Sabtu, 27 Juli 2024

Memutus Rantai Perdagangan Perempuan Melalui Pendekatan Islam

Baca Juga

Di balik reputasi umat Islam yang demikian itu, tidak sedikit pula persoalan dan realitas sosial yang ”amburadul”. Indikatornya dapat dilihat dari kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, rendahnya kualitas hidup, tingginya tingkat korupsi dan sebagainya, sehingga umat Islam di Indonesia dalam era global ini masih tersangkut dalam peta problema sosial yang mendasar. Akibatnya, hempasan arus globalisasi bagi umat Islam di Indonesia memuarakan suasana juggernaut dan kedaan yang kontroversial dari kesejahteraan ini belum menunjukkan the end of history .

Keadaan sosial yang distrukif tersebut Menurut Nasibitt, telah memaksa berlakunya chauvinistic di kalangan grass roots. Frustasi sosial telah menampakan kontroversial tindakan manusia dari norma, agama dan akal budi dengan tindakan pencapaian kepentingan survive. Benturan-benturan ketidakberadaban semakin terbiasa dilihat dan semakin menjadi realitas sosial. Salah satunya dapat direduksi dari realita dan fakta maraknya perdagangan manusia khususnya perempuan.
Perdagangan manusia di dunia merupakan kejehatan ketiga terbesar setelah kejahatan obat bius dan kejahatan perdagangan senjata. Dalam satu tahun manusia diperdagangkan mencapai satu sampai dua juta jiwa. Angka terbesar berasal dari Asia Tenggara, dimana setiap tahunnya perempuan diperdagangkan sebanyak 225.000 orang dari kawasan ini. Kemudian disusul dari Asia Selatan sekitar 150.000 orang. Sedangkan negara-negara pecahan Uni Soviet merupakan negara-negara yang terkenal dalam memperdagangkan perempuan untuk kepentingan seks komersial. Dari kawasan Eropa Timur diperkiran sebanyak 75.000 orang perempuan telah diperdagangkan untuk berbagai kepentingan. Kemudian menyusul dari Amerika Latin dan Karabia, sebanyak 100.000 orang pertahun. Sekitar 50.000 orang lagi berasal dari Afrika. Korban dari perdagangan manusia ini kebanyakan dikirim ke Asia, Timur Tengah, Eropa Barat dan Amerika Utara untuk berbagai kepentingan, mulai untuk kepentingan pemenuhan tenaga kerja non formal sampai pada kepentingan industri seks komersial.   

Di Indonesia tidak kalah penting, angka perdagangan manusia khusus perempuan dan anak-anak setiap tahunnya meningkat lebih dari 100 ribu orang. Tahun 2003 misalnya, Wakil Ketua Komisi Kesejahteraan DPR Surya Chandra Surapati menyatakan angka perdagangan perempuan dan anak-anak di Indonesia mencapai rata-rata 750 ribu sampai satu juta anak dan perempuan diperdagangkan. Pada tahun yang sama Jurnal Perempuan memperoleh data sebanyak 70.000 remaja perempuan Indonesia telah dijual ke Malaysia dan Singapuran melalui Tanjung Balai (Sumatera Utara).  Hasil investigasi akurat lainnya juga menyimpulkan bahwa 40. 000 orang perempuan pertahun  diperdagangkan di Indonesia, 30% diantaranya anak-anak umur 12-17 tahun, mereka ini dipekerjakan untuk melacur diberbagai tempat prostitusi.

Kemudian tahun 2004 Aris Merdeka Sirait Sekretaris Jenderal Komnas Anak mengemukakan pula Indonesia merupakan pemasok perdagangan anak dan wanita (trafficking) terbesar di Asia Tenggara. Terdapat sekitar 200 sampai 300 anak perempuan berusia di bawah 18 tahun telah diperjual belikan untuk Pekerja Seks Komersil (PSK), baik untuk memenuhi kebutuhan industri seks dalam negeri maupun di Asia Tenggara. Sebuah fenomena yang kursial dan sangat meremehkan keberadaan agama, moral, hukum dan keadilan kemanusiaan. Hal ini sebagai tantangan bagi umat Islam yang mayoritas di Indonesia.

Perdagangan perempuan untuk kepentingan PSK atau prostitusi ini tidak lagi menjadi rahasia umum. Mereka diperdagangkan menjadi PSK sangat dipengaruhi oleh sendikat yang profesional dan mempunyai jaringan yang rapi. Sebelum tahun 2000 saja  misalnya, Depsos telah mencatat bahwa perempuan yang diperdagangkan untuk pekerja seks ini selalu meningkat jumlahnya secara signifikan. Seolah-olah, sendikat ini luput dari pantauan dan kejaran penegakan hukum.

Tabel: Peningkatan Perdagangan Perempuan Untuk PSK

Tahun  1991/1992 1993-1994 1995/1996  1998/1999
Jumlah Peningkatan Pekerja seks  52.369  65.059  71.969  73.990

Sumber Depsos 2000. 

 

Kemudian menurut laporan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah penjualan anak untuk kepentingan prostitusi secara spektakuler, dimana lebih dari 30% atau sekitar 200-300 ribu perempuan yang dilacurkan adalah anak-anak. Mereka direkrut dari keluarga kurang mampu dan pada umumnya tinggal di pedesaan dan kawasan-kawasan yang rawan perdagangan manusia. Berdasarkan kasus yang dilaporkan, pada tahun 1999 dan 2000 Kepolisian RI tercatat angka perdagangan anak perempuan dari beberbagai daerah sebagai berikut:

Tabel: Perdagangan Anak Dari Beberapa Kota

Kota  Tahun
 1999  2000
Jakarta 130 126
Medan 286 282
Bandung 161 157
Padang 151 147
Surabaya 313 309
Bali 133 129
Ujung Pandang 155 151
Manado 179 175
Jumlah 1.712 1.683

Sumber Menag PP. Juni 2002 dan Wini Tamitri (2004)

Selanjutnya di Jawa Barat terdapat 43,5% anak perempuan diperdagangangkan, antara usia 14 sampai 17 tahun. Berdasarkan perkiraan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat tahun 2003 terdapat 22.380 orang pelacur di daerah ini dan 9.000 orang diantaranya adalah anak-anak. Sebanyak 43,5% merupakan korban perdagangan manusia. Mereka dijual pada usia paling muda 14 tahun, sedangkan usia 17 tahun sebagai usia yang paling laris di pasaran (Lembaga Perlindungan Anak/LPA Jabar, 2003). Pada tahun 2004 ILO juga mencatat sebanyak 39% anak-anak yang dilacurkan di Kota Bandung berasal dari daerah Indramayu, Subang, Cirebon, Banten, Karawang, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan Bandung. Mereka berasal dari Kota Bandung sebanyak 39%, Kabupaten Bandung 21%, kota lainnya di Jabar 31,6% dan sisanya dari luar Jabar. Lonjakan angka perdagangan perempuan meningkat semenjak terjadinya krisis moneter tahun 1997. Banyak anak-anak perempuan pedesaan yang menganggur dan korban himpitan ekonomi keluarga terjerat dalam kesus perdagangan manusia ini. Mereka tidak kalah pentingnya diperjual belikan oleh orang tua, keluarga dan famili terdekat, pacar dan kawan.

Khusus di Batam sebagai kawasan transit area dan destination area penjualan perempuan untuk kepentingan PSK tidak asing lagi di daerah ini. Sendikat perdagangan perempuan telah menimbulkan berbagai permasalahan kemanusiaan. Perempuan yang diperdagangkan ditemukan banyak mengalami gangguan psikologis (kejiawaan/mental), reproduksi, kesehatan dan sebagainya. Pada tahun 2006 akibat banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang terjual di pulai Batam ini, Yayasan Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam hanya mampu melakukan rehablitasi terhadap 36 orang korban. Mereka yang direhablitasi oleh YMKK diantaranya berada dibeberapa lembaga-lembaga penampungan, seperti Dinas Sosial, Poltabes, LSM dan seterusnya. Jumlah rehablitasi YKMKK tersebut  sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel: Korban Perdagangan Perempuan Pulau Batam Yang Dapat Pembinaan YKMKK

Lembaga Korban
RPK Poltabes Barelang 19
Dinas Sosial 9
LSM Sirih Besar Tanjung Pinang 3
RS Bersalin Swata 1
Pendidik Komunitas 2
Media Massa 2
Total 36

Selanjutnya bagaimanakah permasalahan perdagangan perempuan ditahun 2007 ini? Untuk mendapati jawaban berbagai hipotesis dapat diajukan. Pertama permasalahan tersebut tetap menggelinding, karena kegiatan ini sudah dimainkan oleh sendikat yang apik dan terorganisir, sementara negara kita baru punya kekuatan hukum tersendiri tentang masalah ini pada tahun 2007 dengan keluarnya undang-undang No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Kedua jika selama ini permasalahan perdagangan perempuan dan seks komersial dianggap sebagai akibat kemiskinan, maka menurut hitungan BPS tahun 2006 terjadi peningkatan angka kemiskinan dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 persen). Ini bermakna perdagangan perempuan pada tahun 2007 akan tetap menjadi sebuah gunung es. Ketiga berkembangnya area pelacuran dan semakin ”manisnya” tawaran hedonisme maka permasalahan perdagangan perempuan akan mengikuti imbas ini. Keempat longgarnya pengiriman urusan tenaga kerja keluar negeri telah melahirkan berbagai kedok penipuan, sehingga terlemparnya perempuan kedalam ranah perdagangan. Khusus perempuan yang diperdagangkan di Malaysia, mereka sulit mencari keadilan karena di negeri jiran ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang hal ini. Jika mereka terjebak ke dalam kasus PSK, beribu satu cara ”ampuh” telah dipersiapkan pula untuk dilindungi oleh para cukongnya, misalnya jika terjadi razia cukong langsung mengatakan pada petugas bahwa perempuan tersebut istrinya yang sah. Di samping itu struktur bangunan rumah tempat tinggal yang tidak berbasis sosial sangat menyulitkan perempuan untuk keluar dari ranah pekerjaan prostitusi.

Terakhir dilaporkan, beberapa anak korban Lapindo telah dijual guna kepentingan PSK, sehingga sebanyak empat perempuan ditemukan di Dolly dan Trates.  Fakta ini, memperkuat pendekatan teoritis yang dijadikan patokan selama ini, dimana ekonomi menjadi diterminisme atau sebagai kausalitas yang menyebabkan maraknya perdagangangan perempuan di negara ini. Oleh sebab itu kemiskinan sebagai penyebab kriminalitas ada benarnya, sebegaimana terlihat dari tesis Marx tentang diterminsime ekonomi, tesis Robert Merton tentang Social Structure and Anomie, tesis Cohen tentang Differential Opportunity Structure dan seterusnya. Hal ini, semakin memberikan bukti bahwa menggelindingnya kejahatan perdagangan perempuan, salah satunya diakibatkan oleh kemiskinan yang bergayut dalam kehidupan masyarakat. Nabi Muhammad pun telah menjelaskan bahwa kemiskinan akan menyeret tindakan manusia kedalam ketidak beradaban  (kekafiran).

Kasus-Kasus Yang Melipat Keberadaban

U.S Departemen of State International Information memberikan defenisi perdagangan manusia sebagai berikuta:

All acts involved in the transport, harbouring, or sale of persons within national or across international borders through coercion, force, kidnapping, deception or fraud, for purposes of lacing persons in situation of forced labour or services, such as forced prostitution, domestic servitude, debt bondage or other slavery like practices.

Undang-undang no 21/2007, mendefenisikan secara umum perdagangan manusia termasuk perdagangan perempuan sebagai berikut:

Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Secara khusus R Soesilo mendefenisikan perdagangan perempuan adalah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud menyerahkan perempuan kepada pihak lain untuk kepentingan pelacuran. GAATW dan CEDAW lebih menekan konsep penting dalam mendefenisikan perdagangan perempuan, yaitu rekrutmen, transportasi dan lintas batas negara dan persetujuan.

Prostitusi Lingkaran Setan Yang Membiadab  

Pada umumnya, perempuan yang diperdagangkan ini dipergunakan untuk memenuhi industri seks komersial, baik untuk dalam negeri maupun untuk keluar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Thailan, Korea dan lainnya. Sendikat untuk kepentingan prostistusi ini telah terjalin dengan kuat dan sangat sulit dibongkar oleh aparat penegak hukum. Pertama kegiatan ini, berada di ”bawah tanah”, telah dirancang dengan sistem dan relasi yang profesional. Kedua rekrutmen dilakukan dengan pendekatan ekonomi, budaya dan sosial. Oleh sebab itu yang sering menjadi korban adalah wanita yang berada dalam keluarga miskin, pedesaan dan rendah pendidikan. Dengan demikian modus operandi ”penipuan” sangat kentara dalam proses perdagangan tersebut.

Penipuan, pelecehan seksual dan perkosaan menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari sendikat perdagangan perempuan.    Data faktual tentang itu dapat dilihat dalam hasil peniltian Eymal  B Demmallino dan Bambang Wicaksono. Perempuan yang diperdangkan ke Malaysia pada umum mengalami penipuan, pelacuran, pelecehan seksual dan lilitan utang. Penipuan berawal dari proses rekrutmen, mereka semula dijanjikan untuk mengisi lowongan kerja disektor industri dan pelayan toko, akhirnya dihantar kedalam area pelacuran. Sebelum melacur di tangan cukong sering pula mengalami pelecehan seksual. Cukong terlebih dahulu melakukan tes keperawanan untuk menentukan bayaran gaji yang akan diterima jika bekerja dalam industri seks yang dikelola cukong tersebut. Cukong bermain dengan segala macam alasan, agar terhindar dari pembayaran gaji yang profesional. Di antaranya menjastifikasi perempuan yang akan di lacurkan tidak perawan, pada hal perempuan tersebut perwan. Jastifikasi ini dilakukan cukung guna meraup keuntungan yang besar. Seorang perawan dalam dunia pelacur Malaysia dapat dihargai 6 juta rupiah. Sedangkan yang tidak perwan hanya 300 ribu rupiah saja.

Kasus selanjutnya adalah, utang yang berkelanjutan dan gaji yang tidak pernah diterima. Jika terjadi penggeledahan dari pihak polisi, maka untuk menghindari penangkapan cukong selalu mengaku pada polisi bahwa perempuan tersebut istrinya yang sah. Sebagai tebusannya kepada cukong yang telah melindunginya itu, gaji perempuan tersebut untuk beberapa bulan tidak dibayar karena dijadikan sebagai tebusan pelindung. Cukong sering  bermain di sini. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, cukong menyuruh keluarganya untuk melapor ke polisi agar diadakan penggeledehan. Kemudian dahadapan polisi, cukong mengaku sebagai suami, akhirnya perempuan terhindar dari tangkapan polisi. Lagi-lagi untuk balasannya perempuan harus menebus kepada cukong dengan gajinya, sehingga perempuan tersebut tidak menerima gaji dalam beberapa waktu. Siklus ini menunjukkan perempuan yang telah melacur tetap berada dalam kemiskinan, eksploitasi dan peminggiran kemanusiaan.

Berbeda dengan iklim prostitusi di dalam negeri, perempuan digiring ke dalam area lokalisasi dan tempat-tempat industri seks komersial lainnya. Fenomena tragis, mereka menjadi penjaja seks jalan dengan berkedok sebagai penjaja minuman atau makanan ringan yang beroperasi pada malam hari. Wilayah kerja mereka dalam ranah pubik yang bergaya kolonial liberalisme, dimana mereka tetap saja berada dalam keadaan terjajah dan terkeploitasi. Ruang publik telah meminggirkan perempuan dan menjadikannya sampah dan hantu ”hedonisme”.  Oleh sebab itu, Franz Fanon dalam konteks ini telah menyuarakan agar perempuan membebaskan dirinya dari ruang publik dan membangunkan ruang privatnya yang lebih berdimensi kemanusiaan.
    
Praktik Membinatangkan Manusia

Kasus yang tidak manusiawi lainnya ditemukan dalam perdagangan perempuan ini adalah, praktik membinatangkan manusia. Manusia dijual dari satu agen ke agen berikutnya sampai pada agen yang tidak terbatas. Barulah pada agen terakhir mereka memasuki pekerjaan, baik pekerjaan yang sesuai dengan janji semula atau tidak.

Tidak manusiawi lagi, semakin panjang deretan agen yang terlibat maka semakin banyak pos yang mesti dibayar oleh perempuan yang terperangkap dalam perdagangan tersebut. Gaji mereka disedot untuk kepentingan agen. Oleh sebab itu tidak hayal banyak data ditemukan pekerja perempuan sering tidak menerima gaji karena gaji mereka diambil oleh agen yang terlibat dalam proses sampainya ke dalam satu pekerjaan.

 

Di samping itu, karena perdagangan perempuan bersifat illegal dan terorganisir dalam jalur sendikat yang disusun apik, maka perempuan rawan penganiayaan dalam bekerja. Oleh sebab itu, tenaga kerja perempuan Indonesia banyak mengalami permasalahan kemanusiaan terutama di negara tentangga Malaysia. Pembunuhan, penyiksaan dan tanpa gaji adalah kasus yang sudah tidak asing dialami oleh pemerempuan dalam bekerja, seperti di Malaysia.  

 

Inilah sebuah potret kemanusiaan yang melipat keberadaban. Realita ini semakin membuktikan ungkapan futurolog John Naisbitt, bahwa di alam global ini banyak berjalan realitas sosial yang paradok dan bertentangan dengan nilai, norma, agama dan kemanusiaan. Tidak salah pula Giddens menyematkan alam globalisasi itu sebagai juggernaut realitas sosial tanpa terkendali (runaway world)  yang berjalan dengan amburadul atau anomie. Lebih lanjut Gidden mengulasnya:

Kehidupan kolektif modern ibarat truk besar yang melaju dengan kencang kadangkala dapat dikendalikan tetapi juga lepas dari kendali sehingga berbenturan dengan apa saja, sehingga ia dapat hancur-lebur. Truk besar ini juga akan menghancurkan orang yang menentangnya dan dapat berbelok kearah yang tidak dapat dibayangkan…musnah tanpa mempertimbangkan kemanusiaa…

Tidak salah pula Huntington dalam perspektif yang lain mengatakan alaf global ini sebagai alaf perbenturan dan konflik. Apakah ini sebagai sinyal dunia global akan ada the end of history dari moralitas, kemanusiaan dan peradaban?   

 

Atas nama apapun juga, perdagangan perempuan baik untuk kepentingan pekerjaan, kebutuhan industri seks dan sebagainya merupakan tindakan yang tidak manusiawi serta telah dideklarasikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Tetapi kenyataannya sendikat perdagangan pemerempuan di Indonesia angkanya masih menggelembung. Hal ini diakibatkan oleh, pertama rakitan sosial kemiskinan struktural. Resep penanggulangan kemiskinan pedesaan belum pernah tepat sasaran. Mulai dari kebijakan rovolusi hijaun, Inspres Desa Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dan Subsidi Bahan Bakar Minanyak (BBM)  belum ada memberikan satu tanda pencerahan, kesejahteraan masih berada dalam bayangan semu. Kedua krisis ekonomi yang belum kunjung selesai telah memperpanjang jumlah deretan pengangguran. Pengangguran yang meningkat ini sebagai lahan area bagi sendikat perdagangan perempuan. Ketiga menjalarnya tawaran budaya hedonisme yang mengimani budaya konsumersime. Budaya ini diserap oleh masyarakat, sehingga perbenturan kemiskinan dan konsumerisme telah mendesak tindakan untuk berbuat yang anti moralisme. Akhirnya tidak heran anak perempuan dijual oleh orang tuanya guna melengketkan diri dengan tawaran budaya hedonisme itu. Keempat longggarnya hukum dan mudahnya pengiriman tenanga kerja keluar negeri, kenyataannya juga menjadi penyubur terjadinya perdanagan perempuan di Indonesia. Oleh sebab itu, permasalahan dalam kasus ini tidak semata-mata didukung oleh determinisme ekonomi.

Memutus Mata Rantai; Membangun Kadaban Dalam Era Global

Berpijak pada data-data yang telah dikemukakan, masalah perdagangan manusia khususnya perempuan di Indonesia telah menjadi permasalahan yang menyudutkan harkat dan martabat bangsa ini. Malah sampai pada tahun 2000 misalnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bangsa Indonesia sebagai negara yang selama sepuluh tahun tidak melakukan pengentasan yang jelas tentang perdagangan perempuan, sehingga PBB terpaksa memberikan sanksi dengan tidak memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian aids) kepada negara kita. Atas desakan dari berbagai kalangan barulah tahun 2007 bangsa Indonesia mempunyai undang-undang khusus menangani perdagangan orang.

Fenomenologis sekali, bangsa yang terkenal dengan lokus society muslim ini, baru pada tahun 2007 mempunyai tindakan nyata dalam mengatasi perdagangan perempuan. Bukankah perdagangan manusia atau perempuan telah disepakati sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia? Bahkan agama dengan tegas telah memberikan kartu merah yang jelas menetang kegiatan ini. Sebagai bukti dapat dilihat dari realitas sejarah perjuangan hak asasi perempuan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah telah memutus peradaban Jahiliyah dalam memperlakukan perempuan. Peradaban Jahiliyah yang mengeksploitasi dan merendahkan perempuan telah diubah oleh Rasulullah menjadi satu peradaban yang menghargai eksistensi perempuan sebagai manusia. Perjuangan kesamaan derajat  yang dilakukan Rasulullah, telah melahirkan peradaban umat Islam yang gemilang. Sebagaimana berpuncak di Madinah, sehingga peradaban madani menjadi rujukan dalam melihat keagungan proses civilization. Al-Quran dengan jelas pula telah melarang dengan tegas perdagangan perempuan ini, larangn itu sebagaimana tercantum dalam QS 24:33:

Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memberikan kemampuan pada mereka dengan karunia-Nya. Jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan kebebasan, hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, berikanlah kepada mereka harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan mereka menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang setelah mereka dipaksa.

Untuk menelusuri satu jalan ke arah berperadaban civil society tersebut, banyak rangka yang harus diselesaikan dalam bangsa ini. Salah satunya memutus mata rantai sendikat perdagangan perempuan yang sedang menggelinding ini. Perdagangan perempuan tidak saja masalah hari ini, tetapi telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sendikat perdagangan perempuan di Indonesia sudah membangun jaringan dan sistem yang kuat. Dalam perspektif sejarah sendikat perdagangan perempuan di Indonesia telah ada semenjak 200 tahun silam. Permasalahan ini telah berjalan dengan rangkaian ”tradisi” yang apik, sehingga tidak mengherankan negara Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara terbesar pemasok perdagangangan perempuan di Asia Tenggara. Sebuah stigma kemanusiaan yang harus diselesaikan secara bersama. Permasalahan ini pun tidak dapat dijustifikasi sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang lemah iman, karena permasalahan yang menggelinding dipengaruhi oleh multifaktor. Oleh sebab itu, untuk mencari celah penyelesaiannya perlu dilakukan dengan multi pendekatan.

Dari Diterminisme Ekonomi: Menuju Pendekatan Manusiawi  

Permasalahan perdagangan perempuan paling dominan dianalisis dengan pendekatan ekonomi. Keadaan ekonomi yang buruk yang menghantarkan perempuan masuk dalam jaringan sendikat perdagangan. Kemudian majunya industri seks komersial metropolis kenyataannya juga telah mendesak perempuan menjadi komuditi seks. Keadaan ini, secara langsung atau tidak langsung semakin mengancam reputasi moral dan norma dalam kehidupan manusia, sehingga semakin jelas materialisme menjadi agent penjajah kemansiaan. Bukankan hal semacam ini, sebagai tradisi dari liberalisme?

Di sebalik itu tidak dapat disangkal bahwa kemiskinan menjadi satu faktor dominan membuat situasi sosial menjadi buruk. Malahan Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa kemiskinan itu mendekatkan pada kekufuran. Bukti nyatanya dapat diliha dari kasus perdagangan perempuan ini. Kemiskinan telah menghela situasi sosial yang kontradiktif dengan ajaran agama, moral dan nilai-nilai budaya. Ritme kemiskinan di Indonesia, selalu diiringi dengan tindakan sosial yang disolder. Kemiskian mempunyai akses terhadap munculnya kultur chauvinisme.

Beberapa hasil penelitian mengemukakan, kemiskinan di pedesaan telah menyuburkan parktik chauvinisme. Praktik chauvinsime ini terlihat dari rekapitualasi tindakan ”anti” kemanusiaan, seperti dalam kasus perdagangan perempuan ini. Persoalannya apakah determinisme ini terus dipersalahkan? Kemiskinan terus diadili sebagai determinisme pelacuran, perkosaan, pelecehan seksual dan setersunya. Jelas sebuah tindakan yang tidak adil. Masalahnya kemiskinan dalam waktu dekat tentu belum hengkang dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia. Lihat misalnya angka kemiskinan yang dikemukakan ole Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 masih menggelebung pada angka 37,17 juta orang. Oleh sebab itu mata rantai yang perlu diputus dalam persoalan ini adalah ketidakadilan rasa kemanusiaan yang bercokol dalam lingkaran seten ini. Pertama memanusiawikan tindakan rekrutmen tenaga kerja. Asas profesionalitas harus dilakukan, pemerintah dalam hal ini harus mempunyai akuntibilitas dan sistem yang jelas. Kedua melalukun pemberdayaan manusia dengan berbagai cara, seperti meramu biaya pendidikan yang terjangkau oleh lapisan akar rumput, sehingga pendidikan yang layak dan memadai dapat meramu sumber daya manusia yang berkualitas pula. Ketiga memberdayakan institusi Islam, seperti masjid, surau, langgar sebagai pembinaan masyarakat. Selama ini institusi tersebut baru mampu digunakan sebagai tempat ibadah shalat. Keberadaannya lebih dominan sebagai simbol dan belum dimanfaatkan secara optimal.

Mempertegas Sistem: Menegakan Hukum Yang Konsisten

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa bangsa Indonesia baru mempunyai kekuatan hukum untuk memberantas perdagangan orang pada tahun 2007. Pada hal kegiatan ini, sudah begitu mengakar. Keterlambatan hadirnya kekuatan hukum ini, secara langsung mempengaruhi terhadap membiaknya kejahatan sendikat perdagangan orang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan angka perdagangan orang terutama perdagangan perempuan untuk kepentingan industri seks selalu meningkat di Indonesia.

Kemudian diikuti pula oleh penegakkan hukum yang masih rendah, maka sendikat perdagangan perempuan sering tidak mendapat penanganan hukum yang tegas. Rendahnya penegakkan hukum negara kita ini dapat dilihat dari hasil riset tim World Bank, bahwa role of law negara Indonesi berada dibawah Timor Leste.

Permasalahan ini menjadi salah satu faktor meningkatnya kejahatan perdagangan manusia di Indonesia. Terjadinya reformasi hukum di Indonesia dan lahirnya undang-undang no 21/2007 sebagai langkah awal bagi bangsa ini untuk memutus mata rantai perdagangan perempuan tersebut. Konsistensi dan akuntibilitas pemerintah dalam penegakkan hukum sangat diperlukan untuk melarai supaya perempuan tidak lagi diperdagangkan.

Di samping itu, desentralisme pemerintahan dengan otonomi daerah seharusnya mempunyai peranan yang penting dalam memutus mata rantai perdagangan perempuan yang menggelinding di daerah. Apalagi dengan berlakunya Perda Syariat Islam di beberapa daerah tentu ini menjadi salah satu aset dalam pemberantasan sindikat perdagangan perempuan dan kegiatan prostitusi di negara ini.

Perubahan sistem pemerintah sentralisme menjadi desentralisme tujuannya sangat jelas untuk meningkatkan efektifitas pemerintah dalam membangun sistem di negara ini. Pada tahun 2005 efektifitas pemerintah Indonesia berada di bawah Vietnam. Oleh sebab itu tidak mengherankan permasalahan perempuan ini belum ditangani dengan tindakan yang serius, sehingga wajar PBB memberikan sanksi kemanusiaan. Tabel di bawah ini, secara jelas menginformasikan tentang kerendahan efektivitas dari pemerintahan Indonesia tersebut.

Tabel: Efektivitas Pemerintahan

Tabel Efektivitas Pemerintahan
Era pasca reformasi dengan terjadinya perubahan sistem pemerintah, dari sentralisme menjadi desentralisme sebagai angin segar bagi negara ini mempunyai pemerintah yang efektif dalam mengakses permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Penegakkan hukum yang tegas juga tidak dapat dilepaskan dari pemerintahan yang efektif tersebut. Oleh sebab itu, era desentralisme sebagai era yang paling tepat untuk memutus mata rantai perdagangan perempuan di negara yang mayoritas Islam ini.

Memaknai Tipologi Agama: Untuk Merekonstruksi  Dakwah Islami Akar Rumput

Umat Islam punya aset dan sarana untuk membangun dinamika sosial umat atau masyarakat yang berketeraturan sosial dan berperadaban, karena banyak tradisi Islam yang dapat dihandalkan, seperti tradisi dakwah. Tetapi tradisi ini belum membuat satu peta keberhasilan dalam membangun citra masyarakat yang ideal menurut perspektif Islam. Hal ini dapat dilihat dengan  peta sosial kehidupan masyarakat Indonesia yang jauh dari harapan agama.

Salah satu faktor ketidak berhasilan ini adalah dakwah dan khutbah belum melakukan penyentuhan permasalahan yang dihadapi oleh umat. Materi dakwah lebih dominan menyampaikan reward sorga dan nekara, jika dibandingkan dengan knowledge dan aksi yang membangun dinamika muamalah yang merekonstruksi kesejahteraan manusia. Secara psikologis bentuk dakwah yang demikian membawa rendahnya achievment masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya fenomana furustasi dan nrimo dalam kehidupan sosial umat Islam.  

Fatalisme menjadi sebuah fenomena sosial di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bukti dapat dilihat melalui fakta, kecendrungan terjadinya pilihan suicide dalam ketidakmampuan dalam menghadapi himpitan realitas kehidupan. Bunuh diri tidak saja dilakukan oleh orang dewasa, malahan juga oleh anak-anak, seperti diinformasikan oleh media cetak dan elektronik.  Anak sekolah dasar pun memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebuah fenomena sosial fatalisme yang kontradiktif dengan norma agama. Apakah terjebaknya perempuan kedalam dunia prostitusi sebagai bentuk dari tindakan yang fatalisme ini? Scotts dalam tesisnya ”Senjata Orang-Orang Yang Kalah” telah mendeskriptifkan bahwa tindakan fatalisme yang bertentangan dengan moral, agama dan nilai-nilai budaya itu merupakan satu aksi dari pada orang-orang miskin untuk dapat diperhatikan oleh pihak lain. Tindakan semcam ini, merupakan sebagai bentuk perlawanan ”perjuangan” atas hak hidup mereka.  

Realitas sosial juga membentuk tipologi agama sebuah masyarakat atau komunitas, sehingga pemahaman dan pengamalan agama akan tampil dengan mozaik yang berbeda-beda. Perbedaan mozaik ini pula, setidaknya meyakinkan bahwa dakwah tidak akan mendapatkan satu hasil yang representatif,  jika tidak dilakukan dengan pendekatan keadaan sosial dan tipologi agama yang berkembang dalam satu komunitas. Oleh sebab itu, untuk membangun umat yang beradab dakwah tidak dapat dilakukan tanpa mengenal kontekstual sosial.

Kontekstualitas permasalahan ini sering terbaikan dalam tradisi dakwah di Indonesia, sehingga tidak mengherankan dakwah kurang memberi kesan membangun masyarakat yang sesuai dengan harapan agama. Keterpelentingan masyarakat akar rumpur dari keagungan nilai sosial, sering dituding dengan jawaban agamawan yang bersifat jastifikasi ”lemah iman”. Jawaban seperti ini sangat tidak relevan dan tidak rasional dalam melihat permasalahan umat, terutama permasalahan agama masyarakat akar rumput sekarang ini. Oleh sebab itu, untuk memutus mata rantai permasalahan sendikat perdagangan perempuan ini perlu direkonstruksi model dakwah yang dapat menjembatani persoalan akar rumput.

 

Dakwah yang dapat memberikan human motivation yang membunuh tradisi fatalisme masyarakat akar rumput. Dalam konteks ini dakwah sudah semestinya diarahkan seperti dalam ungkapan Daniel Bell untuk menjelaskan permasalahan sosial dan menawarkan praktik penyelesaian. Dakawah direkonstruksi untuk membangun kebangkitan budaya dan nilai-nilai yang membentuk kemajuan manusia, sebagaimana terlihat dalam firman Allah dalam QS 16:125:

serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Islam Transformatif  Sebagai Modal Sosial Alternatif Menyelesaikan Tindak Ketidakberadaban   

Sebelum runtuhnya keagungan teori modernisasi, masyarakat dunia secara global menyetujui bahwa untuk membangun peradaban dunia dan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Dunia Ketiga terletak pada dua kata kunci, penguasaan ekonomi dan pembaratan. Proses pembaratan ini, berjalan secara halus dan kasar di Dunia Ketiga, sehingga perubahan budaya tidak terelakan. Masyarakat Dunia Ketiga kehilangan identitas dan modal sosialnya, semuanya digantikan oleh landasan pacu serba kolonialisme gaya baru. Yang terjadi disebalik itu bukan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Dunia Ketiga. Ketidakberadaban pun semakin memuai, potret sosial hasil penghegemonian semakin nampak dan jelas.

Peran agama dan budaya terkesampingkan. Malah sering menjadi olok-olokan sebagai bahan penghambat kemajuan. Akhirnya keterpisahan sistem politik, ekonomi dan budaya dengan budaya dan agama telah terjadi dimana-mana. Tindakan manusia telah berlajan dalam rel peradaban yang baru. Sementara peran agama dan budaya semakin tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh agamawan kehadapan manusia.

 

Setelah sembrautnya masyarakat dunia dan gagalnya proyek modernisasi membangun peradaban dunia maka masyarakat kembali mencari modal sosialnya melalui agama dan budaya. Akademisi dunia kembali membincangkan peranan agama dan budaya, sebagai pengubah peradaban dunia. Ketidak beradaban yang telah terjalin dalam berbagai dimensi kehidupan sosial kemudian dituding sebagai pemaksaan dari hegemoni dunia. Kesadaran baru muncul kembali, bahwa peradaban tidak dapat dipisahkan dari agama.

Juggernaut sosial dituding sebagai akibat dari hilangnya modal sosial. Asumsi ini didukung kuat dengan hasil penelitian Diego Gambetta yang mengungkapkan negara-negara yang kurang modal sosial telah melahirkan bos-bos mafia dan tindaka-tindakan sidikat yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu negara-negara Asia Tenggara yang kehilangan modal sosial telah memarakkan jalannya sendikat perdagangan manusia.

 

Berpijak dengan realita sosial modernisasi itu, maka pasca modernisasi sekarang ini perbincangan kembali pada modal sosial menjadi agenda yang penting, setidaknya ini dapat dilihat dari tulisan Fakuyama dan Larry Diamont:
Modal sosial memiliki manfaat yang jauh melampaui bidang ekonomi. Ini penting untuk menciptakan civil society yang sehat.

Maknanya, modal sosial dapat membangun peradaban individu, komunitas, masyarakat, negara dan bangsa. Agama tidak dapat diragukan sebagai sumber modal sosial. Hal ini dapat dilihat dari tesis Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber meyatakan bahwa transformasi budaya dapat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dikomunikasi dengan reasional dan logis. Ajaran Protestan telah membuat satu transformasi budaya diluar dugaan dunia. Perubahan penguasaan ekonomi dan kesejahteraan dengan begitu cepat beranjak pada negara-negara penganut Protestan. Terakhir Lipset dan Lenz, menumukan bahwa negara persemaksuran Inggris yang Protestan mempunyai angka korupsi yang terendah. Hal ini semakin membuktikan bahwa agama sebagai sumber modal sosial dapat mewujudkan peradaban yang mencerahkan kemanusiaan.

 

Islam hadir ke dunia bukanlah sebagai agama yang sia-sia dan nihil dari ajaran. Agama Islam datang membawa ajaran yang sempurna dan holistik. Maka tidak dapat dikeragukan sebagai acuan modal sosial. Menjadikan agama sebagai modal sosial, tentu tidak dapat dilupakan peran agamawan dalam menjabarkan Islam yang rahmatalill’alamin.

 

Rendahnya pengaruh ajaran agama dalam membangun peradaban umat, tidak telepas dari peran agamawan dan akademisi yang belum dapat menyampaikan pesan agama yang dapat merubah realita sosial. Kemudian umat Islam masih terpaku dengan budaya ekskulisfismenya dan agak mengabaikan peranan rasionalitas dan logisfisme dalam menghadapi dunia nyata. Ajaran-ajaran agama lebih dominan ditarik kedalam ranah akhirat.

 

Dalam konteks ini agama yang transformatif seperti yang disarankan oleh Bell akan lebih berperanan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan sosial manusia. Agama Islam sebagai agama transformatif (rahmatalil’alamin) mempunyai kompleksitas dalam membangun kehidupan manusia berperadaban yang manusiawi, tetapi kompleksitas ini terjegal, sehingga fenomena sosial kursial masih mendominasi. Ketercegalan kompleksitas ajaran Islam telah menyebabkan ajaran Islam menjadi parsial dan menimbulkan faksi-faksi. Hal ini menimbulkan lambatnya transformasi sosial dalam mansyarakat, sehingga masyarakat Islam masih nampak dijajah oleh berbagai fakta ketidakberadaban.

 

Sesungguhnya disebalik ”perselingkuhan” peradaban itu, al-Quran telah menyuruh untuk mentengarainya dengan memberdayakan kualitas umat. Surat pertama menyebutkan pentingnya pendidikan dalam membangun kualitas manusia untuk mengubah peradaban jahiliyah menuju peradaban yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Peningkatan kualitas manusia tidak terlepas untuk membangun dimensi kehidupan yang berkesejahteraan, berketeraturan sosial dan dinamis. Dalam konteks ini, pendidikan memainkan peranan penting. Untuk menghadapi permasalahan umat Islam yang semakin kompleks di era global ini, maka institusi pendidikan Islam perlu melakukan reinventing sehingga pendidikan betul-betul dapat memberdayakan kualitas umat Islam.

Sebuah kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam konteks pembangunan keadaban umat adalah, pertama perdagangan perempuan untuk kepentingan apa saja, merupakan tindak yang tidak beradab. Kedua permasalahan ini perlu diselesaikan dengan penegakan hukum yang tegas dan peranan ilmu ke-Islam-an dalam mensejahterakan umat manusia. Ketiga negara dan pihak terkait harus memutus mata rantai permasalahan ini dengan tidak mengabaikan konteks sosial yang menggerogoti perdagangan manusia ini. Artinya, perdagangan perempuan tidak dituding sebagai akibat kemiskinan saja, tetapi banyak faktor yang terlibat dalam masalah ini. 

 


Catatan:

Tulisan ini berdjudul asli ”Memutus Mata Rantai Perdagangan Perempuan Melalui Pendekatan Islam Sebagai Salah Satu Usaha Membangun Masyarakat Berkeadaban Pada Era Global Di Indonesia”.  Tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara Annual Conference On  Islamic Studies  In Indonesia (Acis) VII, yang diselenggarakan di Pekanbaru Riau, 21 – 24 November 2007

 

Penulis adalah Dosen Sosiologi STAIN Bukittinggi    


Catatan Kaki:

Menurut data Asieweek 1977, penduduk Indonesia yang beragama Islam berjumlah 123,2 juta orang atau 90.0% dari jumlah 136,9 juta jiwa penduduk Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2005, jumlah penduduk Indonesia menurut Agama adalah: (1) Penduduk beragama Islam 182.083.594, (2) beragama Kristen 12.964.795, (3) beragama Khatolik 6.941.884, (4) Beragama Hindu 4.586.754, dan (5) beragama Budha 2.242.833. Artinya tahun 2005 ini jumlah umat Islam di Indonesia sebanyak 88% dan merupakan jumlah terbesar dari umat agama lainnya.
 
Semenjak awal, partai politik Islam sudah tumbuh dan berkembang di negara ini, bahkan telah memainkan peranan penting. Pada tahun 1973 misalnya, sudah wujud sebanyak empat partai Islam, seperti NU, Permusi, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Parti. Pada tahun 2004 cukup representatif pula jumlah partai yang berasaskan Islam.
 
Institusi pendidikan Islam tumbuh menjamur di negara ini. Lihat misalnya perkembangan Perguruan Tinggi Islam, menurut data Diktis Departemen Agama RI, pada tahun 2007 ini, telah tercatat institusi pendidikan tinggi Islam. (1) UIN sebanyak 6 buah (2) IAIN sebanyak 12 buah (3) STAIN sebanyak 32 buah (4) PTAIS sebanyak 461 buah. 

 Bandingkan data keagamaan tahun 1977 dan 2004, ternyata rumah ibadat Islam bertambah jumlahnya dari 392.044 pada tahun 1977 menjadi 643.834 pada tahun 2004 (kenaikan sebesar 64%). Rumah ibadat Kristen bertambah jumlahnya dari 18.977 pada tahun 1977 menjadi 43.909 pada tahun 2004 (kenaikan sebesar 131%). Rumah ibadat Katholik bertambah jumlahnya dari 4.934 pada tahun 1977 bertambah jumlahnya menjadi 12.473 pada tahun 2004 (kenaikan sebesar 153%). Sedangkan rumah ibadat Buddha bertambah jumlahnya dari 1.523 pada tahun 1977 menjadi 7.129 pada tahun 2004 (kenaikan sebesar 368%). Data tersebut telah diverifikasi dengan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Dirjen Bimas Kristen, Dirjen Bimas Katholik, serta Dirjen Bimas Hindu dan Buddha.

 Minimal setiap hari Jum’at yang ditandai dengan adanya Khutbah Jum’at dan setiap bulan Ramadhan intensitas dakwah meningkat, baik di masjid maupun di media cetak dan elektronik.

 Gerakan kemerdekaan banyak diilhami oleh kalangan Islam dan organisasi Islam. Misalnya saja gerakan anti kolonial dimulai dari tokoh-tokoh Islam, seperti Imam Bonjol, Diponogoro, Hasanuddin dan sebagainya. Organisasi Islam seperti lahirnya Syarikat Islam sebagai modal sosial dan kapital dalam perjalan kemerdekaan Indonesia.

Di NAD diatur melalui UU no 18/2001. Padang Pariaman adanya Perda No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan dan pemberantasan maksiat. Solok lahirnya Perda no10/2001 tentang wajib baca al-Quran untuk siswa dan pengantin. Perda no 6/2002 tentang wajib berbusana Muslim. Sumatera Barat berlakunya Perda no11/2003 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat. Kota Padang Instruksi walikota 7 Maret 2005 tentang pemakaian busana Muslim Bengkulu Perda 24/2005 tentang pelarangan pelacuran. Kepulauan Riau Kota Batam keluarkan Perda no 6/2002 tentang ketertiban sosial, isinya soal pemberantasan pelacuran, pengaturan pakaian warga dan pemberantasan kumpul kebo. Maros Perda no 15/2995 tentang gerakan bebas buta aksara al-Quran. Bulukumba Perda no 4/2003 tentang busana Muslim. Nusa Tenggara Barat  DPRD propinsi tengah merancang perda wajib bebrusana Muslim. Indramayu Perda no7/1999 tentang prostitusi. Ada juga edaran bupati mengenai wajib busana Muslim dan Pandai baca al- Quran siswa di sekolah. Kota Cianjur Walikota membuat edaran 29 Agustus 2003 tentang wajib berjilbab untuk siswa sekolah. Gowa Mewajibkan pemakaian jilbab bagi karyawan pemerintah dan penambah jam pelajaran agama Islam. Sulawesi Selatan DPRD Propinsi mengesahkan Perda tentang pendidikan al-Quran(Tempo Interaktif).

 Menurut data resmi Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 persen). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen) pada Februari 2006.

 Misalnya, hasil penilaian Team Higher Suplement 2006, mengumumkan bahwa kualitas Universitas Indonesia diurutan 250, ITB urutan ke-258, UGM urutan 270. Sedangkan di Malaysia Universiti Kebangsaannya (UKM) menempati urutan ke 185. Perguruan tinggi ternama kita masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan kualitas negara tetangga. Sedangkan perguruan tinggi agama Islam, seperti UIN, IAIN dan STAIN di bawa lingkungan Departemen Agama belum ada penilaian yang semacam itu. Jadi dimana sesungguhnya kualitas pendidikan yang dikelola oleh institusi ini?

 Menurut Human Development Indec 2003 dari NDP mencatat Indonesia di posisi 110 dari 173 negara di dunia (hingga Indonesia berada di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam); sedang peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000 dalam World Investment Report (WIR) 2003 menempatkan Indonesia pada urutan 138 dari 140 negara di atas Gabon dan Suriname.

 Menurut Taranparacy Internationa,l Indonesia merupakan negara ke tujuh terkorup dari 102 Negara.

 Meminjam konsep Giddens, juggernaut berarti truk besar melaju dengan kecepatan tinggi tetapi tanpa ada yang mengendalikan.

 Meminjam istilan Francis Fakuyama. Di sini dipakai untuk menggambarkan belum ada tanda-tanda keberakiran realita versus kesejahteraan.

 Hal ini diungkapkan John Naisbitt dalam Global Pardoxs.

 Calne, telah menghuraikan hal ini dalam kajian filsafat manusianya.

 Lihat laporan dari International Information Program, US. Departemen of State tahun 2001.

 Ibid dan Ahmad Sofia dkk. Menggagas Model Penangan Perdagangan Anak Kasus Sumatera Utara. 2004. Yogyakarta. PSKK UGM dan Ford Foundation.

 Tempo Interkatif, 10 Juli 2003.

 Ahmad Sofian, dkk. dalam Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak Kasus Sumatera Utara. PSKK UGM dan Ford Foundation. 2004. Data lain, seperti yang dilaporkan oleh Indonesia AC seperti di muat dalam Jurnal Perempuan ke-51, khusus masalah perdagangan anak yang terkam sebagai berikut, (1) angka penjualan anak balita pada tahun 2003 terbongkar 102 kasusu, (2) jumlah penjualan anak untuk tujuan prostitusi meningkat diberbagai rumah border di Indonesia 30% sekitar 200-300 ribu perempuan dilacurkan adalah anak-anak (Komnas Perlindungan Anak, Maret 2005)

 Tempo Interkatif 02 Desember 2004.

 Lihat Mulyanto. 2004. Melacur Demi Hidup Fenomena Perdagangan Anak Perempuan di Palembang. Yogyakarta. PSKK UGM-FF.

 Lihat Jurnal Perempuan no 51 tahun 2007.

 Sebagai bacaan yang dapat dipercaya dapat dilihat dari tulisan Moammar Emka tentang Jakarta Undecaver sex’n the city. Betapa spektakulernya metropolitan menyajikan hiburan seks. 

 Www.kompas.co.id dan kemudian direlis kembali oleh www.stoptrafiking.org.

 Dolly merupakan kawasan lokalisasi di Surabaya. Menurut Firdous dalam Respons LSM Terhadap Perdagangan Anak dan Perempuan kawasan ini merupakan kawasan lokalisasi yang terbesar Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

 U.S Departemen of State International Information tahun 2000.

 Undang-undang no 21/2007 Bab I Pasal 1 ayat 1.

 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya. Bogor. Politicia.

 Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW).

 Convention on the Elimination of All Form of Descrimination Against Women (CEDAW)

 Dalam Utang Budaya Perempuan Tana Toraja. Mengungkapkan data-data perdagangan perempuan dari Tana Toraja yang diekspor ke Malaysia.

 Ada adagium yang sudah populer dalam masalah tes keperawanan yang dilakukan cukong Cina ini: I mana mau bayar you, masuk longgar, keluar longgar.

 John Naisbitt dalam Global Paradox, yang meramalkan bahwa dalam alam global manusia menghadapi realitas sosial yang paradok, pertentangan dengan keadaan yang diharapkan. Peradaban yang berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan, agama dan moral.

 Mempunyai makna seperti truk besar yang melaju dengan kencang tanpa ada yang menggendalikannya. Hal ini dikemukakan Giddens dalam The Third Way, Jalan Ketiga. 2000. Jakarta. PT Gramedia. Di samping itu diulasnya panjang lebar dalam teori modernitas.

 Anomie merupakan istilah yang sama dengan juggernaut yang dipublikasikan oleh Emile Dirkheim.

 Ibid, Giddens. 2000.

 Lihat Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilization. Foreign Affairs. 1993.

 The End of History meminjam konsep Francis Fakuyama dalam melihat globalisasi sebagai pesta kemenangan kapitalis.

 BPS mencatat pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta).

 Hasil penelitian PSKK UGM di beberapa lokosi prostitusi menemukan bahwa di antara kerlibatan anak-anak perempuan menjadi PSK ternyata disetujui oleh orang tuanya.   

 Pikiran Rakyat 10 Mei 2007.

 Misalnya, lahirnya hadis seperti sorga di bawah telapak kaki ibu, tidak terlepas untuk membebaskan situasi sosial yang tidak berpihak pada perempuan pada waktu itu. Perempuan berada dalam ranah marjinal dan hegemoni laki-laki.

 Lihat Tesis Ibn Khaldun dalam Muqadimmah, terutama huraian bab tentang umrani. Kemudian lihat pula tulisan Short of  History Muhammad, yang ditulis oleh Karen Armstrong. Kedua-dua buku itu, menceritakan kemegahan dan kegemilangan peradaban manusia yang wujud dalam era kehidupan Nabi Muhammad, dengan puncak keagungan peradaban itu terlihat dalam proses kehidupan Nabi Muhammad ketika di Madinah.

 Anatona. 2007 . “Perdagangangan Perempuan Indonesia ke Malaysia Dalam Dokumen India Office Record Seri R/9. Kertas Kerja Seminar 50 Tahun Merdeka – Hubungan  Malaysia dan Indonesia”. Kuala Lumpur. Universiti Malaya, 17-21 Juli 2007. Sejak akhir abad ke-18, perempuan-perempuan Indonesia yang pada saat itu masih disebut sebagai budak, sudah banyak yang diperdagangkan ke Malaysia. Perdagangan perempuan saat itu telah menembus batas-batas geografis wilayah politik kawasan regional yang sekarang telah menjadi dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Transaksi perdagangan perempuan Indonesia ke Malaysia pada akhir abad ke-18 berlangsung secara legal dan terang-terangan. Perempuan-perempuan adalah komoditas dan mereka dijual seperti layaknya barang. Sebagai komoditas, perempuan-perempuan yang diperdagangkan memiliki nilai jual dengan rentang harga tertentu dan dibayar secara tunai dengan menggunakan mata uang Real dan Dolar Spanyol

 Lihat Moammar Emka dalam Jakarta Undecover. Betapa membludak tempat-tempat industri seks di Jakarta. Operasionalnya sangat enerjik dan apik, sehingga sulit ditangkap dan tercium secara awam. Lihat pula Bisnis Seks di Singapura oleh David Brazil.

 Tidak dapat dipungkiri, bahwa tingginya kriminalitas dan fatalisme dikalangan masyarakat Indonesia, sebagai satu indikator belum suksesnya dakwah Islam. Kemudian, tampilnya negara Indonesia sebagai negara terkorup, ini sebuah cerminan dakwah belum memberikan kesan yang fungsional.

 Kondisi keagamaan yang lebih membangun image ”sorga dan neraka” tersebut seorang atheis Richard Dawkins, menilai bahwa agama telah melumpuhkan akal fikiran manusia untuk memanifestasikan hidupnya di dunia nyata ini. Pada hal, menurut tesis Weber Ethic Protestant agama dapat menjadi sprit dan pendongkrak perubahan. Begitu juga dengan tesis Rebet N Bellah tentang Religion og Tokugawa yang melihat bahwa aliran tokugawa telah berhasil memformulasi dinamika sosial politik di masyarakat Jepang. 

 Sebagai bukti tentang rendahnya achievement ini dapat dilihat dalam tulisan Syed Hussein Alatas dalam The Myth of the Lazy Native yang membongkar perspektif kolonial tentang achievment orang Melayu. Orang Melayu dilebelkan dengan pemalas dan tidak mempunyai achievment yang tinggi dalam membangun kehidupannya.

 Suicide adalah salah satu realitas sosial yang pernah diriset oleh Emile Durkheim. Trendsnya suicide atau bunuh diri salah satu indikasi adanya ketidak berperanan sistem dalam mengatur kehidupan sosial manusia.

 Lihat Senjata Orang-Orang Kalah. 2000. Jakarta. Obor. Dalam buku ini, Scott menceritakan bahwa aksi petani yang tidak mau mengembalikan pinjaman negara, atau melakukan tindakan amoral adalah bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap pihak pemerintah dan pihak yang berkompeten.

 Dalam kasus semacam ini, tesis Karl Marx tentang determinisme ekonomi semakin meyakinkan. Bahwa tindakan atau aksi manusia sangat ditentukan oleh penguasaan ekonomi.

 Tentang tipologi agama yang berbeda-beda ini, dapat dilihat dari tesis Geertz dalam Religion of Java. Tiga tipologi agama abangan, santri dan kiyayi mencerminkan adanya manifetasi agama yang berbeda-beda dalam tiga kalangan tersebut.

 Lihat Daniel Bell dalam The End of Ideology (1960).

 Lihat Garmsci dan Bandingkan pula dengan ulasan Said tentang Postcolonial.

 Lawrence E Harrison and Samuel P. Huntington (Ed). 2000. Culture Matters: How Values Shape Human progress. Park Avenue South. New York. 

 Gambetta, Diego. 1993. The Sicilian Mafia: The Busness of Provate Protection. Cambridge. Havard University Press.

 Larry Diamond dalam Journal of Democracy. 1994 dan dijadikan referensi oleh Fakuyama dalam Modal Sosial pada Harrison dan Huntington (ed). 2006.Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. LP3ES. Jakarta

 Lihat Lipset dan Lenz ini dalam Kebangkitan Peradaban Budaya, Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan. 2006. Jakarta. LP3ES. Lebih lanjut diuraikan, bahwa tingkat korupsi di dunia bervariasi dan cenderung sejajar dengan garis budaya. Di antara terkorup adalah Indonesia, Rusi dan beberapa Amerikan Latin dan Afrika. Negara-negara penganut Konghucu kebanyak berada di tengah-tengah.

 Bell, Ibid.

 Ayat pertama Surat al-Alaq, cukup jelas mengungkapkan pemberdayaan kualitas manusia ini. Hal ini sekaligus sebagai bukti yang menyatakan bahwa pemberdayaan kualitas manusia merupakan satu hal yang “mustahak” dibangun oleh umat Islam, karena dengan manusia yang berkualitas peradaban dapat dibangun dengan baik.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya