Trio woman, adalah sebutan bagi tiga penyiar perempuan di sebuah radio komunitas (radio warga). Tiga penyiar perempuan ini telah berhasil menarik perhatian pendengar melalui acara-acara hiburan yang dibawakannya. Pada awalnya mereka kurang percaya diri, tapi lama-kelamaan mereka pun enjoy membawakan siaran-siarannya itu.
Dengan cara itu, mereka telah mengaharumkan nama baik radio yang awalnya kurang di minati oleh warga sekalipun itu merupakan radio warga. Ironisnya, meski mereka telah berhasil mengundang simpati warga dan turut berjasa mensosialisasikan radio kepada warga setempat, dalam rapat-rapat pengambilan keputusan penting mereka jarang dilibatkan. Bahkan hasil-hasil rapatnya pun kalau mereka tidak bertanya, terkadang tidak diberi tahu oleh kru yang lainnya.
Tia, bukan nama aslinya, adalah salah satu penyiar perempuan yang aktif menyiarkan acara keperempuanan di radio komunitas (radio warga). Sejak ia siaran, terkadang ia mendapatkan tanggapan kurang mengenakkan dari para pendengar khususnya laki-laki. Mereka terkadang suka menggoda dan merayu dengan kata-kata yang merendahkan dirinya. Terlebih dia membawakan tema seks education (pendidikan seks). Untungnya, dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang iseng itu. Karena baginya menyiarkan acara seks education adalah tugas mulia. Yaitu mendidik masyarakat untuk mengenal seks secara sehat, sesuai dengan tuntutan agama, kesehatan dan norma masyarakat pada umumnya. Ini adalah penting bagi perempuan dan juga laki-laki.
Memang, dunia jurnalistik dalam beberapa hal, masih terasa asing bagi perempuan. Karena faktanya masih sedikit perempuan yang mau bergelut dalam dunia ini. Disamping karena posisi tawar perempuan di masyarakat secara umum masih rendah, juga karena relasi jender yang tidak sepenuhnya mendukung pada proses pemberdayaan perempuan. Nampaknya perlu waktu yang lama untuk dapat mengubah pola pikir masyarakat yang masih patriarkhal (menomorsatukan laki-laki). Selain itu, tidak sedikit pula perempuan yang enggan melangkah ke ranah publik, karena sistem dan tatanan kehidupan sosial yang belum mendukung, sehingga banyak perempuan yang terjebak hanya pada ranah domestik (rumah tangga).
Di samping itu, ada beberapa dilema nyata, ketika seorang perempuan terjun didunia penyiaran (broadcast). Dilema Pertama, adanya kecenderungan perempuan hanya diapresiasi dari sisi menghiburnya, tak terkecuali dalam dunia penyiaran. Karena itu ia selalu dituntut untuk berpenampilan menarik, bersuara lembut, manja, bahkan kalau mungkin ‘menggoda’. Ini dengan alasan agar berkesan bagi para pendengar dan penggemarnya. Lalu tidak sedikit perempuan yang harus mengubah penampilan, cara bertutur dan perilakunya sesuai kehendak penggemarnya. Ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dalam perekrutan calon penyiar perempuan pun biasanya selalu ada point ‘berpenampilan menarik’. Ini sungguh selain melecehkan martabat perempuan juga melecehkan sisi profesionalisme kerja-kerja penyiar perempuan.
Anggapan miring diatas kemungkinan berasal dari adanya anggapan bahwa perempuan itu mahluk penggoda atau fitnah bagi laki-laki. Padahal dalam al-Qur’an kata fitnah itu tidak hanya ditunjukkan kepada perempuan saja, akan tetapi kepada keduanya (laki-laki dan perempuan). Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surah al-Furqan ayat 20. yang artinya “Dan kami jadikan sebagian kamu terhadap sebagian yang lainnya sebagai fitnah (cobaan), apakah kamu akan sabar? Dan Tuhanmu adalah maha melihat”.
Dilema kedua, biasanya media penyiaran (TV atau radio) tidak memperhatikan jam siaran yang diberikan untuk penyiar perempuan. Di beberapa perusahaan ada yang mempekerjakan perempuan sampai larut malam. Padahal ada resiko yang harus ditanggung seorang perempuan ketika pulang hingga larut atau pada jam-jam tertentu yang memaksa dia harus berada di rumah. Masyarakat kita belum bisa menerima kondisi perempuan beraktifitas sampai ralut malam. Semestinya harus ada pembedaan waktu agar itu tidak memberatkan perempuan. Bagaimanapun kebutuhan dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki berbeda.
Dilema ketiga, perempuan yang mempunyai aktifitas di luar rumah, otomatis memiliki beban ganda (double burden). Dia harus memenuhi kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga sekaligus juga pekerjaannya di luar rumah. Kerja-kerja rumah tangga di masyarakat kita kurang dihargai sebagai bentuk pekerjaan. Padahal beban dan tanggung jawabnya sama-sama berat. Parahnya, masyarakat kita masih beranggapan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kodrat dan tanggungjawab perempuan. Bila perempuan mampu bekerja di luar, maka dianggap sampingan saja. Sejatinya, kerja-kerja rumah tangga dan mengurus anak adalah tanggungjawab bersama, laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW memberikan tauladan yang sangat baik. Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya (Abdullah bin Abdurrahman bin Auf): “Saya bertanya kepada Aisyah mengenai apa yang dikerjakan Nabi SAW di dalam rumah. Aisyah ra menjawab: “Dia menjahit baju, mensol sandal dan mengerjakan pekerjaaan-pekerjaan yang biasa dilakukan seseorang di dalam rumah”. (Musnad Imam Ahmad, no. Hadits: 23756).
Dengan berbagai dilema penyiar perempuan di atas, keberadaan perempuan sebagai penyiar radio, mestinya didukung pula oleh sistem dan lingkungan yang ramah terhadapnya. Misalnya penetapan jam siaran juga harus disesuaikan dengan kondisi perempuan. Selain itu lingkungan di radio juga harus mendukung keberadaan perempuan agar merasa nyaman. Misalnya tidak diperbolehkan ada pelecehan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Ini yang sering tidak disadari oleh laki-laki, karena seringnya, bahasa guyon yang bernada porno dianggap biasa. Tetapi ketika itu dilontarkan di hadapan perempuan dan membuatnya tidak nyaman, maka itu sudah merupakan bentuk pelecehan. Termasuk juga perbuatan, yang disengaja atau tidak disengaja menyentuh bagian tubuh perempuan, sedangkan si perempuan itu tidak menghendaki, maka itu juga sudah merupakan bentuk pelecehan. Masalah-masalah seperti ini harus dipahami bersama, tak terkecuali bagi perempuan. Karena jangan sampai dirinya tidak sadar menjadi korban. Maka dari itu perlu diciptakan kondisi yang kondusif dan menghargai perempuan di mana pun ia bekerja, termasuk sebagai penyiar. Nabi besar Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada orang yang memuliakan perempuan kecuali orang yang benar-benar mulia. Dan tiadka akan menghinakan perempuan keculai orang-orang yang benar-benar hina”. “Yang terbaik diantara kamu adalah yang terbaik terhadap menurut perempuanmu. “Sesungguhnya perempuan mitra sejajar laki-laki” (HR. Ibnu ‘Asakir, Ibnu Majah, Ahmad dan Abu Daud).
Persoalan-persoalan tersebut bisa dijumpai dalam kasus ketika perempuan bekerja di luar rumah, tak terkecuali bagi penyiar. Profesi sebagai penyiar cukup strategis bagi seorang perempuan. Jika penyiar perempuan adalah orang yang mengetahui dan memiliki perspektif kesetaraan jender, maka ia bisa mensosialisasikan pengetahuan, perpektif dan sensitifitasnya melalui media radio. Jika ia belum memiliki pemahaman dan perspektif yang cukup mengenai kesetaraan jender, maka kehadirannya sudah merepresentasikan perempuan bisa beraktifitas di dunia jurnalistik. Paling tidak, ini membuktikan bahwa perempuan mampu berkontribusi dalam berbagai bidang. Wallahu a’lam bi al-shawab
Nuraflahatun adalah aktifis perempuan Cirebon.
Vera Shofaryanti adalah alumnus Ma’had Ali Situbondo. Keduanya aktif di Fahmina Institute