Adanya ang-gapan bahwa PKL adalah biang kemacetan dan kekumuhan kota, seakan melupakan bahwa sektor informal seperti PKL adalah salah satu pilar ketahanan ekonomi rakyat pada saat gelombang krisis moneter menimpa Indonesia pada tahun 1997. Hingga saat ini, sektor informal seperti PKL ini faktanya telah menyerap ribuan bahkan jutaan tenaga kerja mandiri secara modal maupun kelembagaan. Dilihat dari peran itu, seyog-yanyalah PKL diperhatikan. Di mana ketahanan ekonomi UKM salah satunya PKL, merupakan bagian dari upaya peningkatan IPM (Indeks Pembangunan Ma-syarakat) khususnya daya beli masyarakat. Pemkot Cirebon, melalui Dinas terkait khususnya Bappeda dan Kantor Koperasi dan UKM Kota Cirebon tengah menggulirkan Program PPK (Program Pendana-an Kompetitif).
PPK, khususnya dalam bidang daya beli dengan judul program penguatan kelem-bagaan dan ekonomi (PPK-PKL), diusulkan oleh FPKL (Forum Pedagang Kaki Lima), KAN-KOP dan BAPPEDA Kota Cirebon kepada Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Sebagai program khusus bagi PKL, PPK-PKL merupakan satu upaya bagi Penguatan Kelembagaan dan Ekonomi PKL kota Cirebon. Selain digarap KANKOP, PPK-PKL juga melibatkan Fahmina Institute sebagai pendamping, dan FPKL (Forum Pedagang Kaki Lima) Kota Cirebon sebagai stakeholder. Upaya menggoalkan PPK-PKL, tidaklah mudah. Posisi PKL yang akhir-akhir ini masih disorot, men-jadi dilema bagi Pemkot. Melepaskan stigma buruk yang kadung disandangkan ke PKL, memang tak gampang. Paling tidak, PPK–PKL menjadi titik awal, bagi upaya perubahan itu. Lalu, apakah program ini benar-benar bisa turut meningkatkan IPM Cirebon khususnya dalam bidang daya beli?
Tentu, jawabannya tidak mudah! FPKL sendiri, berkali-kali berusaha meyakinkan Pemkot Cirebon bahwa PKL layak dapat bantuan. Fakta bahwa PKL merupakan salah satu pilar daya tahan ekonomi ketika krisis monoter, sudah terbukti. PPK-PKL diarahkan untuk mendorong penguatan kelembagaan dan ekonomi PKL agar ke depan lebih maju. Melalui program itu juga, PKL akan ditingkatkan kualitas kesadarannya akan ketertiban dan keindahan kota. Posisi PKL mestinya benar-benar diangkat tidak melulu jadi obyek, seperti kasus PKL Pasar Pagi dan Pasar Mambo yang memperjelas standar Pemkot yang diskriminatif dalam penentuan kebijakannya.
Walaupun pada dasarnya Pemkot Cirebon hanya sebagai fasilitator dalam upaya pengusulan program ini di tingkat Propinsi, tetapi patut kita hargai dan mestinya menjadi koreksi diri bagi Pemkot. Pemprop sendiri, secara ekplisit sudah mengakui keberadaan PKL setidaknya sebagai salah satu pilar ketahanan ekonomi. Dalam perjalanan pengusulan-nya, program PPK-PKL tidaklah mudah karena di tingkat review ada ketentuan bahwa dana bergulir ditiadakan. Semua point (item) anggaran program hanya berupa upah, barang, dan jasa saja. Sementara, insentif maupun stimulant berupa uang ditiadakan alias ditolak.
Tentunya hal ini sempat menjadi bahan kegelisahan bagi kalangan PKL. Mengingat, sejak awal FPKL telah mensosialisasikan kepada PKL adanya program PPK-PKL agar ada kesepahaman, transparansi dan pola bottom up dalam penyusunan dan pengawasan program tersebut. Maka pada tanggal 03 Desember 2005, sejumlah koordinator PKL di beberapa ruas jalan berkumpul membicarakan soal penawaran berupa stimulan dalam bentuk barang. Pilihannya dua; apakah PKL menerima bantuan stimulant barang, atau tetap mengusulkan program bantuan dana bergulir dengan resiko ditolak dan PKL cabut dari program PPK?
Para koordinator lebih memilih opsi kedua; tetap mengusulkan pola dana bergulir dan menolak usulan berupa barang jenis apapun. Pilihan itu, menjadi keputusan yang dibawa oleh perwakilan FPKL, fahmina institute, serta delegasi Pemkot Cirebon dalam pertemuan pada tanggal 12 Desember 2005 dengan tim review Propinsi. Perdebatan alot terjadi di Gedung Sate Kantor Gubernur Jawa Barat di Bandung. Setelah sebelumnya dengan setengah ngotot, usulan dana bergulir bagi PKL akhirnya disetujui. Tapi tim review hanya mau menyetujui jika digulirkan melalui program P4K yang ditangani melalui BRI sebagai bank channeling (penghubung).
Ini adalah langkah awal atas proses pencarian pengakuan eksistensi PKL khususnya PKL Cirebon. Setidaknya, dengan alo-kasi dana khusus (Lihat table alokasi anggaran PPK-PKL) untuk dana bergulir yang mencapai Rp. 600.000.000. Dan jika lancar di tahun pertama, akan ditambah dengan jumlah yang sama ditahun berikutnya. Nilai itu, bagi PKL tentu modal yang sangat besar dan merupakan modal potensial untuk dikembangkan lagi menjadi koperasi simpan pinjam, atau bahkan BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Koperasi atau BPR, bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk mengurangi ketergantungan sebagian PKL terhadap rentenir yang kian merajalela. Semua itu, merupakan sebuah jawaban bagi PKL sebagai sebuah gerak ekonomi kecil, yang selama ini terinvolusi baik secara struktural maupun oleh kebijakan pemerintah. Program PPK-PKL harus menjadi “tangan-tangan” kuat yang akan mengangkat ekonomi PKL menjadi lebih dinamis, tidak hanya bertahan pada saat krisis tetapi berkembang secara alami menjadi usaha yang berskala lebih besar.
Sebagai bagian dari faktor pendorong daya beli masyarakat, sektor informal yang diantaranya adalah PKL, merupakan jembatan bagi kebutuhan masyarakat mene-ngah kebawah. Model transaksi yang cair, variasi barang yang beragam dengan harga murah, akan menstimulan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga pergerakan ekonomi masyarakat terutama di tingkat bawah akan lebih terpacu. Di samping tentunya, alokasi anggaran PPK-PKL untuk pelatihan dan pendidikan PKL (yang telah terseleksi), akan meningkatkan per-forma PKL Cirebon, baik dari segi penampilan, pelayanan, kesadaran maupun manajemen usaha PKL itu sendiri. Juga menjadi kesempatan bagi PKL untuk berinteraksi dengan Pemerintah karena sejumlah nara-sumber adalah para kepala dinas terkait. Selain tujuan tersebut, PPK-PKL bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kepercayaan dari Pemerintah terhadap PKL, khususnya PKL Cirebon. Kepercayaan itu, jelas harus diikuti dengan tanggung jawab besar. Paling tidak, menuntut adanya upaya kontrol internal dalam lingkungan PKL itu sendiri melalui korwil-korwil di tiap ruas jalan. Keberhasilan sistem dana bergulir sangat bergantung kepada kesadaran para PKL untuk mengembalikan dana pinjaman. Hal itu merupakan jaminan bagi keberlangsungan program PPK-PKL selanjutnya. Mengingat, pro-gram ini bukan “drop-dropan” dari atas, tetapi bersifat bottom up (dari bawah ke atas). Dimana sebelumnya, program PPK-PKL di-racang lewat penyerapan masukan dari PKL sendiri. Kemudian didesain sedemikian rupa dengan keterlibatan penuh PKL itu sendiri. Sudah selayaknyalah PPK-PKL di-sukseskan bersama. Bagi PKL yang belum memperoleh pinjaman pada kesempatan pertama, tidak usah berkecil hati. Sekali lagi, PPK-PKL adalah program dana bergulir. Para PKL tinggal menunggu pada kesempatan berikutnya, dengan catatan putaran pertama berjalan lancar.
PPK-PKL bisa berhasil atau tidak, selain tergantung dari ke-seriusan pelaksana program, seperti KANKOP, pendamping, juga tentu-nya PKL itu sendiri. Sudah saatnya PKL merubah stigma yang selama ini menyudutkannya, kalau bukan dari PKL sendiri, lalu siapa yang akan memulai?[tim/kombas]