Pesantren Menolak Kekerasan Berbasis Agama
Kerjasama The Wahid Institute-Pondok Pesantren Buntet Cirebon-Lakpesdam NU Cirebon
Cirebon, 2 April 2008. Kekerasan berbasis agama adalah hal nyata yang kita hadapi. Dua masalah mendapat sorotan seksama. Pertama, Bagaimana kewajiban pemerintah dalam melindungi warganya? Kedua, bagaimanakah hukum kekerasan dengan mengatasnamakan agama?
Peserta halaqah prihatin adanya gejala dan berbagai peristiwa ketegangan dan kekerasan antar kelompok di dalam masyarakat berdasarkan agama yang terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian yang komprhensif, adil dan melindungi semua warga negara.
Namun, banyak aparat negara yang lalai menyelesaikan masalah secara adil sehingga terjadi pembiaran intimidasi dan kekerasan oleh satu kelompok ke kelompok lain yang lebih lemah (dhu’afa’) dan kelompok minoritas. Alih-alih memberikan perlindungan, tidak jarang aparat negara justru menjadi aktor penindasan dan diskriminasi melalui kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkannya.
Halaqah menyimpulkan fungsi pemerintah adalah untuk mengatur kehidupan dunia (siyasah ad-dunya), sehingga masyarakat yang ada di dalamnya dapat hidup dengan aman, nyaman dan tenang. Kepala pemerintahan bertugas untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negara untuk memperoleh rasa aman, keadilan (hukum, ekonomi, dan sosial), jaminan sosial, dan kesamaan di hadapan hukum dan pengadilan.
Sebuah hadits menyebutkan al-sulthan zhill Allah fi al-ardhi ya’wi ilaihi kullu mazhlum (seorang pemimpin adalah bayangan Allah di bumi, sejauh ia berfungsi sebagai tempat berlindung orang-orang yang terzalimi). Pemerintah wajib menegakkan supremasi hukum. Kesemuanya dilaksanakan tanpa diskriminasi berdasarkan perbedaan suku, agama, aliran politik, sebaran geografis, dan sebagainya.
Ketegangan horisontal antar-warga ditengarai lebih banyak disebabkan oleh masalah-masalah di luar keagamaan, tetapi kemudian mengikutkan simbol-simbol keagamaan. Kecenderungan ini bisa mengancam harmoni dan kurukunan dalam, dan bahkan mengancam kesatuan nasional.
Peserta Halaqah mengimbau:
1. Kepada Pemerintah:
- Agar aparat Negara bersikap dan bertindak tegas dan adil dalam menangani kasus-kasus ketegangan dan konflik horisontal di kalangan warga yang berbasis agama sesuai prinsip-prinsip penghormatan kepada hukum dan hak asasi manusia.
- a. Teks-teks keagamaan yang dijadikan pembenar untuk melakukan tindakan kekerasan, seperti kata jihad dan dzimmi, perlu didalami lagi tafsirnya sesuai dengan konteks tantangan ke-Indonesia-an dewasa ini, seperti memerangi kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan hidup, dan hak hidup layak bagi minoritas.
- b. Pemimpin agama perlu mendorong dan memudahkan komunitasnya untuk proaktif ikut memprakarsai forum-forum dialog antar-umat beragama, melibatkan komunitas dalam pemberdayaan untuk mediasi, dan melindungi kelompok-kelompok yang dizalimi oleh kelompok lain.
- c. Pengasuh pesantren perlu menyegarkan kembali wawasan kebangsaan dengan mendorong kajian-kajian sejarah perjuangan para kiai dalam mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memasukkan fiqh ad-dawlah (pendidikan kewarganegaraan) di dalam kurikulum pesantren.
- d. Lembaga-lembaga agama tidak mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan yang bisa memprovokasi masyarakat melakukan tindak kekerasan.
- a. Masyarakat perlu meningkatkan solidaritas antar-warga dalam menangani ketegangan-ketegangan setempat.
- b. Masyarakat perlu mencermati setiap ajakan yang bersifat hasutan untuk melakukan tindakan intimidasi berkekerasan dan selalu melakukan tabayyun (klarifikasi) setiap kali menerima informasi yang mengundang penilaian buruk atas pihak tertentu.[]