Kamis, 5 Desember 2024

Nikah Cina Buta

Baca Juga

Dalam konteks Islam, suami isteri yang telah bercerai dengan cerai tiga dilarang melangsungkan perkawinan kembali (rujuk), kecuali mantan isteri telah melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain dan kemudian laki-laki tersebut menceraikannya. Laki-laki lain yang mengawini bekas isteri laki-laki lain disebut Muhallil (orang yang menghalalkan). Sedangkan Laki-laki bekas suaminya disebut Muhallal Lah (orang yang dihalalkan).

Perkawinan model tersebut disebutkan dalam Al Qur’an: “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan tersebut tidak halal baginya sehingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain ini menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri)nya untuk kawin kembali jika keduanya dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Q.S. al Baqarah, [2]:230).

Selanjutnya perkawinan antara laki-laki kedua (Muhallil) dengan mantan isteri laki-laki pertama (Muhallal Lah) tidak boleh hanya dilakukan secara formal belaka, melainkan harus sudah berhubungan intim. Ketika mengomentari kalimat “sehingga dia menikah dengan laki-laki lain”, Ibnu Katsir, ahli tafsir terkemuka mengatakan: “Sehingga dia disetubuhi laki-laki lain dengan pernikahan yang sah”. Hal ini didasarkan pada pernyataan Nabi :

عن عائشة أن رجلا طلق إمرأته ثلاثا فتزوجت زوجا فطلقها قبل ان يمسها فسئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أتحل للاول؟ فقال : لا , حتى يذوق من عسيلتها كما ذاق للاول . أخرجه البخارى ومسلم والنسائى .

Dari Aisyah bahwa seorang laki-laki telah menceraikan isterinya tiga kali, lalu dia kawin dengan laki-laki lain, lalu menceraikannya sebelum “menyentuhnya” (hubungan intim.pen). Nabi ditanya: “Apakah dia sudah halal bagi laki-laki yang pertama (suami pertama)?. Nabi menjawab: “Tidak, sampai laki-laki kedua mencicipi “madunya” sebagaimana suami pertama mencicipinya”. (H.R.Bukhari, Muslim dan Nasai).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Sehingga laki-laki lain mencicipi “madunya” sebagaimana dia (perempuan) mencicipi “madunya”. Sampai di sini Nikah Muhallil sebenarnya tidak ada masalah. Perkawinan  seperti ini sah adanya. Problem muncul ketika terjadi proses rekayasa (Hilah). Yakni ketika bekas suami mencari laki-laki lain untuk menikahi isterinya dengan maksud agar dia kemudian menceraikannya. Dalam beberapa kasus, praktik semacam ini seringkali dilakukan dengan cara-cara pemaksaan.

Terhadap kasus seperti ini terdapat sejumlah hadits Nabi yang menyebutnya sebagai perkawinan yang dilarang. Antara lain Nabi mengatakan: “Tuhan mengutuk orang Muhallil dan Muhallal Lah”.(H.R. Ibnu Majah).

 

عن عكرمة عن ابن عباس قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نكاح المحلل , قال “لا” إلا نكاح رغبة لا نكاح دلسة ولا استهزاء بكتاب الله ثم يذوق عسيلتها”

“Nabi ditanya tentang Nikah Muhallil. Beliau menjawab: “Tidak”, kecuali nikah karena cinta yang jujur, bukan nikah tipuan dan mempermainkan kitab Suci Tuhan.

Hadits lain menyebutkan:

 

قال ابو المصعب مسرح هو ابن عاهان قال عقبة بن عامر : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ألا أخبركم بالتيس المستعار؟ قالوا بلى يا رسول الله. قال : هو المحلل, لعن الله المحلل والمحلل له”.

 

“Nabi bersabda: “Maukah aku beritahukan “domba sewaan”?. Para sahabat menjawab: “ya, kami mau”. Nabi mengatakan ia (domba sewaan) itu adalah Muhallil. Allah melaknat Muhallil dan Muhallal Lah”.

Problem Nikah Muhallil

Para ulama tidak sepakat tentang haramnya Nikah Muhallil. Jika dalam praktiknya akad perkawinan dilakukan menurut aturan perkawinan, maka ia tidak bisa dianggap sebagai Nikah Muhallil yang terkutuk itu. Seringkali antara Muhallil dan Muhallal Lah melakukan perjanjian tertutup dan yang tidak diketahui orang lain, atau cara lain yang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Jika hal ini terjadi maka hukuman terhadap mereka hanya bersifat moral belaka. Dengan kata lain hanya Tuhan yang mengetahui maksud mereka berdua. Dengan cara itu keduanya boleh jadi dapat dianggap menipu Tuhan, karena itu Tuhan akan merekayasa hukumannya.

Sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm (mazhab tekstualis), Abu Tsaur dan sebagaian ulama bermazhab Hanafi berpendapat bahwa perkawinan tersebut sah. Bahkan si Muhallil bisa mendapat pahala, jika dia (muhallil) bermaksud  menolong mantan suami seorang perempuan. Mereka berpendapat bahwa Nikah Muhallil tidak haram tetapi makruh (tidak baik).

Imam Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa Nikah Muhallil yang dilarang adalah jika maksud perkawinan tersebut (mengawini untuk kemudian menceraikan) disebutkan (dijadikan syarat) dan diucapkan oleh Muhallil dalam ijab kabulnya.

Di dalam kitab I’lam al Muwaqqi’in, karya Imam Ibnu al Qayyim al Jauziyah dinyatakan sebagai berikut:

 

قال الشافعى وابو ثور : المحلل الذى يفسد نكاحه هوالذى يعقد عليه فى نفس عقد النكاح أنه انما يتزوجها ليحلها ثم يطلقها. فاما من لم يشترط ذلك فى عقد النكاح فعقده صحيح لا داخلة فيه, سواء شرط ذلك عليه قبل العقد او لم يشرط , نوى ذلك ام لم ينوه. قال ابو ثور : وهو مأجور.

(إعلام الموقعين , 3/195-196).

 

“Al Syafi’i dan Abu Tsaur mengatakan: “Nikah Muhallil yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang dilakukan atas dasar bahwa dia (muhallil)  akan mengawininya (janda dari seorang laki-laki) lalu dia akan menceraikannya agar mantan suami dapat mengawininya kembali dan maksud ini disebutkan dalam akad nikah. Jika dia tidak mensyaratkan hal tersebut dalam akad nikah, maka akad nikah tersebut sah. Tidak ada persoalan apakah ia (syarat tersebut) diucapkan sebelum atau sesudah akad atau tidak ada perjanjian sama sekali, baik diniatkan atau tidak diniatkan. Abu Tsaur mengatakan bahwa dia (muhallil) diberi pahala”. (I’lam al Muwaqqi’in, III/185-196).

Ibnu al Qayyim juga mengemukakan bahwa Nikah Muhallil tidak semuanya buruk. Ia bisa menjadi suatu tindakan yang baik jika dimaksudkan untuk menolong orang lain agar dia bisa berkumpul kembali dengan isterinya atau anak-anaknya atau keluarganya.(Ibnu Qayyim, Ibid, hlm. 197).
 
Dengan begitu, Nikah Muhallil yang dinyatakan oleh Nabi sebagai suatu tindakan yang dikutuk Tuhan berlaku bagi Nikah yang direkayasa untuk kepentingan seksual semata-mata atau untuk mempermainkan atau menyakiti pihak lain terutama perempuan. Inilah yang disebut Nabi sebagai “Nikah Dulsah”. Dulsah berarti al Zhulm (kezaliman), al Khiyanah (pengkhianatan) dan al Makr (penipuan).

Pertanyaan kita adalah bagaimana kita dapat mengidentifikasi Nikah Dulsah ini, sedemikian rupa sehingga bisa dibatalkan oleh hukum atau pihak-pihak yang melakukannya dapat dikenai sanksi?.  [] 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Megenal Kosep Keseimbangan Hidup dalam Ajaran Budha

Oleh: Zaenal Abidin Fahmina Institute menggelar sesi kedua kegiatan Sekolah Agama dan Kepercayaan Bagi Oraang Muda Angkatan 1 di Vihara...

Populer

Artikel Lainnya