رَوْضَاتِ جَنَّاتِ مَعْرِفَتِه يُحْبَرُونَ. وَأَرْوَاحُهُمْ فِى مَلَكُوتِهِ يَتَنَزَّهُونَ. فَاسْتَخْرَجَتْ أَفْكَاُرهُمْ يَوَاقِيتَ الْعُلُومِ. وَنَطَقَتْ أَلْسِنَتُهُمْ بِجَوَاهِرِ الْحِكَمِ وَنَتَائِج الْفُهُومِ. فَسُبْحَانَ مَنِ اصْطَفَاهُمْ لِحَضْرَتِهِ, وَاخْتَصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ. فَهُمْ بَيْنَ سَالِكٍ وَمَجْذُوبٍ , وَمُحِبٍّ وَمَحْبُوبٍ. أَفْنَاهُمْ فِى مَحَبَّةِ ذَاتِه. وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحَابَتِه.
Segala pujian hanya bagi Allah
Yang menuangkan cinta putih di hati para kekasih-Nya
Yang melimpahkan ruh kepada mereka untuk menyaksikan ke-Agungan-Nya
Yang menyiapkan kebeningan jiwa mereka menanggung lelah untuk mengenal-Nya
Hingga hati mereka dilimpahi kegembiraan di taman-taman keintiman bersama-Nya.
Ruh-ruh suci mereka bersih saat berada di singgasana Istana-Nya
Hingga pikiran mereka menghembuskan mutiara-mutiara pengetahuan
Lidah-lidah mereka menyenandungkan kidung permata-permata kearifan
dan buah-buah pengetahuan ketuhanan
Aduhai betapa agung mereka yang terpilih hadir di pangkuan-Nya
dan menjadi kekasih-Nya
Mereka bertemu bagai antara pencari dan Dambaannya,
antara pecinta dan Yang dicinta
Mereka tenggelam dalam lautan cinta-Nya
Aku bersaksi tidak satupun yang dipuja selain Allah
Aku bersaksi, Muhammad, sang penghulu, adalah hamba, rasul dan yang terpilih
Semoga kedamaian dan keselamatan atas Muhammad, sang pemimpin, sang penghulu
Semoga kedamaian dan keselamatan juga bagi keluarga
Dan para sahabat sang Nabi.
كَيْفَ اَنْتَ تَحْتَ أَطْبَاقِ الثَّرَى يَا شَوْقِى ؟
وَكَيْفَ أَنْتَ فِى مَرْقَدِكَ يَا حَنِينِى؟
إِذَا غِبْتَ عَنِّى فَشَمَائِلُكَ مَلَآ رُوحِى .
وَإِذَا نَأَيْتَ عَنْ بَصَرِى
فَأَنْتَ أَمَامَ عَيْنِ بَصِيرَتِى.
وَلَئِنْ رَحَلْتَ
فَرُوحُكَ فِى نَفْسِى مُقِيمٌ ”
Duhai rinduku
Bagaimana keadaanmu di bawah tumpukan lempung basah ini?
Bagaimana engkau di tempat istirahmu, duhai kangenku
Bilamanapun aku tak lagi bisa memandang wajahmu,
Seluruh keindahanmu memenuhi ruhku
Bilapun engkau telah jauh dari tatapan mataku
Aku melihatmu dengan mata jiwaku
Dan meski engkau telah pergi jauh
Ruhmu ada dalam palung jiwaku.
Nama itu terus saja mengalir bagai air zam-zam di Makkah. Ia menjadi sumber kehidupan beribu manusia yang tak pernah berhenti, dan yang tak pernah kering, sekaligus menyegarkan. Nama itu adalah Gus Dur. Dalam buku “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”, saya sudah menulis : “Gus Dur, adalah nama yang akan dikenang dan dirindukan berjuta orang, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun tahun dan untuk rentang waktu yang panjang. Meski ia telah tak lagi bersama kita di sini dan telah diistirahkan di bawah tanah lempung, ia masih terus saja dikunjungi banyak orang, setiap hari dan setiap jam, siang maupun malam, entah sampai kapan. Namanya masih disebut-sebut, diceritakan, didongengkan dan didoakan dalam gempita siang maupun dalam sepi malam. Pesan-pesannya terus direproduksi dalam kata-kata, dalam lukisan, dalam puisi dan dalam senandung folklore. Dengarkanlah nyanyian folklore yang indah ini.
Folklore : Song for Gus Dur
Ku masih belum begitu percaya
Kau telah kembali pulang
Tak bolehkah kau lebih lama
Untuk kita Ajari kita
Masih segar di ingatanku
Kau kikis kerasnya dinding beku
Kau beri tempat yang terpinggirkan
Kau beri ruang pada yang terbuang
Jadikan dirimu perisai kemanusiaan
Oh, Selamat Jalan
Selamat Jalan
Ajari kita bicara
Hidup kita penuh warna
Berbeda itu karunia
Kau wariskan keindahan
Kau ajarkan kedamaian
Bagi kawan atau lawan
Kau berjuang demi bangsa
Beri pesan yang bermakna
Jalani hidup bersama
Janganlah kita berduka
Kita semua pantas bangga
Gus Dur, Sang Pengabdi Kemanusiaan
Terlampau sulit untuk dapat disangkal bahwa Gus Dur adalah symbol pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social di dunia muslim, khususnya di Nusantara. Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan ini. Ia hadir dengan pikiran dan gagasan yang mengagumkan, cemerlang, mencerahkan sekaligus menggoncangkan, dengan caranya sendiri yang unik, eksklusif, menyusupi ruang-ruang tradisi dan kadang diselimuti misteri. Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbentang lebar. Gus Dur tidak hanya pandai mengaji kitab suci, sabda Nabi, dan khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga menelaah beribu buku dari dan dalam beragam bahasa. Ia membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka, hingga piawai dalam pengetahuan social, budaya, seni, musik, sastra, politik dan agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme.