Suatu hari beberapa dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon berkunjung ke rumah. Dalam kunjungan selain membicarakan seputar perkembangan pendidikan, kami juga berdiskusi banyak hal. Salah satunya tentang kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini. Diskursus keagamaan dan kecenderungan menggunakan dalil-dalil agama secara tekstual, literal, harfiah, mendominasi akal publik.
Media massa begitu kuat seperti mendukungnya. Lalu tampak juga banyak isu keagamaan yang telah berabad-abad didiskusikan, kembali diulang, seakan isu baru. Terutama pada dimensi ibadah murni (mahdhah). Yang disayangkan adalah cara-cara yang dilakukannya tampak banyak orang menyampaikan pandangannya secara emosional, marah-marah, klaim kebenaran sendiri sambil mensesatkan pandangan yang lain.
Diskusi berjalan dengan asyik. Dari proses diskusi itu aku ingat, sekaligus menyampaikan pandangan Imam Abu Hamid al-Ghazali yang kritikal :
فاعلم ان من زعم ان لا معنى للقرآن الا ما ترجمه ظاهر التفسير فهو مخبر عن حد نفسه. وهو مصيب فى الاخبار عن نفسه, ولكنه مخطئ فى الحكم برد الخلق كافة الى درجته التى هى حده ومحطه
“Ketahuilah bahwa orang yang menganggap bahwa al Qur’an hanya memiliki makna lahir (literal), maka dia tengah mengabarkan tentang keterbatasan ilmu (pengetahuan) nya sendiri. Boleh jadi ia benar bagi dirinya sendiri. Akan tetapi dia melakukan kekeliruan manakala dia mengharuskan semua orang mengikuti kualitas pandangannya yang terbatas itu”. (Lihat, Ihya Ulum al-Din, I/289).
Aku juga menyampaikan pandangan Prof. Nasr Hamid Abu Zaid. Ia juga seperti hendak mengkritisi cara pandang keagamaan yang berkembang :
الواقع هو الأصل، ولا سبيل إلى إهداره. من الواقع تكوّن النص، ومن لغته وثقافته صيغت مفاهيمه، ومن خلال حركته بفاعلية البشر تتجدد دلالته.. فالواقع أولاً، والواقع ثانياً، والواقع أخيراً. وإهدار الواقع لحساب نصّ جامد ثابت المعنى والدلالة يحول كليهما إلى أسطورة.. يتحول النص إلى أسطورة عن طريق إهدار بعده الإنساني والتركيز على بعده الغيبي .
“Kenyataan (realitas) adalah dasar dan ia tidak mungkin diingkari/diabaikan. Dari kenyataan (realitas) lahirlah teks. Dari bahasa dan budaya teks terbangunlah sistem pengetahuan (epistem). Sejalan dengan dialektika sosial, pemahaman atasnya akan terus berkembang. Maka kenyataan adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan kenyataan hanya karena mempertahankan/mempertimbangkan teks yang beku, tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai legenda. Ini terjadi karena ia telah mengabaikan dimensi kemanusiaan dan memfokuskan diri pada dimensi masa lalu yang pergi”. (Naqd al Khithab al Diniy, hal. 99).
Nasr Hamid Abu Zaid adalah pemikir progresif yang terusir dari negaranya, Mesir, gara-gara sejumlah pemikirannya yang dipandang liberal, menggugat kemapanan tradisi. Meski demikian, pikiran-pikirannya tetap hidup dan dikutip banyak orang modern di negeri-negeri muslim.
Teman-teman dosen ISIF itu mengangguk-angguk, sepakat dan tampak senang.