Selasa, 15 Oktober 2024

Bedah Memoar, Berbagi ’Rasa Ngeri’ Tentang Tragedi

Baca Juga

”Saya amat terkesan bahwa memoar ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh Pak Sumarto pada usia 80 tahun. Artinya, beliau tetap membuat otaknya bekerja, dan itu yang membuat dia ”survive” menghadai berbagai macam perubahan yang sungguh luar biasa efeknya pada beliau keluarga.

…..apa yang dilakukan Pak Sumarto tidak lain adalah kerja seorang profesional yang tidak mau dibawa-bawa pada berbagai isu politik yang mau tak mau selalu ada. Mungkin di sini pula masalah timbul, karena Pak Sumarto telah gigih mengutamakan prefesionalismenya, sehingga dianggap kurang berkompromi pada tuntutan politik.” (Syahrir).

Kutipan tersebut diambil dari Pengantar Dr Syahrir dalam buku yang cukup langka, yang berjudul ”Bertahan Dalam Ketidakpastian”. Buku yang ditulis oleh salah seorang Feminis Islam Indonesia, Lies Marcoes ini, spontan mengajak pembacanya mengenang peristiwa yang hingga kini masih misterius. Karena pada kenyataannya, di masa tersebut bukan hanya orang-perorang yang dibuat gemetar ketika mendengar cerita G30S/PKI. Tapi juga aktivis dari berbagai organisasi masyarakat (Ormas) dengan ideologi yang beragam pun, dibuat bungkam.

Dalam acara bedah buku yang digelar Fahmina Institute di Gedung Pertemuan Fahmina Institute, pada Jumat (7/11) lalu, menghadirkan Lies Marcoes dan KH Syarif Usman Yahya. Audien yang terdiri dari para akademisi, insan pondok psantren, Pendeta, dan LSM, mencoba menguak secara bersama-sama tragedi kemanusiaan di balik peristiwa G30S/PKI dengan beragam memoar.

Sehingga menurut Syarif Usman, yang akrab disapa Abah Ayip, persoalan tersebut bukan semata-mata persoalan Sumarto. Ini persoalan yang terjadi di mana-mana pada Orde Baru (Orba). ”Jadi kelihatan dalam sistem politik Indonesia, mengacu pada tatanan zaman majapahit. Begitu juga zaman-zaman warisannya, zaman Sukarno jargon yang disampaikan anti kolonialis dan neokolonialism. Begitu juga zaman Suharto,” papar Abah Ayip.

Bahkan tidak sampai di situ, lanjut dia. Pada tahun 1971 orang-orang yang tidak mau masuk Golkar akan di PKI-kan. Yang akan kita bicarakan dalam buku ini sesungguhnya, untuk mengkoreksi agar menjadi pelajaran ke depan. ”Bahwa dengan adanya cara yang seperti itu, bangsa ini tidak akan maju. Sibuk dengan balas dendam dan setiap hari akan terjadi seperti itu,” tandasnya.

Sepertihalnya apresiasi Dr Syahrir dalam pengantar buku. Para audien dalam bedah buku tersebut, juga tak luput mengungkapkan sekian pengalaman pribadi mereka terkait tragedi tersebut. Pendeta Johannes misalnya, dia lebih banyak menceritakan pengalaman pribadinya. Dia seakan ingin membuka lagi keran memori para audien yang datang saat itu.
”Saya hanya ingin bercerita, bahwa saya mengalami langsung G30S/PKI. Saya lahir di Klaten yang konon katanya basis terbesar se-dunia. Sehingga pada waktu itu pas ada pertemuan di alun-alun maka PKI paling banyak dari anak kecil sampai orang tua datang. Sampai sekarang orang paling loyal adalah PKI…” demikian Johannes membuka termin pertama di depan seluruh audien.  

”Saya pernah menulis di media, tentang gerakan yang semula bernama gerakan satu Oktober (Gestok). Namun sampai sekarang masih misterius. Jadi, apakah benar ini PKI? Apakah seseorang menggulingkan seseorang? Sampai sekarang masih misterius. Seorang yang terlibat dalam PKI tidak ada harganya lagi. Malah lebih mulia binatang. Saya sudah remaja waktu itu di SPG sekolah pendidikan guru. Saya melihat guru saya ditangkap dimasukan penjara. Saat itu, begitu dicap komunis maka langsung ditangkap. Didor saat itu juga sah. Cap PKI sangat menderita. Setiap hari keluarga yang dirumah harus mengirim makanan. Karena di dalam penjara tidak diberi makan. Apakah makanan dikirim sampai? itu tidak ada yang tahu,” ungkap Johannes.

Membaca Dari Dua Sisi

Cerita senada juga sudah diawali sang penulis, Lies Marcoes. Bagi Mba Lies, begitu sapaan akrabnya, buku itu adalah sebuah buku dokumentasi dari seseorang yang dituduhkan. Dia mencoba membaca dari kedua belah pihak. Karena menurutnya, yang membaca bukan hanya Bapak (yang dimaksud adalah C.Sumarto), tapi juga Ibu (Anastasia Retnodjati, isteri C.Sumarto). Sehingga inilah yang membedakan buku memoar yang dia tulis dengan buku-buku memoar yang pernah ada.

Secara metodologis, gaya penulisan memoar yang ditulisnya menggunakan pendekatan subyek bertutur. Sebagai antropolog sekaligus feminis, dia sengaja menghadirkan Anastasia atau yang disebut ”Ibu”, sebagai sumber informasinya. Melalui buku ini, secara tidak langsung Mba Lies mengaku turut memperjuangkan kaum perempuan di Indonesia.

 

”Peristiwa itu hilang dalam ingatan saya, dan baru muncul kembali dalam ingatan. Seperti adik-adik yang belajar partai komunis dalam orde baru. Saya belajar kembali mengenai gerakan perempuan. Dari situ saya mulai belajar mengenai stigmatisasi,” tutur Mba Lies.

Kalau kita punya badan, lanjut dia, kita dicap pakai besi panas dan itu tidak hilang. Artinya, dari sini saya ingin menjelaskan, aspek humanisme dari seseorang yang dikorbankan. ”Sumarto adalah orang terakhir yang ditangkap oleh orde baru dituduhkan sebagai PKI. Padahal sebelumnya, tahun 65 waktu memimpin pangkalan udara di Malang, beliau termasuk orang yang mendapatkan penghargaan dari Suharto.”

Di luar kebutuhan spiritualnya, Mba Lies mengaku memoar itu merupakan cara dia untuk melakukan keseimbangan mental. Dalam kapasitasnya selaku senior program officer (PO) di lembaga bantuan internasional The Asia Foundation (TAF). Karena beberapa tahun belakangan ini dia intens terlibat dalam pendampingan LSM lokal di Aceh untuk membantu korban konflik dan korban tsunami di Tanah Rencong. ( )  

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya