Ritual tradisi yang dilakukan masyarakat petani dan nelayan di pantai utara (pantura) selalu dimanfaatkan sebagai ajang pesta tahunan. Kendati menyedot dana besar, tetapi masyarakat tak ada yang merasa dirugikan.Uang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah bukan masalah. Masyarakat rela merogoh koceknya. Tak heran bila setiap ritual tradisi digelar, antusias masyarakat terlihat luar biasa.
Seperti yang baru-baru ini berlangsung di Pantura, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Tepatnya Sabtu (26/12), ketika tradisi nadran dan sedekah bumi digelar. Ya, inilah peristiwa ”bersejarah” ketika nadran yang merupakan sedekah laut dan sedekah bumi digabung menjadi satu. Oleh karena itu, berbaurlah nelayan yang menggelar nadran dengan petani yang menggelar sedekah bumi.
Acara itu dipusatkan di Kecamatan Gunung Jati, tepatnya di Desa Astana. Melalui tradisi berusia ratusan tahun itu, petani dan nelayan Pantura Cirebon menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Petani bersyukur karena hasil panen sepanjang 2009 melimpah, begitu pula nelayan atas limpahan rezeki hasil laut.
Sehari sebelum sedekah bumi dan nadran, pada Jumat (25/12), masyarakat menggelar ider-ideran (karnaval) yang diikuti ratusan kelompok desa. Karnaval mengambil start di lapangan parkir kompleks Astana Gunung Jati menuju perbatasan Kabupaten dan Kota Cirebon di daerah Krucuk. Karnaval diisi barisan manusia sepanjang tiga kilometer lebih. Peserta karnaval membawa berbagai macam replika patung raksasa terbuat dari kertas dalam berbagai bentuk.
Lautan manusia tumpah di sepanjang jalan sejauh lima kilometer lebih dari Astana Gunung Jati ke Krucuk. Karnaval mengambil rute bolak-balik. Dari Astana Gunung Jati ke Krucuk, lalu memutar melewati depan Kantor Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BKPP) Cirebon, untuk kembali lagi ke kompleks Astana Gunung Jati.
Saking padatnya, sepanjang Jalan Raya Cirebon-Karangampel terpaksa ditutup total sehari itu, yang dimulai pukul 14.00 WIB hingga magrib. Jalanan diperuntukkan khusus buat karnaval panjang tersebut.
Meski konvoi baru dimulai pukul 14.00 WIB, seusai salat Jumat, puluhan ribu penonton sudah memadati sepanjang jalan yang dilalui karnaval. Tak hanya dari Cirebon, mereka datang dari berbagai daerah seperti Indramayu, Kuningan, Majalengka, bahkan ada juga yang dari Jakarta, Bandung, sampai Brebes dan Tegal (Jawa Tengah).
Dengan penuh antusias, penonton menyaksikan karnaval panjang yang melibatkan ribuan peserta. Tentu saja, ritual tradisi yang sangat masif ini membuat kepolisian ektraketat mengamankan jalannya acara maupun pengaturan lalu lintas yang terpaksa dialihkan ke arah Palimanan.
”Selama karnaval, arus lalu lintas Cirebon-Karangampel dialihkan melalui Palimanan,” tutur Kapolres Cirebon, Ajun Komisaris Besar Sufyan Syarif.
**
Ada hal menarik dalam karnaval itu, khususnya pada peserta karnaval. Ada peserta khusus yang terdiri atas kuwu (kepala desa) dan tokoh masyarakat yang dikoordinasi Camat Gunung Jati.
Dalam karnaval, rombongan menampilkan replika kereta kencana Keraton Kanoman, Paksi Naga Liman (kereta berbentuk perpaduan antara burung, naga, dan gajah). Camat dan para kuwu yang mengenakan pakaian khas tradisional Cirebon menaiki replika kereta kencana itu. Mereka seolah memerankan Sultan Kanoman dan para keluarga kesultanan.
Tentu saja, selain Paksi Naga Liman, replika dalam berbagai bentuk juga dipertontonkan. Di antaranya replika kadal raksasa semacam dinosaurus, burung garuda, kakak tua, ikan, naga emas raksasa, mobil, dan banyak ragam lainnya.
Pada tahun 2009 lalu, mulai terlihat ada kemajuan pada penampilan replika patung yang terbuat dari kertas berukuran raksasa itu. Ada pula tokoh-tokoh imajiner seperti Spiderman, Sponge Bob, dan ”Si Raksasa Hijau” Hulk .
Replika-replika raksasa itu menjadi daya tarik karnaval besar itu. Oleh masyarakat, karnaval dijadikan ajang unjuk kreativitas di antara anak-anak muda nelayan dan petani.
”Kami bersaing satu sama lain. Masing-masing kelompok berusaha sebaik mungkin menampilkan patung kertas raksasa,” ujar Bambang (23), peserta karnaval dari Desa Astana.
Ketua panitia nadran dan sedekah bumi Gunung jati, Sutarman Efendi menuturkan, peserta karnaval kali ini jumlahnya cukup banyak, mencapai 275 kelompok. Peserta berasal dari enam kecamatan, seperti Gunung Jati, Kapetakan, Gegesik, Mundu, Tengah Tani, dan Suranenggala.
”Perayaan ini selalu ramai karena sedekah bumi dan nadran disatukan. Sesuai dengan tradisi, acara digelar tiap Jumat. Setiap tahun jumlah peserta selalu bertambah,” kata Sutarman.
**
Kemeriahan nadran dan sedekah bumi berlanjut dengan hiburan rakyat semalam suntuk berupa pagelaran masres (sandiwara), wayang kulit, wayang golek, bahkan organ tunggal. Keesokan harinya, Sabtu (26/12) pagi pukul 8.00 WIB, nadran yang dipusatkan di Kali Condong, digelar.
Bila karnaval berlangsung di jalanan, untuk nadran bergeser ke Laut Jawa. Dari Kali Condong, puluhan perahu beriringan berlayar ke laut untuk melarungkan berbagai macam sesaji. Sebelumnya, dipimpin seorang tokoh setempat, nelayan berdoa bersama di Muara Jati. Sementara para petani, di tempat berbeda menggelar ritus sedekah bumi di ruang Paseban Luar, kompleks Makam Sunan Gunung Jati.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Cirebon, Drs. H.R. Charim Soeparto, M.M menuturkan, ritual tradisi ini menjadi agenda rutin tahunan. Pemkab menata agar ritual tradisional itu disatukan di tiap kawasan. Waktu sedekah bumi dan nadran juga disatukan.
”Dengan begitu perayaan selalu meriah. Selama ini antardesa beda-beda. Sekarang kami satukan seperti nadran dan sedekah bumi kemarin. Hal sama dilakukan di kawasan lain. Ini akan menambah kemeriahan. Kebetulan desa dan kecamatan di Cirebon mengenal ritual-ritual tradisi tahunan,” tutur Charim.
Melalui penyatuan itu, kegiatan tradisi itu bisa sebagai agenda wisata yang bisa memancing pengunjung dari daerah lain. Selebihnya, ”pesta rakyat” itu makin meriah dan berkesan bagi masyarakat pemangku adat itu. (Akim Garis/”PR”)***
Sumber: Pikiran Rakyat