Rembug warga sejatinya adalah tradisi yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Hanya saja tradisi ini kurang diakui sebagai mekanisme demokrasi. Demokrasi di negeri ini justru hanya mengakui demokrasi keterwakilan. Pada tataran teoritis, demokrasi keterwakilan memang bagus. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa wakil-wakil rakyat dalam demokrasi keterwakilan malah tidak memikirkan rakyat, bahkan mengkhianatinya. Rakyat hanya jadi jualan politik belaka. Inilah kelemahan demokrasi keterwakilan.
Akhir-akhir ini ada yang disebut dengan Demokrasi Deliberasi, yang secara mudah dapat diartikan sebagai Demokrasi Ngobrol-ngobrol. Ini adalah kebalikan dari demokrasi keterwakilan. Bila demokrasi keterwakilan mengasumsikan proses demokrasi melalui prosedur pemilu dan langkah-langkah pasca pemilu, maka demokrasi delibrasi ini mangasumsikan proses demokrasi melalui ngobrol-ngobrol rakyat, dari yang ringan sampai yang berbentuk rembug warga. Berbeda dengan demokrasi keterwakilan yang melalui proses dari rapat ke rapat resmi, maka demokrasi delebrasi atau rembug warga sangat bergantung pada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.
Dalam demokrasi deliberasi seperti bentuk rembug warga, yang diakamodasi adalah suara seluruhwarga dan bukan hanya perwakilannya. Rembug warga yang diharapkan bukan hanya wacana besar, tetapi bisa wacana kecil dan remeh-temeh. Pepatah suku Minang Sumatra Barat mengatakan:
Bulek aia dek pambuluah. Bulek kato dek mufakaik. Sadanciang bak bak basi, saciok bak ayam. Picak bisa dilayangkan, bulek bisa diguluangkan (Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat. Sedenting ibarat besi, seciap ibarat ayam. Tipis bisa dilayangkan, bulat bisa digelindingkan). Maknanya adalah semua permasalahan bisa dimusyawarahkan dan yang terbaik yaitu dengan suara bulat, satu suara, sehingga jika sudah menjadi keputusan akan mudah dilaksanakan. Hal ini juga berarti suara sekecil apapun kapasitasnya haruslah didengarkan tanpa kecuali. Namun sayangnya, kearifan lokal semacam itu dibenamkan oleh pemerintahan kita di masa lalu, karena mereka tidak ingin rakyat kuat dan berdaulat.
Meski demikian, setidaknya saat ini hampir semua desa memiliki lembaga LPM, BPD dan Karang Taruna sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap birokrasi pedesaan. Namun, dalam penentuan kebijakan di berbagai tingkatan masyarakat terkadang dianggap cukup melalui keterwakilan pada lembaga-lembaga tersebut.
Padahal partisipasi langsung tetap saja diperlukan. Lalu bagaimana caranya? Salah satunya yaitu menghidupkan rembug warga, baik di tingkat, RT, RW, Desa, bahkan di tingkat Kabupaten dan Kota. Melalui rembug warga ini, partisipasi warga terhadap pembangunan daerah akan lebih kuat. Kebijakan apapun yang dibuat juga akan lebih diterima dan memperoleh legitimasi yang lebih besar. Yang dihidupkan dalam rembug warga bukan hanya sistem, tetapi etos dan budaya demokrasi.
Berbicaran mengenai partisipasi, menurut John Gaventa dan Camilo Valderama (2001) ada dua bentuk partisipasi. Pertama, partipasi sosial. Bentuknya adalah partisipasi langsung pemilik kepentingan utama (stakeholder, warga) dan bukan pada partisipasi tak langsung lembaga perwakilan. Kedua, partisipasi politik. Bentuknya terfokus pada mekanisme partisipasi tak langsung melalui suatu lembaga perwakilan atau negara, melalui pemungutan suara, kampanye, kontak, lobi dan protes untuk mempengaruhi wakil-wakil rakyat, tidak langsung terlibat dalam proses pemutusan kebijakan itu sendiri.
John Gaventa dan Camilo Valderama menambahkan model partisipasi lain, yaitu partisipasi kewargaan, yang mengedepankan partisipasi warga dengan hak asasi manusia dalam lingkup politik, komunitas dan sosial. Inilah yang banyak dilaksanakan di berbagai negara sebagai model komunikasi baru antara pemerintah dengan warganya. Model ini menjadikan segala kebijakan, peraturan, undang-undang di berbagai jenjang pemerintahan semakin mendekati harapan warga (yang diperintah), maka munculah apa yang disebut dengan kemitraan (partnership) antara masyarakat dan pemerintah.
Dengan bekal kearifan lokal yang sudah kita miliki, sudah saatnya rembug warga menjadi agenda bersama. Ada tiga alasan pentingnya rembug warga. Pertama, ketersediaan ruang partisipasi politik masyarakat dalam sistem demokrasi saat ini sangat terbatas. Ketersediaan ruang partisipasi ini mesti diinisiasi sebagai media komunikasi politik. Kedua, pendidikan politik bagi masyarakat terhambat dengan lemahnya kemampuan politik masyarakat dalam melakukan bargaining (tawar-menawar) dengan institusi politik formal. Ketiga, produk yang dihasilkan rembug warga, merupakan suara warga yang mempunyai kedekatan permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, hingga tidak ada alasan bagi para pengambil kebijakan untuk tidak mengakomodasi dan merealisasikannya.
Rembug warga baik secara kultural, sosial, politik dan hukum seharusnya menjadi tradisi yang penting untuk diselenggarakan. Kepentingannya jelas, membuka ruang politik bagi warga untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam lingkungan yang secara langsung dirasakan oleh warga. Diharapkan dengan rembug warga, proses redemokrasi bisa berjalan lebih baik dan partisipasi warga juga meningkat.
“Esensi demokrasi adalah sejauhmana rakyat bisa mengontrol jalannya pemerintah sehingga benar-benar mensejahterakan mereka”.
Yang penting tentu bagaimana mengorganisasikan rembug warga agar efektif bagi kepentingan komunikasi politik warga. Mungkin perlu diawali dengan melakukan jajak pendapat terhadap isu utama yang akan dijadikan materi rembug warga dengan mempertimbangkan tingkat keterwakilan semua komponen kelompok masyarakat, baik soal pendidikan, kesehatan murah, antikoprupsi, atau apa saja yang menjadi kepentingan warga secara luas.
Sedangkan untuk memperoleh legitimasi yang kuat, proses partisipasi rembug warga harus melibatkan semua warga tanpa kecuali. Di tingkat desa, yang jumlah warga relatif masih sedikit, bisa dikumpulkan dalam satu tempat. Semua warga harus diundang tanpa kecuali untuk mengetahui prosesnya. Di tingkat yang lebih luas untuk tingkat kota dan kabupaten, selain peserta kritis yang terinformasi dengan materi rembug warga, juga direkrut mela-lui kantung-kantung organisasi massa di tingkat kecamatan dan desa, serta dibuka secara luas melalui media massa.
Tak kalah penting juga adalah proses pengawalan produk rembug warga. Apapun keputusan dan saran yang muncul, sebaiknya ada tim yang menindaklanjuti hasil rembug warga agar dipastikan menjadi masukan pada program pembangunan daerah serta kebijakan-kebijakan yang lainnya. Ada beberapa manfaat yang bisa diambil dari rembug warga. Diantaranya, warga memiliki pengetahuan tentang isu-isu publik, bisa mengurangi konflik kepentingan, implementasi kebijakan lebih mudah, keterlibatan warga bisa membangun kepercayaan, peningkatan partisipasi politik dan sekaligus menyumbang bagi pe-nguatan institusi politik yang ada. Prosesnya mungkin panjang dan melelahkan. Namun berapapun modal dan kemampuan yang kita miliki saat ini, setidaknya menjadi semangat awal untuk mewujudkannya. Ayo rembug! []
Sumber: Blakasuta Ed. 10 (2007)