali ke Khittah 1926.” Maksudnya adalah NU tidak lagi berpolitik praktis, yakni mendukung atau menolak partai politik atau calon kepala daerah atau kepala negara sebagaimana cara-cara yang dilakukan Partai Politik (Parpol) yang semata-mata bertujuan untuk merebut atau memperoleh kekuasaan politik. Sikap ini adalah bentuk penolakan nyata atas politisasi NU yang terjadi pada masa lalu. Pada masa lalu, NU pernah hanya dijadikan stempel kekuasaan politik dan atribut yang digunakan untuk merebut kekuasaan itu.

Atas pengalaman ini, NU menyatakan dengan lantang berhenti dari politik praktis dan berpolitik tanpa panggung politik, yakni politik kebangsaan. Dalam berpolitik kebangsaan ini, NU selalu terlibat dalam setiap upaya pengembangan budaya politik yang sehat dan bertanggungjawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, serta membangun mekanisme musyawarah-mufakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Termasuk dalam politik kebangsan ini adalah NU seharusnya terlibat bagaimana mengawal dan menjaga Pilkada berjalan secara demokratis, konstitusional, bebas korupsi, tidak ada diskriminasi dan kekerasan.

Dalam paradigma Khittah NU 1926, politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. Berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indoensia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan. Demikian juga berpolitik dalam pandangan NU harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati.

Jelaslah, dengan demikian, NU bukan partai politik, tidak berpolitik praktis, tidak boleh dipolitisasi dan mempolitisasi, tidak menjadi stempel kekuasaan, dan tidak boleh digunakan untuk mengawal kekuasaan orang-orang tertentu. NU harus menjadi payung kebangsaan dan pengawal demokrasi dan Konstitusi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam Pilkada yang akan diselenggarakan di Kabupaten Cirebon mendatang. []

Marzuki Wahid adalah Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Cirebon, Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya