Perbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 2)

0
722

Pendekatan yang berbeda

Yang menarik, konsep acara yang kami susun pertama-tama bukan berangkat dari persamaan. Itu kuno! Bagi saya, pluralisme pertama-tama bukan bicara soal persamaan, seperti : semua agama mengajarkan hal yang baik, tujuan kita sama: menuju sorga, kita berjuang untuk kebaikan bersama, dst. Oke, itu betul. Saya tidak ada masalah dengan itu. Tapi, jika bicara soal persamaan ini semua orang juga sudah tahu. Anak-anak akan belajar sedikit ilmu jika dimulai dari sini.

Saya punya pendekatan lain. Bagi saya, yang anak-anak harus pelajari lebih dulu adalah justru perbedaannya. Teknisnya, fasilitator Pelita memisahkan anak-anak Kristen dan para santri. Yang Kristen belajar tentang apa itu Islam. Seperti: Islam mengajarkan apa sih.. bagaimana sih ritual mereka.. apa sih peran Islam dalam kebangsaan, bagaimana sih Islam memandang keberagaman agama, apa sih peran NU (Nahdlatul Ulama), dst.

Di hari pertama, anak-anak remaja gereja mendengar materi tentang fiqih. Di hari kedua, mereka mendapat materi tentang kitab kuning dan belajar tentang sejarah NU dan perannya bagi bangsa ini. Di hari kedua inilah kami melihat dasar-dasar yang diperoleh para santri untuk menjadi pribadi-pribadi yang berahklak mulia. Para santri bukan hanya diajarkan untuk menjadi pribadi yang berelasi baik dengan Tuhan, namun juga relasi baik dengan sesama manusia, serta berjuang demi kebaikan bangsa.

Demikian juga di kelas para santri. Saya pun menyampaikan kepada para santri tentang kekristenan, dimana iman kami berpijak, apa pandangan kami terhadap Yesus Kristus (Isa), apa yang Isa ajarkan. Saya juga menyampaikan tentang sejarah perpecahan gereja agar mereka mengerti bahwa wajah kekristenan itu tidak satu, tapi majemuk. Di sinilah terjawab sudah rasa gundah gulana para santri, “Apakah orang Kristen itu seperti Ahok?

Di hari terakhir, saya bersama KH Amin Fuad menyampaikan sesi pandangan kekristenan dan Islam terhadap pluralisme. Sebuah materi yang tidak lagi kami dekati dengan dogma, melainkan kisah-kisah yang ada di Alkitab, Al-Quran atau pun kisah-kisah tentang teolog Kristen seperti Paul Knitter dan Raimundo Panikkar, atau para sufi Islam.

Dan ketika kisah-kisah ini diceritakan, ternyata kami menemukan kesamaan spiritualitas satu sama lain. Di sinilah kami baru bicara soal persamaan, yaitu di hari terakhir. Di sesi terakhir ini, saya mengambil kisah tentang Akhir Zaman di Mat 25:31-46 dimana Tuhan akan mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya namun Ia memisahkan mana yang masuk surga dan mana yang masuk “ke tempat siksaan yang kekal.” Dan orang-orang yang masuk surga adalah orang-orang yang menolong saudaranya yang paling hina: yang kelaparan dan kehausan, yang sakit, yang ada dalam penjara, yang telanjang, yang menjadi seorang asing.

KH Amin Fuad berkisah tentang seorang sufi bernama Ibrohim bin Adam seorang sufi dari Uzbekistan. Sebelum menjadi sufi, Ibrohim bin Adam adalah seorang raja yang masyhur nan cendekia. Hampir setiap malam ia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Suatu malam, ketika ia sedang membaca, tiba-tiba ada orang yang berlari-lari di genting perpustakaannya. Ia langsung teriak, “Hei, siapa itu??! Ngapain kamu di atas??”

“Cari kucing!,” jawab orang itu.

Ibrohim menjawab, “Dasar orang gila! Cari kucing kok di atas genting!”

Orang asing itu menjawab lagi, “Kamu yang gila! Cari Tuhan kok di atas ketenangan dan kekayaan, sedangkan banyak rakyatmu di luar sana yang miskin. Untuk makan saja susah!”

Mendengar perkataan itu, Ibrohim seperti ditegur keras oleh Tuhan. Ia sadar. Lalu ia meninggalkan kemuliaan dan kekayaannya untuk bergaul dan menolong rakyat miskin, dan menjadi seorang sufi.

Dari kisah-kisah yang saling dibagikan ini, kami menemukan suatu mata air spiritualitas yang sama: kasih sayang kepada sesama manusia, kepedulian kepada yang menderita, sekaligus cinta kepada Tuhan. Di akhir Live-In ini ada satu jargon yang tercetus di antara kami, “Kita bisa berbeda secara ritual, tapi kita bisa bertemu secara spiritual,”. Sebuah kalimat yang akan selalu saya ingat.

Baca Bagian 1 di sini

Baca Bagian 3 di sini

Tulisan pertamakali di terbitkan di www.pelitaperdamaian.org

Artikulli paraprakPerbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 1)
Artikulli tjetërPerbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 3)