Senin, 23 Desember 2024

Potret Dua FKPM: Utamakan Rembug Warga dan Terus Merangkul Masyarakat

Baca Juga

Kemitraan polisi dan masyarakat adalah mutlak dan niscaya adanya untuk sebuah tatanan masyarakat yang beradab, aman, dan sehat. Apapun potensi kerawanan sosial yang muncul, dengan kemitraan akan mudah dicarikan pilihan pencegahan dan solusinya.

Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) dengan berbagai varian nama dan bentuknya sejatinya adalah wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedepankan kebersamaan, baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak hanya dalam soal Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), tetapi dalam isu-isu sosial dan kemanusiaan lainya. Di Yogyakarta, aktifis FKPM, yang dikenal sebagai aktivis Pokja (Kelompok Kerja) Community Oriented Policing (COP), telah membuktikan hal ini. Dengan adanya COP di Malioboro, tingkat kriminalitas di lingkungan setempat menurun. Realitas serupa terjadi di Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur (Kaltim), di mana FKPM mampu membuktikan diri sebagai mitra polisi dengan membekuk sindikat trafiking.

Walau tentu belum pas rasanya jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan COP Jogja atau di Kalimantan Timur, di edisi kali ini, kita akan bersama-sama menengok dua FKPM yang baru saja bergerak di dua desa, yaitu FKPM Tridaya di Kecamatan Gebang dan FKMC (Forum Komunikasi Masyarakat Ciborelang) di Desa Ciborelang Majalengka. Meski usia kedua FKPM itu masih seumur jagung, mari kita tengok apa saja yang mereka rencanakan dan lakukan? Termasuk

FKPM Tri Daya, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon
Awal Januari 2009, merupakan bulan yang cukup bersejarah bagi sebagian warga Desa Cangkuang, Serang Wetan, dan Babakan di Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon. Tepatnya tanggal 4 Januari 2009 lalu, sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, serta aktivis pemuda dari ketiga desa tersebut, sepakat mendirikan FKPM bernama Tri Daya. Tri
berarti tiga, sedangkan Daya berarti kekuatan. Jika digabungkan, Tri Daya berarti tiga kekuatan dari tiga desa, yakni: Desa Cangkuang, Desa Serang Wetan, dan Desa Babakan.

Tri Daya memang baru berdiri, namun bukan berarti para aktifisnya masih awam dalam melaksanakan kerja-kerja sosial. Karena mereka yang tergabung dalam Tri Daya adalah orang-orang yang memiliki pengalaman malakukan aksi-aksi sosial. Sebagai motor penggerak, FKPM Tri Daya memiliki beberapa personil berikut: Castra Adji Saroso sebagai Pembina, Syamsul sebagai Ketua, Heri sebagai Sekretaris dan Didi sebagai bendahara.

Setelah berdiri, kini Tri Daya sedang mengupayakan sosialisasi ke masyarakat yang lebih luas. Memang sosialisasai yang dilakukan belum maksimal, tetapi paling tidak sekarang warga mengerti akan pergi ke mana jika hendak menyelesaikan persoalan, khususnya masalah-masalah sosial yang dirasakan bersama.

Dalam menyusun program kerja, Tri Daya juga berusaha realistis. Misalnya program pembuatan SIM kolektif, dan tentu saja dengan biaya yang lebih murah dari biasanya. Ini diprogramkan karena para pengurus memiliki catatan bahwa sebagian besar warga di tiga desa yang menjadi wilayah kerja Tri Daya, tidak memiliki SIM walau memiliki sepeda motor. Alasannya macam-macam: karena urusannya lama, berbelit-belit, biayanya mahal di atas harga resmi dan karena posisi tiga desa tersebut merupakan kawasan ujung Timur Kabupaten Cirebon, cukup jauh dari pusat Kota Sumber, dimana Kantor Polres Cirebon berada.  Di sisi lain, sebelumnya beberapa personil Tri Daya juga sudah sering membantu meringankan kerja-kerja polisi dalam persoalan Kamtibmas, seperti kasus kenakalan remaja akibat minum-minuman keras, penipuan terhadap TKI, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan Trafiking.

Khusus soal TKI, menurut Castra Adji Suroso, FKPM Tri Daya juga akan mendesak pemerintah di masing-masing tiga desa tersebut, untuk membuat kebijakan yang membela hak-hak TKI. “Warga yang menjadi TKIdi sini cukup banyak, bahkan terus meningkat setiap tahunnya. Di antara mereka yang mendapat masalah ketika menjadi TKIjuga cukup besar. Sehingga melalui forum ini, kami ingin agar pemerintah lebih jeli dan lebih tegas lagi dalam hal ini,” papar Castra pada Blakasuta, di Kantor Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI), yang juga merangkap menjadi Sekretariat FKPM Tri Daya, pada Selasa (6/2/09) lalu.

 

Mengutamakan Rembug Warga
Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang muncul, FKPM Tri Daya selalu mendahulukan upaya rembug warga. Menurut Ketua Tri Daya, Syamsul, rembug warga ini adalah musyawarah yang dilaksanakan dengan penuh kebersamaan dan kekeluargaan. Jika ada warga yang tertimpa masalah, dia bersama pengurus FKPM lainnya mencoba agar persoalan tersebut tidak langsung diserahkan ke pihak kepolisian, melainkan dimusyawarahkan dulu penyelesaiannya dalam rembug warga. Kecuali kasus-kasus pidana berat.  “Kami akan selalu mengutamakan rembug warga. Karena kami ingin, setiap kasus yang menimpa warga bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Tapi jika di tingkatan rembug warga tidak berhasil diselesaikan, maka kami meminta bantuan polisi. Tetapi bukan berarti kami lepas tangan, kami tetap mendampingi warga tersebut hingga persoalannya tuntas,” tandas Syamsul.

Hal serupa juga diungkapkan Zaini, salah satu tokoh masyarakat setempat. Selama ini dia kerap menemukan persoalan di masyarakat berkaitan dengan KDRT. Seperti ada seorang bapak menyiksa anaknya, suami menyiksa isterinya, serta persoalan kenakalan remaja akibat minum-minuman keras. “Kalau persoalan KDRT, sebagian besar pemicunya adalah karena urusan ekonomi. Selain itu juga moral dan agama, sehingga ini termasuk rumit. Terkadang meskipun kami bersama warga lain telah mencoba membantu, si pelaku malah menyalahkan kami. Akhirnya kami lebih pada melindungi si korbannya. Apalagi korbannya terkadang anak kecil.”

Syamsul juga berharap agar Polsek Babakan merespon positif adanya Tri Daya ini. Karena menurutnya, selama ini Polsek Babakan belum memberikan respon yang baik. “Ya, kami sangat kecewa dengan respon yang diberikan Polsek Babakan. Seperti ketika kami membutuhkan kehadiran dan partisipasi mereka dalam beberapa pertemuan, mereka tidak ada yang hadir. Semoga ke depannya, Polsek semakin peduli dan mau bekerjasama dengan adanya FKPM Tri Daya ini.

FKPM Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka
Tidak jauh berbeda dengan FKPM Tri Daya, di Ciborelang juga terbentuk FKPM yang bernama Forum Kemitraan Masyarakat Ciborelang (FKMC). Tepatnya pada Kamis (1/1/09) lalu FKMC ini telah melakukan sosialisasi dengan mengundang sejumlah RT, RW, dan masyarakat desa. Sebanyak 15 orang juga telah menjadi pengurus FKMC.  Seperti halnya FKPM Tri Daya, para pengurus FKMC adalah orang-orang yang sering mendampingi warga menyelesaikan persoalannya. Mulai dari persoalan KDRT, tawuran warga, kenakalan remaja, kamtibmas, hingga persoalan kemiskinan. FKMC juga aktif melakukan advokasi terkait kasus KDRT dan Trafiking.

Berbeda dengan Tri Daya, dalam jajaran kepengurusannnya, FKMC membentuk bidang-bidang, seperti bidang komunikasi dan informasi, bidang pendidikan kemasyarakatan, bidang perpolisian masyarakat, dan bidang ekonomi mikro.

Menurut Ketua FKMC, Momon Surahman, bidang-bidang tersebut untuk sementara masih digerakkan oleh forum. FKMC juga telah mengefektifkan kembali kegiatan ronda malam. “Ini karena sekarang sedang marak kasus Curanmor, selain itu kasus KDRT. Kami juga tengah berjuang mengurangi para remaja yang suka membuat masalah di jalan-jalan. Sebagian besar diakibatkan karena minuman keras,” papar Momon ketika ditemui Blakasuta di rumahnya.

Terus Rangkul Masyarakat
Momon berharap agar kinerja FKMC bisa berjalan efektif. Yang lebih penting lagi dari semuanya adalah merangkul masyarakat untuk turut serta dalam kerja-kerja sosial di FKMC. “Dengan adanya FKMC dan apa yang telah kami kerjakan, mudah-mudahan tanggapan masyarakat serius, karena yang penting bagi masyarakat adalah kondisi lingkungan aman. Sekarang walaupun belum sosialisasi secara maksimal, tetapi paling tidak kita sudah mulai bekerja. Hasilnya, sebagian masyarakat sudah mulai percaya, ikut serta dalam keamanan lingkungan,” ujar Momon.

Terkait persoalan dana, kini FKMC tengah berusaha menjalin kerjasama dengan lembaga lain yang peduli terhadap persoalan sosial di Ciborelang. “Yang pasti, kami terus berupaya agar diterima masyarakat. Karena di sini ada paradigma, bahwa terlalu banyak forum yang dibentuk, masyarakat banyak yang tidak percaya. Makanya, kita sudah menyiapkan diri untuk itu. Tantangan lain bagi kami adalah bagaimana agar masyarakat Ciborelang mau bersatu. Kebetulan di sini banyak sekali pendatang. Dan ini mendorong kami untuk terus membuktikan dedikasi dan kinerja kita,” tandas dia.

Kerawanan Sosial yang Dihadapi
Memposisikan diri sebagai pendukung program Polmas POLRI, Fahmina Institute mendorong polisi agar lebih memasyarakat dan lebih humanis lagi. Di sisi lain secara terus-menerus Fahmina juga mendorong masyarakat agar memberikan dukungan kepada Polisi untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

Dalam upaya dukungan ini, salah satu upaya yang telah dilakukan adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi kader-kader Polmas dalam dua tahap pelatihan. Dua komunitas desa telah terpilih sebagai peserta pelatihan. Dua komunitas tersebut adalah sejumlah desa (Serang Wetan, Cangkuang dan Babakan) di Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon dan Desa Ciborelang di Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka.

Dalam dua pelatihan ini, para peserta pelatihan dibekali berbagai pengetahuan tentang Polmas baik strategi maupun filosofinya, kemampuan menganalisa situasi sosial di sekitarnya, mengorganisir masyarakat, pengetahuan kasus KDRT dan trafiking dan tidak lupa pula penguatan perspektif jender.

Dengan berbekal berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang dilatihkan di dua lokasi FKPM tersebut, diharapkan dapat juga mengelola dan mengembangkan pusat layanan informasi dan pengaduan. Pusat Pelayanan Informasi dan Pengaduan ini merupakan tindak lanjut untuk mendukung kerja-kerja kader-kader Polmas dari masyarakat tersebut.

Desa Serang Wetan dan sekitarnya yang merupakan basis FKPM Tri Daya, menurut salah seorang aktifis Polmasnya, Didi, kurang lebih 30 persen perempuan di tiga desa tersebut bekerja keluar negeri sebagai TKI. Rupanya, lahan pertanian sebagai penghasilan utama masyarakat desa tersebut tidak mencukupi kebutuhan masyarakat setempat. Bisa dimaklumi, karena kebutuhan yang meningkat membuat masyarakat mencari alternatif lain, baik dengan bekerja ke luar negeri, maupun menjadi menjadi pedagang. Selain hasil padi, tidak ada hasil bumi yang menonjol di daerah ini.

Masyarakat dengan kondisi ekonomi pas-pasan, seperti umumnya desa-desa di kawasan Pantura (Pantai Utara Jawa), memiliki kerawanan sosial sendiri. Tingginya angka pengangguran, terlihat ketika Blakasuta berkunjung ke sana. Sejumlah anak muda bergerombol di beberapa simpang jalan dan warung di siang hari. Walaupun belum tentu  benar mereka pengangguran, namun kondisi demikian paling tidak menjadi gambaran kurang produktifnya masyarakat tersebut.

Potensi-potensi kerawanan seperti itulah yang akan diantisipasi oleh FKPM Tri Daya, tutur Didi, yang juga aktif sebagai pengurus Panwascam dalam Pemilu 2009 ini. Di samping juga soal buruh migran, yang kasus-kasusnya banyak tak tertangani, karena tak ada lembaga lain di sekitar desa tersebut selain FWBMIyang peduli. Berharap banyak kepada aparat Desa, juga tak mungkin. Aparat desa dengan kewenangannya memberikan rekomendasi, sering juga dilangkahi oleh para calo, terutama dalam pemalsuan identitas. Dengan adanya FKPM Tri Daya, diharapkan persoalan-persoalan tersebut bisa diurai dan diselesaikan dengan baik.

Di Ciborelang, masyarakatnya lebih beragam dan menyandang berbagai profesi. Mungkin, karena di sana berdiri sebuah pasar tradisional, banyak warga Ciborelang Majalengka yang mengandalkan penghasilan sebagai pedagang di Pasar Ciborelang. Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada data yang diperoleh Blakasuta berapa persisnya jumlah TKIyang berasal dari desa tersebut. Karena ketika pihak Desa Ciborelang dihubungi yang bersangkutan tidak ada di tempat. Namun menurut salah satu aktifis FKMC, Kamsinah, yang pasti tak sebanyak di Serang Wetan persentase jumlah perempuannya yang menjadi TKIdengan jumlah penduduk perempuan. Walau demikian, pengaduan-pengaduan soal TKIselalu saja ada.

Berbeda dengan Serang Wetan, tambah Kamsinah, kasus KDRT lebih banyak dilaporkan, jumlahnya sekitar 2-3 kasus perbulan. Tetapi karena akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan, jumlah kasus KDRT yang sampai di meja FKMC baru 2 kasus. Seperti di Serang Wetan Kabupaten Cirebon, alasannya bisa macam-macam, ada karena ekonomi, perselisihan keluarga dan yang paling banyak karena perselingkuhan.

Meski jika dilihat sepintas terkesan tentram dan adem ayem, bukan berarti tidak ada potensi kerawanan sosial lainnya, tambah Kamsinah. Letak Desa Ciborelang, yang berada persis di lintas utama Cirebon-Bandung, menjamurnya pusat-pusat keramaian ekonomi baru di sekitar Pasar Ciborelang dan berdirinya sejumlah lembaga pendidikan, tidak bisa membendung warga pendatang baru, membawa kebiasaan dan sikap berbeda, yang dalam beberapa hal berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat. Pengawasan terhadap relasi pribumi dan pendatang baru ini, tutur Kamsinah merupakan agenda lain FKPMC. Ini bukan berarti Ciborelang tertutup bagi pendatang baru. Karena banyak juga pendatang yang pada akhirnya banyak memberikan kontribusi bagi desa Ciborelang.

Mengenai peran yang bisa dilakukan Polmas melalui FKPM dalam Pengamanan Pemilu 2009, Tri Daya dan FKMC menyatakan siap berperan aktif, terutama dalam upaya deteksi dini dan preventif gangguan sosial. FKPM memiliki peran strategis, tegas Didi. Karena FKPM lahir dari rahim masyarakat dan paling mengetahui karakter dan kondisi masyarakatnya. Hal senada juga diungkap oleh Kamsinah, bahwa peran FKPM mestinya dimaksimalkan, karena terlepas dari baru berdirinya mereka, di Pemilu 2009 ini memiliki momen penting, paling mengambil salah satu tempat dalam “mengamankan pemilu dari potensi kekerasan”. Karena, bagaimanapun pesta demokrasi ini milik rakyat dan mestinya membawa perdamaian, lanjut Kamsinah.

Dengan melihat aktifitas dua FKPM di atas, harapannya dapat menginspirasi bahwa kemitraan polisi dan masyarakat adalah mutlak dan niscaya adanya untuk sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Apapun potensi kerawanan sosial yang muncul, tak perlu lagi dikhawatirkan, yang penting bagaimana dicarikan pilihan pencegahan dan solusinya. (A5, ET)

Sumber: Blakasuta Ed. 16 (Februari 2009) 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya