Sabtu, 27 Juli 2024

Sejarah Perlawanan Santri

Baca Juga

Daendels merupakan satu-satunya Gubernur Jenderal, yang tidak diangkat oleh Ratu Belanda, melainkan diangkat oleh Maharaja Louis Bonaparte, adik kandung Napoleon Bonaparte, untuk memegang kekuasaan di Jawa. Waktu itu, Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis, dan Napoleon mengangkat adiknya sebagai raja Belanda.

Untuk memperlancar gerak pasukan, Daendels berencana membangun “jalan raya pos” yang sekarang lebih dikenal dengan “jalan Daendels”. Ia khawatir sewaktu-waktu Inggris datang menyerang. Dalam membangun mega proyek itu, Daendels menggunakan tangan besi. Ia memaksa Sultan dan Bupati, untuk mengerahkan ribuan pekerja rodi, tanpa dibayar sepeserpun. Akibatnya, ribuan orang terkapar mati di jalan yang sekarang kita nikmati itu. Setiap ada perlawanan selalu ditekan dan dibungkam.

Pramoedya Ananta Toer, melukiskan pembangunan jalan itu sebagai gnosida, pembunuhan massal. Para petani waktu itu, menganggap Daendels sebagai momok menakutkan. Bahkan orang-orang Belanda di Batavia menyebutnya sebagai penghianat karena lebih setia pada Napoleon. Sebagai wujud kesetiaannya itu, ia pernah mengibarkan bendera Prancis di Batavia. Padahal orang Belanda lebih senang dijajah Inggris ketimbang Prancis.

Kisah Daendels berakhir setelah jabatannya dicopot pada 1811. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu, merekam sejarah kelam yang mengendap dalam ingatan kolektif bangsa ini. Namun, bagi ulama dan santri Ponpes Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, sejarah Daendeles merupakah sejarah perlawanan, pertentangan, sekaligus kisah heroik.
Kyai Hasanuddin, pendiri pesantren yang dibangun pada 1715 itu,  adalah seorang pahlawan yang lantang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Daendels. Hasanuddin, atau lebih dikenal dengan Kyai Jatira, bersama santri-santrinya, memindahkan patok-patok pembatas jalan agar tidak mengenai tanah pesantren yang dirintisnya.

Bagi Kyai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan perlawanan, pembelaan dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.


Perlawanan Terhadap Kesewenangan

Maka, wajar saja ketika pemerintah mencanangkan pembangunan tol Cikampek-Palimanan (salah satu mega proyek tol trans java yang meniru proyek Daendels), para ulama, santri, dan masyarakat Ponpes Babakan Ciwaringin menolak dan menggelar demonstrasi besar-besaran (26/8 dan 30/11). Apalagi trase yang akan dilalui jalan tersebut rencananya akan mengenai tanah pesantren. Darah kepahlawanan yang mengalir dalam cucu-cucu penerus Kyai Jatira seketika itu, mendidih kembali. Api perlawanan kembali dinyalakan.

Kyai dan para santri menganggap perjuangan mereka saat ini pararel dengan apa yang dilakukan Kyai Jatira dan santri-santrinya dulu ketika melawan Daendeles. Bagi mereka, problemnya bukan hanya sebatas tanah, masa depan pendidikan, atau soal setuju atau tidaknya terhadap pembangunan, melainkan sudah menyangkut soal hak, kebebasan, dan keadilan.

Ada banyak indikasi bahwa proyek tol Cikampek-Palimanan dibuat serampangan dan menciderai keadilan. Diantaranya: Pertama, tidak ada keterlibatan masyarakat. Sedari awal, mega proyek tol Trans Java Cikampek-Palimanan memang tidak banyak melibatkan masyarakat. Masyarakat baru tahu bahwa tanah mereka akan dilintasi jalan tol, setelah patok-patok pengukur jalan tertancap di tanah mereka. Ini belum menyangkut soal pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali.

Lagi-lagi masyarakat malah dijadikan objek dan korban pembangunan. Masyarakat baru diajak bicara ketika pembangunan sudah betul-betul akan dilaksanakan. Pemerintah kita terlampau optimis bahwa seluruh kebijakannya pasti akan mendapat dukungan dari masyarakat. Nampaknya, pemerintah sudah terbiasa mengeluarkan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya tidak sedikit program-program pemerintah yang ketika disodorkan ke masyarakat justeru menuai protes.

Kedua, soal “pemaksaan” pembebasan tanah melalui penetapan harga tanah. Biasanya, kasus yang kerap kali merugikan masyarakat adalah ketika proses pembebasan tanah. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No 3 Tahun 2007, pihak P2T (Panitia Pembebasan Tanah) yang ditunjuk pemerintah mematok harga tanah berdasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sebagaimana yang disebutkan pasal 28 ayat 2. Padahal nilai harga yang merujuk pada NJOP, justeru akan merugikan masyarakat. Sehingga harga tanah yang ditetapkan pemerintah terlampau murah jika dibandingkan dengan harga pasaran (harga yang berlaku di masyarakat).

Ini misalnya terjadi pada saat pembebasan tanah proyek tol Kanci-Pegagan/Palimanan Cirebon. Pada waktu itu, pemerintah pusat menetapkan harga ganti rugi untuk sawah di tengah nonsertifikat sebesar Rp 30.000.m2, sawah di pinggir jalan beraspal dan bersertifikat ditambah 20 persen dari Rp 30.000,00, menjadi Rp 36.000,00. sedangkan non sertifikat Rp 33.000,00/meter2. (Mitra Dialog, 1/11)

Tentu saja penawaran tersebut ditolak oleh masyarakat yang berada di Kec. Astanajapura, Lemahabang, Ciledug, dan sekitarnya. Sebab, untuk Kec. Ciledug, misalnya, harga pasaran tanah bisa mencapai Rp 75.000,00/m2.  Di Kec. Astanajapura, meski berupa sawah dan tidak dipinggir jalan harga pasarannya berkisar Rp 50.000,00 sampai Rp 150.000,00/m2.

Dengan adanya UU yang menetapkan harga tanah sesuai NJOP, justeru banyak masyarakat yang dirugikan. Sebab, pada kenyataannya, harga tersebut bertolak belakang dengan yang berlaku di masyarakat. UU ini hanya akan menyuburkan sekelompok kecil orang, seperti investor, pihak TPT (Tim Pembebasab Tanah) dan para calo dan broker tanah (pejabat pemerintah).

Penolakan Santri dan Ulama

Demonstrasi ribuan santri, ulama dan masyarakat Babakan Ciwaringin Cirebon menolak tol Cikapali memiliki latarbelakang sejarah yang panjang. Secara simbolis, mereka sebetulnya sedang melawan kolonialisme-imperialisme baru yang mewujud dalam kekuatan-kekuatan maha besar¾negara, para pemodal, atau koorporasi internasioanl¾yang merenggut hak-hak, kebebasan, dan keadilan kaum lemah dan terpinggirkan.

Karena itu, sudah kewajiban negara berpihak dan memperjuangkan hak-hak rakyat, menyuarakan kepentingan dan kemauan mereka, bukan malah menjadi kepanjangan tangan pemodal. Sudah saatnya pemerintah mengedepankan pembangunan yang pro-rakyat dengan tidak menjadikan rakyat sebagai “sesajen” untuk kepentingan pemodal.


*Jamaluddin Mohammad, ketua Komunitas Seniman Santri (KSS), tinggal di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya