Sabtu, 27 Juli 2024

Sambung Rasa RRI Cirebon Bahas Soal Trafiking

Baca Juga

“Bagaimana pemerintah menanggapi banyaknya kasus-kasus trafiking yang ada“, tanya salah satu peserta  acara Sambung Rasa sore itu (2/11). Pertanyaan tidak langsung diserahkan kepada para narasumber untuk dijawab, tetapi semua peserta yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menaggapi pertanyaan tersebut, sebelum akhirnya Mas Taufik, Sang Moderator, mempersilahkan Ali Mursid, sebagai narasumber dari Fahmina, untuk menjelaskan.

Acara sambung rasa ini terselengara berkat kerjasama antara Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon dengan Fahmina Institute. Selain narasumber dari fahmina, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Cirebon, yaitu Akbarudin Sutjipto, sekretaris KPAID.

Kang Akbar, sapaan akrab Akbaruddin Sucipto, menyayangkan sikap pemerintah yang seolah hanya mengeruk harta dari para buruh migran Indonesia (BMI). Disisi lain mereka mengakui BMI sebagai pahlawan devisa-yang begitu banyak memberikan pendapatan bagi Negara melalui remittance-tapi tidak ada perhatian yang serius untuk menciptkan save migration bagi mereka, selama ini yang terjadi di Indonesia adalah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, sungguh ironis. Pemerintah sudah membuat undang-undang Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), tinggal bagaimana sikap para penegak hukum dan semua pihak yang terkait berkomitmen untuk melaksanakannya.

Beberapa peserta menganggap bahwa banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai Buruh Migran bukan atas paksaan dari siapapun, tapi atas keinginannya sendiri. Mengenai hal ini, Kang Ali-begitu panggilan akrab untuk Ali Mursyid, menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaiaman hak bekerja itu terjamin kemanan dan kenyamanannya.

Program pencegahan dan penanganan trafiking bukanlah program yang melarang perempuan menjadi TKW. Ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan haram jadi TKW. Fatwa haram biasanya disandarkan pada hadits yang artinya; “Perempuan dilarang pergi sendirian lebih dari 3 hari kecuali dengan mahram-nya”.

Dosen Institute Study Islam Fahmina(ISIF) ini, juga menjelaskan bahwa saat ini mahram bisa diartikan sebagai perlindungan hukum. Untuk itulah Fahmina bersama jaringan mendorong untuk pemerintah daerah membuat perda trafiking sejak tahun 2004, walaupun di pemerintah kabupaten Cirebon belum juga digarap serius, kalau di Indramayu sudah dibuat perda trafiking, tinggal menunggu komitmen dari semua elemen masyarakat untuk mewujudkannya.

Tak hanya itu, para peserta juga menanyakan tentang kemana harus melaporkan kasus trafiking, bagaimana menyikapi kasus trafiking dengan modus pengantin pesanan, juga kondisi masyarakat yang masih awam tentang trafiking walaupun berbagai bentuk sosialisasi sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Fahmina.

Acara yang bertempat di kantor Fahmina Institute ini juga sedianya mengundang Bapak Kapolresta Cirebon, tapi beliau tidak hadir tanpa memberikan konfirmasi yang jelas. Hal itu, sangat disayangkan para peserta karena pihak Polresta sangat mereka nantikan untuk menjelaskan sejauh mana kepolisian, terutama kota Cirebon menangani kasus-kasus trafiking yang ada.

Rupanya, perbincangan seputar trafiking memang sangat menarik, terbukti ketika diskusi telah ditutup oleh Sang Moderator, yang juga merupakan salah satu penyiar RRI, diskusi masih tetap hangat, “bicara trafiking, satu jam terasa sangat singkat” ungkap Victor salah seorang peserta. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya