Selasa, 15 Oktober 2024

Tindak Kekerasan terhadap KH Maman Imanul Haq

Baca Juga

Fahmina Cirebon, 2 Juni 2008 | Hari Kelahiran Pancasila, yang pada hari Minggu 1 Juni 2008 diperingati segenap Bangsa Indonesia, telah dinodai sekelompok orang yang bernaung pada organisasi keagamaan Front Pembela Islam (FPI). Sedikitnya ada 18 orang –versi lain 26 orang- yang terluka karena diserang secara sengaja dan terencana oleh orang-orang yang menggunakan pakaian, atribut dan bendera FPI. Di antara mereka yang terluka dan dilarikan ke rumah sakit, adalah KH Maman Imanul Haq Faqieh, Pengasuh PP al-Mizan Majalengka, Ketua Lembaga Da’wah NU Jawa Barat, dan anggota Dewan Syuro PKB Pusat.

“Kami berjumlah sekitar 200 orang, yang berjalan memasuki arena Monas untuk sebuah aksi damai memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Kami ingin menyerukan perlunya penghargaan terhadap keberagamaan dan perbedaan komponen bangsa. Kami belum melakukan apa-apa, baru mulai berjalan. Tiba-tiba sekelompok orang yang membawa bendera dan atribut FPI dari depan dan dari belakang menyerang kami”, papar Ustadz Mas Zaenal Muhyiddin, Ketua Yayasan PP al-Mizan Majalengka-Cirebon, yang ikut hadir pada aksi damai tersebut dengan membawa serta satu bis orang-orang pesantren al-Mizan. Ustadz Mas Zaenal dan istrinya Hj. Dedeh Masyitoh termasuk yang selamat dari amukan FPI, yang menuduh kafir dan murtad terhadap massa yang beraksi damai.

Ketika KH Maman Imanul Haq ikut mengiring massa ini, tiba-tiba ada sekitar sepuluh orang yang secara sengaja menuju sang Kyai, yang akrab disapa Kang Maman, dengan membawa tongkat bambu dan bendera FPI. Mereka langsung memukul tulang rusuk dengan kepalan tangan yang sangat keras, menghantam kepala dengan bambu, memukul hidung dan dagu. Kang Maman terjungkal, mereka lalu menginjak-injak, melepaskan salah satu sepatu yang dipakai Kang Maman dan memukulkannya pada muka, hidung dan dagu. “Aku tidak berniat langsung lari, karena ingin menyelamatkan ibu-ibu. Minimal ketika mereka menyerang saya, ibu-ibu punya waktu untuk berlari”, kata Kang Maman. “Dalam keadaan lunglai, mereka masih sempat mengambil arloji saya. Mereka memang mencoreng nama Islam dan mengancam Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia”, tandas Kang Maman.

“Aku tidak ingin balas dendam kepada siapapun. Aku hanya ingin segenap elemen bangsa sadar, bahwa kekerasan tidak boleh dilakukan, oleh siapapun, kepada siapapun dan atas nama apapun. Apalagi Islam. Dan ini menuntut ketegasan negara”, wasiat Kang Maman di hadapan para pengunjungnya di RS Mitra Internasional Jatinegara Jakarta.

Kang Maman, yang saat ini istirahat di RS Mitra,  sejak masuk sekitar jam 14.30 sampai sekitar jam 23.00, telah dikunjungi berbagai kalangan, sahabat dan kenalan, terutama para santri dan simpatisannya. Termasuk dari KH Abdurrahman Wahid, Ali Masykur Musa, Ratna Sarumpaet, Zuhairi Misrawi dan banyak lagi yang lain. Pihak rumah sakit sempat mengingatkan untuk tidak menerima pengunjung, agar Kang Maman bisa istirahat. Tetapi sang Kyai malah berseloroh: “Walah inilah yang membuat Bung Karno cepat meninggal, beliau sakit dan dilarang ada pengunjung”, para pengunjung sempat tertawa mendengar seloroh kyai yang satu ini.

“Kasus yang saya alami ini tidak seberapa dengan rakyat yang terkena lumpur Lapindo dan mereka yang kelaparan karena kenaikan BBM”, sang Kyai mulai lagi berceramah.

“Darah yang tercucur dari hidung saya tidak seberapa dibanding darah rakyat yang sulit mengalir di tubuh mereka akibat kelaparan, sayatan di dagu saya tidak sebanding dengan sayatan hati rakyat yang tidak lagi bisa menatap masa depan akibat kenaikan harga barang-barang, nyeri di tulang rusuk saya tidak separah perasaan jutaan rakyat Indonesia yang tidak lagi memiliki harapan hidup. Sekedar untuk hidup”.

“Persoalan kehidupan berbangsa tentu lebih fundamental. Inilah yang ingin kami peringati dari Pancasila. Yaitu penghormatan dan penghargaan terhadap segenap komponen bangsa. Perbedaan dan keragamaan, tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan antar kelompok dan komponen bangsa. Cukup sudah, cukup sudah”.

“Para pelaku kekerasan itu, seringkali menuduh kita sebagai antek asing. Sebenarnya siapa sih yang antek asing? Kita ingin kedamaian, mereka ingin kehancuran. Mereka bernafsu pada kekerasan, kita justru membuka dialog antar komponen. Orang seperti mereka yang justru dimanfaatkan untuk menghancurkan kita sebagai bangsa. Sebentar lagi, Indonesia akan seperti negara-negara Timur Tengah dan Timur Jauh, yang saling menghancurkan dari dalam. Tanpa perlu ada kekuatan dari luar. Harusnya pemerintah sadar, bahwa kewajiban mereka melindungi seluruh warga dari segala bentuk kekerasan”, tegas Kang Maman.

Kita menunggu ketegasan pemerintah, dengan menindak pelaku kekerasan yang menimpa Kyai kita tercinta, Kang Maman yang sempat dijahit lima jahitan di dagunya yang sobek, memar di kepala dan tulang rusuk depan bagian kiri. Dan yang menjadi korban dari amukan FPI pada aksi damai ini, tidak hanya Kang Maman seorang. Ada 14 orang, termasuk Dr. Syafi’i Anwar, Ahmad Suaedy, Imdadun Rahmat, Guntur Romli. Yang terakhir ini termasuk yang paling parah, dan sempat tidak sadarkan diri dalam waktu cukup lama.

Mereka semua, adalah orang-orang yang berjuang menegakkan konstitusi untuk Indonesia yang ragam dan toleran antara satu dengan yang lain, dan untuk Islam yang damai serta rahmatan lil ‘alamin. Pola kekerasan seperti ini, sudah seringkali dilakukan oleh FPI, dan kelompok-kelompok sejenis, karena itu pantas untuk dibubarkan. Buya Syafi’i Ma’arif dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa negara Indonesia, tidak layak ditempati organisasi yang selalu menebar kekerasan.

Menurut Ade – salah seorang santri KH. Maman yang ikut menyaksikan tindakan brutal FPI- bahwa massa FPI menyerang secara sporadis dan brutal ke massa aliansi, tidak terkecuali perempuan. Kebetulan rombongan dari pesantren al-Mizan sebagian besar adalah perempuan. Penyerangan itu dilakukan tidak dengan tangan kosong, melainkan dengan berbagai senjata, seperti bambu, alat pemukul yang sudah dipersiapkan dan juga alat pengeras suara yang dibawa. Massa aliansi tidak melawan, tetapi FPI tetap menyerang membabi buta dan tak pandang bulu, korban pun berjatuhan.

Jumlah polisi sedikit sekali. Ketika terjadi pemukulan, aparat tidak berbuat banyak. Sepasukan polisi baru datang, setelah semua reda. Di sudut lain, saya lihat sekelompok aparat, seperti Sapol PP, mereka tenang-tenang saja, cuek saja. Tidak berbuat apa-apa. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Padahal massa aliansi terlihat berlarian menyelamatkan diri, termasuk juga ibu-ibu, tambah Ade. (Faqih-Ade)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya