Merebaknya ujaran kebencian di ruang publik sebagai salah satu faktor yang memainkan peranan atas terjadinya berbagai peristiwa itu.
Ujaran kebencian semakin marak di ruang publik, hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan serius. Perhatian atas isu ini sangat penting di tengah banyak serangan dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas atau individu. Sejumlah laporan menyebutkan, merebaknya ujaran kebencian di ruang publik sebagai salah satu faktor yang memainkan peranan atas terjadinya berbagai peristiwa itu. Ujaran ini dipandang tidak hanya mendorong tumbuh suburnya benih intoleransi, akan tetapi juga menyulut orang atau sekelompok orang untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap orang atau kelompok lain.
Dimensipun beragama, mulai dari agama, sosial, politik, ekonomi, hingga politik. Dalam kasus agama, dapat muncul berupa seruan-seruan anti agama, anti aliran atau madzhab, atau anti pembangunan rumah ibadah agama dan kepercayaan tertentu dengan cara kekerasan.
Sedangkan dalam kasus sosial, dapat mewujud dalam ajakan untuk melakukan diskriminasi ataupun persekusi terhadap kelompok etnis atau ras tertentu dengan cara kekerasan. Termasuk kasus politik, biasanya terjadi pada momen Pilkada dan Pilres tak jarang para tim sukses maupun simpatisan melkukan ujaran kebencian untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Menurut hasil survei Wahid Foundations (WI) dan Lingkar Survei Indonesia (LSI), pada bulan Oktober 2017. Survei yang melibatkan sebanyak 1500 responden dari 34 provinsi di Indonesia, mengungkap betapa kebencian menjadi wajah milenial kita saat ini. Survei membuktikan ada sepuluh kelompok yang menjadi sasaran kebencian di negeri ini. Kebencian itu ditunjukkan kepada antara lain; Komunis (21.9 persen), LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Trangender) (17.8 persen), Yahudi (7,1 persen), Kristen (3,0 persen), Ateis (2.5 persen), Syiah (1,2 persen), Cina (0,7 persen), Wahabi (0,6 persen), Katolik (0,5 persen), Budha (0,5 persen).
(Ba juga Artikel terkait: Politisasi Kebencian)
Sebagian besar responden juga mengaku akan melakukan tindakan intoleran terhadap sasaran kebencian di atas sebanyak 57,1 persen. Sikap dan tindakan itu bertujuan menghambat atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan yang dijamin oleh konstitusi atas nama agama terkait dengan seseorang atau kelompok yang tidak disukai. Mereka tidak setuju jika menjadi tetangga, mengajar di skeolah negeri dan menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Hal itu menunjukkan lampu kuning bagi disintergrasi di dalam masyarkat kita.
Ujaran Kebencian Melanggar Asas Kebebasan Berekspresi
Reformasi 1998 telah mendorong adanya kebebasan dan keterbukaan politik di Indonesia. Capaian ini bisa dilihat dari dari semakin terbukanya ruang kebebasan berekspresi, pers, maupun kebebasan berorganisasi. Problem muncul karena tidak semua orang yang menggunakan ruang kebebasan ini memiliki kelengkapan sikap kewargaan untuk saling menghormati dan menghargai kebhinekaan di masyarakat. Sebaliknya, ruang kebebasan tersebut justru digunakan untuk tujuan ‘menyerang’ hak dan kebebasan orang lain.
Ujaran kebencian menjadi salah satu instrumen yang efektif dari para politisi, pemuka agama, atau tokoh masyarakat lainnya untuk memperkuat posisi dan daya tawar dalam konteks hubungan kekuasaan (power relation), baik terhadap otoritas negara ataupun antar sesama kelompok di masyarakat. Ujaran kebencian semua bentuk ekspresi (tulisan, ucapan, bahasa tubuh, pidato) yang menganjurkan kebencian atas identitas tertentu seperti rasa, agama, kebangsaan yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. (Pedoman Penanganan ujaran Kebencian di Indonesia, Imparsial: 2017).
Adapun ruang lingkup ujaran kebencian meliputi setiap bentuk ekspresi kebencian, penyebaran, ajakan atau promosi kebencian berdasar ras, jenis kelamin, etnis, kebangsaan, agama, oreientasi seksual. Hasutan kekerasan, diskriminasi terhadap orang atau kelompok karena karakteristiknya. Ujaran kebencian ini bisa melalui medium apa saja dantarnaya melalui tulisan, audio vidual, melalui internet, media cetak, radio dan televisi.
Oleh karenanya bentuk-bentuk ujaran kebencian beretentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Karena bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi. Begitu juga dalam kebebasan berekpresi. Kebebasan berekpresi dijamin oleh UUD 45 namun tidak serta merta terlepas dari batasan.
Kebebasan berekpresi meliputi tiga jenis: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan menerima informasi, dan kebebasan untuk memberi atau menyampaikan informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat.
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabrusi, mengatakan kebebasan berekpresai berbeda dengan kebebasan berpendapat. Kebebasan berekpresi tuntuk pada batasan-batasan tertentu, sedangkan kebebasan berpendapat tidak bisa dibatasi. Pembatan kebebasan berekpresi dapat dilakukan atas tujuan dasar melindungi dan memastikan kehormatan hak asasi orang lain, melindungi keamanan nasional, atau ketertiban umum.
Dalam Pasal 19 (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) menjelaskan: Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
“Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini, menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: Menghormati hak atau nama baik orang lain; Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, kesehatan, moral umum,” katanya dalam Workshop Menangkal Uajarna Kebencian di Cirebon, Senin (13/2) lalu.
Ujaran kebencian masuk kategori perbuatan tercela (akhlaq madzmumah). Karena itu, ujaran kebencian dinilai haram untuk kepentingan apa pun, termasuk tujuan kebaikan, seperti dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar
Menolak Kemungkaran dengan Kebajikan
Dari suveri tren toleransi keberamaan yang dilakukan WI tersebut, ada lima medium utama yang menjadi sarana paling populer dan banyak di akses masyarakat anatar alain Masjid, Kiai/Ustaz, Ceramah TV, Sekolah dan Pesantren. Hal ini perlu disadari medan dakwah ini harus diisi dengan seruan dakwah yang rahmatan lil alamin dan inklusif bahwa ujaran kebencian dalam dakwah tidak dibenarkan..
Dakwah yang mengandung ujaran kebencian tegas ditolak bahkan diharamkan dalam hasil Forum Sidang Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudluiyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2017 lalu. Di dalam sidang itu diputuskan bahwa ujaran kebencian masuk kategori perbuatan tercela (akhlaq madzmumah). Karena itu, ujaran kebencian dinilai haram untuk kepentingan apa pun, termasuk tujuan kebaikan, seperti dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar.Karena pada dasarnya penyampaian dakwah harus dilakukan kebaikan termasuk dalam menangkal kemungakaran (nahi munkar) juga dengan cara yang baik. (nu.or.id)
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtusul Masail PBNU Mahbub Ma’afi mengatakan, ujaran kebencian diharamkan karena menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama (hifdhl-`irdh) dan membawa dampak yang serius bagi tata kehidupan sosial masyarakat, seperti permusuhan, pertikaian, dan kebencian antara satu orang dengan orang lain serta antara golongan dengan golongan yang lain.
Menurut KH Wawan Arwani, menyikapi ujaran kebencian atas nama agama lebih didasari oleh keimanan dan pemahaman penganutnya. Teks keaagaman ditujukan untuk menyerukan kebaikan dan kerukunan sehingga kebencian terhadap siapapun dilarang oleh agama.
“Saya meyakini bahwa agama semuanya mengajak umatnya untuk melakukan kebaikan. Mari beragama untuk rendah hati dan tidak sombong, mengklain kebenaran sendiri dan menyalahkan orang lain,” ungkap ketua FKUB Kab. Cirebon.
(Baca juga Artikel terkait: Mengaji Keberagaman di Bulan Ramadhan)
Banyak prilaku negatif yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari ketidakmampuan dirinya mengendalikan tiga unsur yang melekat pada dirinya. Yaitu loba (keserakhan) , dosa (kebencian) dan moha (kebodohan).
Senada dengan itu, Romo Djunawi pemuka Agama Buddha Cirebon mengatakan. Saat ini banyak prilaku negatif yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari ketidakmampuan dirinya mengendalikan tiga unsur yang melekat pada dirinya. Yaitu loba (keserakhan) , dosa (kebencian) dan moha (kebodohan). Menurutnya mengendalikan ego dan berlaku bijak harus dibiasakan.
“Kita harus mengendalikan ego itu dengan tidak menyalahkan orang lain. mulai dengan kebijaksanaan, rendah hati, ramah dan bersyukur,” katanya.
Sementara itu KH Husein Muhammad dalam bukunya Menangkal Siaran Kebencian Perspektif Islam. Mengatakan di antara prinsip Islam yang bisa menjadi dasar penolakan siaran kebencian adalah ajaran tauhid dan prinsip menghargai sesama manusia.
“Pada tataran praktis, Islam dengan tegas melarang menghina dan mencemooh keyakinan atau agama lain. Islam juga menuntut umatnya untuk menghormati perbedaaan pandangan dan tafsir atas teks-teknya.”
Selain peran penting tokoh agama dalam menangkal ujaran kebencian, peran penting lainnya adalah penegakan hukum yang adil dalam hal ini kepolisian negara. Sejumlah regulasi telah dibuat untuk mengatur mengenai persoalan ini sudah dibuat untuk menindak kasus pidana ujaran kebencian.
Seperti Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapuasan Diskriminasi Ras dan Etnik, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Surat edaran Kepala Polri No SE/6/X/2015. Diperlukan komitmen dan ketegasan pihak kepolisian untuk menindak pelanggaran tersebut tanpa tebang pilih.
Berbagi Peran Menangkal Ujaran Kebencian
Maraknya ujaran kebencian dan intoleransi mengatasnamakan agama di tengah masyarkat mendorong sejumlah 25 orang yang terdiri dari tokoh agama, kepolisian dan aktivis dari berbagai kalangan untuk menyerukan kembali pentingnya menghargai pendapat serta mengokohkan sendi-sendi kebersamaan tanpa memandang identitas primordial apapun.
Seperti Ketua FKUB sekaligus Rais Syuriah PC NU Kab. Cirebon KH Wawan Arwani MA, Kepolisian Resor Cirebon Kota, Direktur Fahmina Rosidin M.Hum, Wakil Ketua Imparsial Jakarta Gufron Mabruri, Ketua Lembaga Sastra dan Bahasa Cirebon Nurdin M Nur, Ketua Dewan Kesenian Kota Cirebon Akbarudin Sucipto, Sekretaris PC Fatayat NU Kab. Cirebon Rozikoh MPd, Ketua Pemuda Lintas Iman Cirebon Haryono, PC NU Kota Cirebon, KNPI Kab. Cirebon, PD Aisyah Kab. Cirebon, ISIF Cirebon, Ma`had Aly Kebon Jambu Cirebon, menyerukan enam seruan moral untuk untuk memperkuat dan meneguhkan perdamaian dan toleransi di masyarakat, Senin (13/2) di Cirebon.
Keenam seruan itu adalah; pertama, kepada semua elemen di masyarakat untuk menghentikan penyebaran berbagai ujaran kebencian dan hoaks di ruang publik karena akan mendorong kekerasan, diskriminasi dan konflik sosial di masyarakat. seruan kedua, kepada semua pihak di masyarakat untuk memanfaatkan berbagai media baik itu tempat publik (tempat ibadah, lapangan, dsb), media cetak maupun elektronik (media sosial) secara cerdas dan bertangungjawab .Poin ketiga, mendorong tokoh agama, masyarakat dan pemuda untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat luas agar tidak melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan hoaks.
Seruan keempat, kepada tokoh partai dan elit politik serta para pendukungnya untuk menghindari dan tidak menggunakan ujaran kebencian dan hoaks sebagai instrumen politik untuk memengaruhi masyarakat dalam rangka pemenangan Pilkada, Pileg dan Pilpres. Poin kelima, mendorong kepolisian untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku dan otak intelektual ujaran kebencian dan hoaks di masyarakat. serta seruan yang keenam, Mengajak semua pihak baik itu pemerintah, kepolisian, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan segenap elemen di masyarakat lainnya untuk bekerjasama dalam upaya menangkal maraknya ujaran kebencian dan hoaks di ruang publik. []
(Teks asli Seruan Tokoh Agama dapat di baca di sini: Deklarasi Bersama Menangkal Ujaran Kebencian)
Artikel ini pertamakali diterbitkan di Buletin Blakasuta Vo. 46 Thn. 2018