Minggu, 22 Desember 2024

Polmas: Mengembalikan Citra Pelayanan Polri

Baca Juga

Menjalankan reformasi di sektor keamanan, khususnya dalam tubuh kepolisian, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak kendala untuk mewujudkan civilian in uniform sesuai dengan pilar reformasi kepolisian, yaitu struktural dan kultural. Termasuk yang paling popular adalah dalam hal memberikan pelayanan keamanan, penerbitan administrasi lalu lintas pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM), pelayan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), pelayanan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), informasi (rambu, marka, telepon, dll) dan pengaduan kehilangan, kecelakaan, kematian, keramaian dan lainnya juga adalah bentuk pelayanan terhadap masyarakat.

Dalam realitasnya, sampai saat ini fondasi sosial warisan rezim otoritarian Orde Baru yang meletakkan kepolisian sebagai penguasa dan pemegang otoritas, masih sangat kuat mengakar. Alhasil, transformasi menjadi penegakan hukum, pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat masih jauh dari harapan. Tidak heran jika masyarakat tak henti-hentinya mengeluhkan hampir setiap pelayanan di kepolisian. Keluhan-keluhan masyarakat yang kian tak digubris dan tak dipedulikan, itu tidak hanya secara langsung, tapi juga marak melalui media. Baik media cetak, elektronik, maupun dunia maya (internet) seperti melalui website, blog, maupun facebook. Sayangnya, lagi-lagi semua keluhan itu tidak membuahkan perubahan lebih baik lagi. Bahkan beragam pandangan miring tentang palayanan kepolisian pun semakin menjadi. Bagi masyarakat, selama puluhan tahun pelayanan SIM, STNK dan BPKB masih dijadikan lahan yang paling empuk menghasilkan uang. Hal ini juga diduga menjadi andalan bagi petinggi Polri untuk mengumpulkan kekayaan. Di lain pihak, masyarakat yang jadi sasaran bidikan hanya bisa menjerit.

Aspirasinya tidak pernah didengar. Pengemudi angkutan umum, misalnya, untuk memperoleh SIM A Umum harus membayar Rp 600 ribu hingga Rp 750. 000. Demikian juga pengemudi kendaraan pribadi dengan SIM A, paling tidak harus mengeluarkan uang sampai Rp 400.000.

Bagi pemilik kendaraan yang STNK-nya habis masa berlakunya, manakala memperpanjang harus mengeluarkan uang siluman paling tidak 75.000 rupiah hingga 150.000 rupiah (mobil mewah). Jika ternyata mobil tersebut kepemilikannya masih atas nama pemilik lama, hingga tak ada KTP asli yang menyertainya, maka untuk memperoleh BPKB kendaraan baru, pemiliknya paling tidak harus menunggu paling cepat dua bulan hingga empat bulan. Demikian halnya mengurus BPKB balik nama (dari pemilik lama kepada pemilik baru ), itu cukup bayar 150.000 rupiah.

Namun pelayanan itu bisa lebih cepat, hanya dua hari, apabila biaya siluman itu tambah 150.000 rupiah lagi. Menurut beberapa sumber, Kepala Bagian Registrasi dan Identifikasi (Kabagregident) masa itu, dari setoran SIM, STNK dan BPKB dalam sehari sedikitnya mengantongi uang puluhan juta rupiah. Sementara, Kepala Direktorat Lalu Lintas bisa lebih besar 2 hingga 3 kali dari Kabagregident. Dalam survey Kompas, 1 Juli 2005, tentang biaya pengurusan SIM, STNK dan BPKB menunjukkan bahwa pembengkakan biaya pengurusan tersebut karena tidak sesuai dengan administratif dengan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan di luar ketentuan pengurusan. Bersamaan dengan survey tersebut, bulan Juli 2005, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto juga berjanji pada Komisi III DPR RI untuk meningkatkan pelayanan administrasi yang menjadi tanggung jawab Kepolisian kepada masyarakat. Upaya-upaya itu, di antaranya, memperbaiki dan mengembangkan sistem pelayanan administratif dengan menyederhanakan prosedur dan mempercepat waktu pelayanan. Selain itu, Jenderal Polisi kelahiran Desa Kebagusan Comal Jateng ini berjanji untuk mengeliminasi penyimpangan yang membebani masyarakat berkaitan dengan pelayanan Kepolisian.

Namun, lagi-lagi garis tegas yang dicanangkan Kapolri ternyata sangat lambat implementasinya. Di Cirebon, sejumlah masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pelayanan SIM di Polresta Cirebon dan Polres Kabupaten Cirebon. Seperti yang diungkapkan Beni (48) asal Cirebon, yang saat itu sedang mengantri pembuatan SIM untuk anaknya, ia mengaku harus mengantri cukup lama. Kedatangannya ke Polres Kabupaten Cirebon itu adalah yang kedua kalinya. Dia menilai proses pelayanan di Polres Kabupaten Cirebon terlalu birokratis, lama dan bertele-tele. “Kalau di Polres 851 itu lebih birokratis dan bertele-tele, ini berbeda dengan pelayanan SIM di Polres 852,” ungkap Beni ketika ditemui Blakasuta di Polres Cirebon, pada Rabu (13/5) lalu. Kendati harus melalui proses lama dan berteletele, Beni lebih memilih membuat SIM sesuai dengan prosedur, seperti mendaftar dahulu, periksa kesehatan, dan mengikuti sejumlah tes sesuai aturan yang ada. “Karena kalau harus mengikuti jalur belakang, untuk aturan Indonesia seperti sekarang ini, saya merasa kurang mampu. Apalagi harus membayar cukup banyak,” ujar Beni yang sehari-hari bekerja sebagai seorang kurir.

Hal senada diungkapkan Agus (36) ketika sedang mengantri memperpanjang SIM di Polresta Cirebon. Selama ini, dia mengaku memilih jalur legal daripada harus mengeluarkan banyak uang untuk jalur belakang yang pragmatis. “Kalau sesuai aturan, memang lama, apalagi jika di tes pertama kita tidak lulus. Tapi lebih murah, apalagi kita baru akan membayar biaya pendaftaran dan lain sebagainya, jika tes kita sudah dinyatakan lulus.”

FKPM Mencoba Turun Tangan
Citra miring pelayanan Polri juga menjadi kegelisahan tersendiri di kalangan aktifis forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM). FKPM Tri Daya misalnya, dari awal pembentukannya, forum tersebut telah memprogramkan membantu masyarakat dalam pembuatan SIM kolektif. “Kalau dari kami di Tri Daya, upaya pembuatan SIM kolektif itu untuk memudahkan masyarakat. Artinya, selain murah juga mungkin bisa diupayakan secara cepat. Apalagi, di warga kami sampai saat ini masih banyak yang belum benar-benar menaati peraturan. Ini juga demi warga, membantu dan menyadarkan warga akan pentingnya memiliki SIM dan ketentuan lainnya,” ungkap Syamsul, ketua pengurus FKPM Tri Daya.

Namun, lanjut dia, ketika menyadari hal itu bukan wewenang FKPM, maka program tersebut pun dibatalkan. Bagaimana tidak, persoalan ini erat kaitannya dengan ideologi seorang aktifis FKPM dalam menjalankan aktifitasnya. “Tapi, setelah mengikuti Pelatihan Polmas yang diselenggarakan Fahmina-institute, kami menyadari bahwa itu bukan wewenang kami,” ujarnya.

Hal senada juga ditegaskan Bambang Budiono, Direktur Pusat Studi HAM (Pusham) Unair Surabaya. Menurutnya, indikasi modal sosial di antaranya untuk saling menolong, gotong royong, sukarela, setia kawan, kebersamaan, dan bergerak atas dasar nilai-nilai kemanusiaan, bukan modal ekonomi. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No Pol: SKEP/433/VII/ 2006 mengenai Panduan Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas, disebutkan bahwa petugas Polmas diberikan kewenangan yang terbatas untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana ringan dan pertikaian antarwarga melalui musyawarah.

“Oleh karena itu, ada polisi yang sempat bingung ketika ada FKPM yang terbentuk, meminta uang dari polisi. Padahal FKPM tidak seperti itu. Dari hal ini, kita akan lebih tahu bahwa FKPM sebagai organizernya. Tapi yang digerakkan bukan usaha ekonomi,” papar Bambang. Hal ini, tambahnya, seperti yang pernah dilaksanakan oleh FKPM di Surabaya.

Ada FKPM yang membuat biro jasa SIM kolektif, ini menyalahartikan. “Saya senang sekali jika FKPM di Cirebon tidak melakukan penyalahgunaan itu. Karena menjadi biro bukan hal utama yang harus dimasukkan dalam FKPM. Dan saya melihat apa yang sudah dilakukan FKPM di sini, sudah sesuai dengan ideologi Polmas itu sendiri. Kita menggalang modal sosial, bukan modal ekonomi.” (a5)

Sumber: Blakasuta Ed. 19 (Mei 2009)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya