Selasa, 22 Oktober 2024

Potret Kemiskinan Indramayu: Suami Penunggu Uang Kiriman Istri

Baca Juga

Wajah Suta bin Darim (42) terlihat suram. Bicaranya pelan saat menerima tamu yang tiba-tiba berkunjung. Dia kebanyakan menunduk menatapi tanah liat keras menghitam yang menjadi lantai rumahnya. Beberapa kali dia menggosok-gosok balai bambu yang dia duduki. Balai bambu itu perabot satu-satunya di ruang tamu berukuran enam meter persegi itu. Sesekali Suta membereskan sarung yang dipakainya dan dengan kaku menatap tamunya.

Raut wajah buruh nelayan Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat itu terus menunjukkan kesusahan. Sore itu, ayah tiga anak ini cukup terkejut dikunjungi dua kawannya, aktivis buruh migran Indramayu yang selama ini mendampingi dia mencari istrinya yang sudah 12 tahun hilang. Namun, Suta belum mendapat kabar gembira dari dua kawannya itu.

Hidup Suta tak menentu. Perasaan rindu ke istrinya, Darsi (37) sudah tak terbendung. Istrinya meninggalkan dia dan tiga anaknya mengadu nasib ke Timur Tengah men-jadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Tak jelas negara mana yang dituju dan tak jelas kerja sebagai apa istrinya di sana. Sepeninggal Darsi, dia sendirian menghidupi dan membesarkan tiga anaknya yang masih kecil, Karniti (8), Daniri (5), dan Tayo (2). Penghasilannya sebagai buruh nelayan tak menentu. Walaupun masih ada yang bisa dia bawa untuk makan dan uang sekolah anak-anaknya.

Beruntung dia dan anak-anaknya masih bisa menumpang tinggal di rumah orangtua Suta yang juga nelayan. Sementara istrinya yang diharapkan bisa ikut menopang kebutuhan keluarga, tak ada kabar. Kabar terakhir, 12 tahun lalu, dia hanya menerima sebuah surat dari Siti Komil, rekan istrinya sesama TKI, bahwa Darsi sudah bekerja di Riyadh. Setelah itu, tak ada lagi kabar.  Jangankan kiriman uang bulanan, surat pun tidak ada. Suta juga kehilangan kontak dengan Siti Komil.

Suta bin Darim memperlihatkan foto anaknya yang menjadi tenaga kerja di Arab Saudi. Suta, yang tinggal di Kampung Dadap, Indramayu, terpaksa mengasuh tiga anaknya seorang diri, karena istrinya juga bekerja di Arab Saudi, dan sudah 11 tahun tidak diketahui kabarnya. Suta terpaksa mengirim istri dan anaknya menjadi buruh migran karena terimpit kemiskinan.

Belakangan, hidupnya makin susah. Tidak ada lagi dana untuk biaya sekolah anak-anaknya. Hasil dari melaut pun tidak bisa lagi membuat dapur berasap. Ikan di perairan Indramayu menghilang. Air laut tercemar. Nelayan menduga kuat, ikan kabur dari bibir pantai akibat tak tahan dengan limbah dari pengolahan BBM Pertamina di Balongan, tak jauh dari Desa Dadap. Sementara nelayan tradisional seperti Suta, tak mampu mengejar ikan hingga ke tengah laut dengan perahu kecilnya. “Sekitar lima tahun ini hasil tangkapan berkurang drastis,” ujar Suta yang ditemui SP, akhir pekan lalu.

Dia tak sanggup lagi mengurus anak-anaknya. Makanya ketika ada tawaran beberapa sponsor (sebutan calo pencari TKI, Red), tanpa pikir panjang Suta merelakan putri sulungnya, Karniti yang sudah berusia 16 tahun berangkat ke Yordania. Karniti mengikuti jejak ibunya menjadi TKI. Empat tahun bekerja di Yordania, Karniti hanya digaji dua tahun. Suta bersyukur, putri sulungnya itu mengirim gajinya ke Tanah Air. Dia bisa membangun rumah sederhana, meskipun tak berplester dan tanpa ubin. Dua tahun terakhir, Karniti tertimpa masalah di Yordania. Dia dipulangkan ke Indramayu tanpa membawa uang. Gajinya dua tahun terakhir tak dibayar. “Meskipun tak bawa uang, saya bersyukur dia pulang selamat. Saya tidak mau kehilangan lagi,” ujar Suta.

Sepulangnya Karniti, kehidupan di Desa Dadap tetap tak membaik. Tak sampai setengah tahun, Karniti terpaksa kembali menerima tawaran sponsor untuk diberangkatkan ke Timur Tengah. Sudah dua bulan ini Karniti berada di Kuwait.

Sementara Suta sering tidak melaut. Apalagi setelah kenaikan BBM, biaya operasional perahunya membengkak. Setiap melaut, dia dan delapan rekannya harus menyiapkan uang minimal Rp 200.000. Uang itu untuk membeli solar dan perbekalan selama di laut.

Pernah beberapa kali mereka paksakan melaut, namun hasilnya memilukan. Suta dan kawan-kawannya hanya bisa membawa pulang uang Rp 5.000 per orang. Jelas belum balik modal. Selama ini, saat belum ada kiriman uang dari putrinya, dia menumpuk utang di warung.

Kini Suta menunggu tawaran berikutnya untuk putrinya kedua, Daniri yang baru lulus SMP. Dia rela ditinggal bersama putra bungsunya, Tayo di Desa Dadap. Beberapa tetangga menyebutkan, Daniri sudah terjerat seorang sponsor. Dalam waktu dekat gadis ayu itu akan diberangkatkan ke Timur Tengah, mengikuti jejak kakak dan ibunya. Paspor dan segala dokumen sudah disiapkan. Konon, dokumen-dokumen itu menggunakan identitas palsu. Suta enggan berkomentar soal keberangkatan putri keduanya itu. Sikap yang sama juga ditampilkan Daniri.

Rayuan Calo

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Indramayu Solichin Bistox, yang mendampingi Suta menelusuri jejak Darsi, melarang keras keberangkatan Daniri. “Dia belum cukup umur, jangan terbuai bujuk rayu sponsor. Mereka menghasut, ini berbahaya,” ujar Bistox. Bistox mengisahkan, perlawanan aktivis buruh migran di Indramayu memang berat. Mereka harus berhadapan dengan ratusan sponsor TKI yang beroperasi di Indramayu hingga ke pelosok desa. Kebanyakan sponsor adalah warga Indramayu sendiri. Berdasarkan penelusurannya, setiap sponsor bisa mendapat uang sekitar Rp 4 juta per kepala jika berhasil menggaet TKI. Dana itu diperoleh dari potongan gaji yang didapat TKI dari majikannya per bulan atau dana langsung dari pihak penampung di luar negeri.

Bistox yang juga eks TKI di Malaysia dan mantan korban sponsor ini mengungkapkan, banyak perempuan Indramayu yang digaet sponsor bukan dijadikan TKI, tetapi diperdagangkan. Tak sedikit dari mereka malah dijerumuskan menjadi pekerja seks komersial. “Kasus trafficking sudah banyak di Indramayu. Ini kesalahan pemerintah, yang sama sekali tutup mata,” ujar Bistox.

Para sponsor itu memanfaatkan kesulitan ekonomi warga dengan iming-iming pekerjaan di luar negeri yang lebih baik. “Bagaimana mereka bisa menyebutkan kondisi negara yang dituju lebih baik, padahal mereka sendiri belum pernah ke sana. Nyatanya, gaji dipotong berbulan-bulan, disiksa, dan hilang,” ujarnya.

Dia juga menyesalkan banyak warga tidak peduli dengan keluarga yang merelakan anak di bawah umur berangkat ke luar negeri. Padahal, sesuai aturan, usia minimal untuk pekerja sebagai pembantu rumah tangga 18 tahun. Persoalannya, banyak perempuan di bawah umur bisa berangkat karena mudahnya pemalsuan dokumen seperti KTP dan akta lahir. Pendidikan yang rendah dan pengetahuan yang minim membuat banyak warga Indramayu tertipu.

Berdasarkan pantauan SP baru-baru ini, nasib yang dialami Suta banyak dialami pria-pria dewasa di Desa Dadap yang mayoritas buruh nelayan. Nyaris 75 persen suami di desa itu ditinggal istri mereka bekerja di luar negeri. Kondisi Desa Dadap sepi, hanya diisi pria-pria yang kebanyakan duduk-duduk santai di balai rumahnya menghabiskan hari. Selain pria-pria dewasa, penghuni desa itu kebanyakan perempuan tua dan anak-anak.

M Hidayat, tokoh pemuda setempat menyebutkan, kemiskinan di Desa Dadap lah yang membuat banyak perempuan pergi dan berpisah dengan keluarga. “Anak gadis juga pergi. Kebanyakan habis lulus SMP, perempuan-perempuan di sini pergi,” katanya. Saat ini tercatat sekitar 4.200 perempuan hengkang dari Desa Dadap.

“Aktivitas nelayan anjlok drastis. Tempat pelelangan ikan sudah hampir empat tahun ini tutup. Sebab ikan di perairan Dadap ini menghilang,” ujar Hidayat.

Daswin (47) buruh nelayan yang ditinggal istrinya bekerja di Abu Dhabi mengaku hanya bisa hidup mengandalkan uang kiriman istrinya. Baik untuk uang makan sehari-hari, juga biaya sekolah anak semata wayangnya. Menurutnya, di Abu Dhabi, istrinya mendapat penghasilan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. “Pendapatan dari nelayan tidak nutup mas. Sekarang ini, paling bagus saya berangkat melaut bawa pulang Rp 40.000,” ujarnya. Sementara harga solar dan minyak tanah naik dua kali lipat. Sedangkan untuk beralih profesi, bekerja menjadi buruh bangunan, dia tidak memiliki kemampuan. Akhirnya pasrah menunggu uang kiriman dari istri. “Warga desa ini 80 persen adalah nelayan. Kalau tidak ada orang yang kerja di luar negeri, tidak bakal tertolong mas,” katanya.

Menurut Daswin, dirinya yang memiliki anak satu saja kesulitan membiayai hidup, apalagi nelayan yang memiliki 3-4 anak. Seringkali, jika kiriman telat datang, Daswin harus utang di warung untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Dia bersyukur mendapat rumah semi permanen warisan orangtuanya. Dengan penghasilan melaut dan kiriman istri, tidak mungkin dia bisa memiliki rumah.

Direktur Eksekutir Lembaga strategis Kebijakan Publik Indramayu (Laskip), A Tirto menilai, Pertamina seharusnya berpartisipasi menanggulangi beban derita warga Desa Dadap. “Potret kemiskinan di sini akibat beroperasinya pengolahan BBM Pertamina di Balongan. Ini karena pencemaran dari Balongan. Jadi harus ada kepedulian dari Pertamina,” ujarnya.

Dia mengusulkan agar Pertamina menerjunkan tim ahlinya dan mengobservasi kondisi warga Desa Dadap. Potensi apa yang bisa dikerjakan di sana. “Sebaiknya jangan menggelontorkan duit, karena percuma. Perlu membangun pondasi, ada target usaha pengembangan apa yang bisa dikerjakan. Kalau itu sudah tersusun, modal akan mengikuti. Jadi Pertamina bisa memulai dengan melakukan studi kelayakan bisnis,” tuturnya. Dengan adanya sentuhan kepedulian itu, Desa Dadap yang merupakan salah satu desa miskin dari total 310 desa di Indramayu bisa bangkit dari keterpurukan.

 


Sumber: Suara Pembaruan Online, 13 September 2008

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Buku Perempuan Penggerak Perdamaian; Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning

  Judul : Perempuan Penggerak Perdamaian; Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning Penulis : Fachrul Misbahudin, Fitri Nurajizah, Fuji Ainnayah, Gun Gun Gunawan,...

Populer

Artikel Lainnya