Oleh Erlinus Thahar
Saya menolak bahwa Islam Nusantara adalah menusantarakan Islam, membuat Islam tunduk pada Nusantara. Saya juga menolak bahwa dengan Islam Nusantara merasa lebih unggul dari orang Arab. Itu semua doktrin dan kesimpulan yang bersifat sepihak.
Belakangan, saya sering menemukan slide video, meme dan tulisan tentang Islam Nusantara di medsos dan link media online yang seolah-olah Islam Nusantara adalah ajaran baru, konsep baru yang akan mencabut nilai Islam dari akarnya.Islam. Bahkan Islam Nusantara disebut sebagai sebuah proyek kelompok nasionalis dan moderat di Indonesia untuk menghancurkan Islam. Ini yang membuat saya gagal paham.
Islam Nusantara bukanlah istilah baru. Bahkan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pun sebenarnya sudah menggunakan istilah tersebut, mengakui bahkan memuji Islam Nusantara sejak tahun 2008 sebagaimana yang diungkap dalam Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS berjudul “Memperjuangkan Masyarakat Madani” yang disusun Majelis Pertimbangan Pusat PKS yang terbit pada Maret 2008. Waktu itu muncul tidaklah seheboh sekarang ini.
Islam Nusantara bagi saya adalah untuk menggambarkam nilai-nilai Islam yang selama ini berkembang dan disyiarkan oleh Wali Songo di Jawa, Syekh Burhanudin di Sumatra Barat, Syekh Abdul Rauf di Aceh, dan berbagai pelosok Indoesia.
Islam Nusantara yang dimaksudkan menurut saya adalah Islam yang pernah diajarkan guru-guru ngaji saya di kampung, yang dicontohkan oleh labai-labai, diajarkan oleh para Tuangku-Tuangku dan Kyai-kyai di kampung. Islam yang tidak mengkafirkan karena berbeda mahzab, beda tafsir, beda ulama dan perbedaan lainnya.
Islam itu satu, ya. Bahwa Islam itu turun di Arab ya. Betul tidak ada Islam Eropa, Islam Afrika dan seterusnya. Tetapi ingat, perbedaan mahdzab, perbedaan tafsir itu keniscayaan dalam Islam. Bahkan para sahabat Nabi saja, ketika meriwayat juga bisa berbeda, makanya ada riwayat Bukhori, riwayat Muslim, riwayat Aisyah R.A, yang bisa saja berbeda sudut pandang dalam meriwayatkan sebuah hadists. Perbedaan sudut pandang itu, pada kenyataannya justru memperkaya keislaman kita. Hanya orang yang tak bisa mengambil hikmah perbedaanlah yang kemudian mempertentangkannya.
Islam Nusantara adalah Islam yang selama ini membiarkan pemahaman HTI masuk ke Indonesia (belakangan ditolak karena mengancam keutuhan NKRI-red), membiarkan FPI berdiri di Indonesia, menerima LDII, menerima Idrisyiah, menerima pemahaman kelompok Mujahidin, menerima Jemaah Tabligh mendatangi mesjid-mesjid kampung, Islam yang ramah dan seterusnya.
Lalu kenapa kemudian kita menghujat Islam yang selama ini diajarkan para leluhur kita dulu? Dimana leluhur kita mengajarkan karakter Islam yang menerima perbedaan komunitas, jemaah, kelompok dan pemahaman seperti tersebut di atas.
Islam satu. Ya benar. Tapi lihat kajian-kajiannya, pasti ada saja yang bersilang dan berbeda. Tetapi apakah itu bisa disebut sebagai perpecahan Islam? Masing-masing komunitas Islam itu punya dalil-dalil sendiri dalam mempertahankan keberadaannya. Tetapi sekali lagi, menurut saya itulah kekayaan khazanah Islam.
Perlu dicatat tahun berapakah HTI masuk ke Indonesia? Sejak kapan FPI berdiri, sejak kapan Jemaah Tabligh berkembang pesat seperti ini? Sejak kapan Idrisiyah dikenal? LDII dan lainnya?
Apakah mungkin semua komunitas dan pemahaman Islam tersebut tersebut yang hadir belakangan bisa eksis di Indonesia jika tafsir atas Islamnya tunggal? Misalnya hanya paham HTI yang benar, pemahaman Islam dalam organisasi NU atau Muhamadiyah salah? Atau hanya NU dan Muhamadiyah yang benar? Bisa perang saudara kita di Indonesia.
Demikian yang terjadi di Suriah dengan ISIS yang memaksakan tafsir tunggal terhadap Islamnya ISIS atau yang terjadi di Afganistan dengan tafsir tunggal Talibannya. Kalaupun sekarang HTI dilarang bukan karena Islamnya, tetapi karena ideologinya yang menentang Pancasila dan UUD 1945. Di sisi lain, HTI adalah salah satu kelompok Islam. Ketika negara membubarkan mereka, hanya membubarkan organisasi mereka, bukan pemahaman keislaman mereka.
Perpecahan itu hanya bisa timbul kalau antara satu komunitas Islam dengan komunitas Islam lainnya saling menghujat dan menistakan. Ini yang belakangan dihembus-hembuskan. Sebuah karakter yang jauh dari karakter orang Indonesia yang ramah, yang berbaik sangka, yang pemaaf dan tidak pendendam. Sebuah karakter yang selama ini diteladani dari Rasulullah SAW.
Islam Nusantara di Indonesia adalah Islam yang menyatukan semua perbedaan mahzab, aliran, pemahaman, tafsir dan kajian. Bahwa Islam Nusantara itu akan menjamin kita bebas bersuara, bebas berbeda tanpa harus khawatir di kafir-kafirkan, dicap sesat atau bahkan dipenggal kepalanya seperti yang dilakukan ISIS di di Suriah.
Maka, saya menolak tafsir sebagian kalangan bahwa Islam Nusantara itu adalah sebuan proyek. Saya juga menolak bahwa Islam Nusantara itu melemahkan Islam. Saya juga menolak bahwa Islam Nusantara adalah produk penjajah. Saya menolak bahwa Islam Nusantara adalah menusantarakan Islam, membuat Islam tunduk pada Nusantara. Saya juga menolak bahwa dengan Islam Nusantara merasa lebih unggul dari orang Arab. Itu semua doktrin dan kesimpulan yang bersifat sepihak.
Itulah pemahaman saya terhadap Islam Nusantara. Jika berbeda pemahaman tentang Islam Nusantara, ya mumgkin kita dalam sudut pandang yang berbeda. Atau bisa saja karena pengalamam empiriknya berbeda.
Baca juga: Wajah Islam Nusantara di Pojok Pesantren
Sekali lagi, bagi saya Islam Nusantara Indonesia, bukanlah sesuatu baru, bukan Islam baru, bukan Islam yang berbeda. Bagi saya Islam Nusantara di Indonesia adalah Islam yang menyatukan semua perbedaan mahzab, aliran, pemahaman, tafsir dan kajian. Bahwa Islam Nusantara itu akan menjamin kita bebas bersuara, bebas berbeda tanpa harus khawatir di kafir-kafirkan, dicap sesat atau bahkan dipenggal kepalanya seperti yang dilakukan ISIS di di Suriah.