Pada 25 Mei 2000, Sidang Umum PBB mengadopsi dan membuka kesempatan penandatanganan dan ratifikasi bagi negara anggota atas dua protokol opsional Konvensi Hak-hak Anak: Protokol Opsional tentang Keterlibatan Anak dan Konflik Bersenjata serta Protokol Opsional tentang Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak.
Kedua protokol opsional ini dianggap sebagai traktat pelengkap Konvensi Hak-hak Anak, tetapi diperlakukan sebagai traktat mandiri.
Setelah sepuluh tahun, status ratifikasi kedua protokol opsional itu cukup impresif. Lebih dari 115 negara telah menandatangani dan atau meratifikasinya. Negara anggota ASEAN yang belum menandatangani dan meratifikasi adalah Singapura, Malaysia, dan Myanmar. Indonesia sudah tanda tangan, tetapi belum meratifikasi. Setahu penulis, materi ratifikasi sebenarnya sudah disiapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, tetapi belum ada kepastian kapan diajukan ke DPR.
Yang disoroti di sini hanya Protokol Opsional mengenai Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak karena dalam persoalan inilah kita butuh upaya yang lebih sungguh dan menyeluruh.
Protokol opsional ini punya 17 pasal yang mengatur bagaimana negara harus bertindak dalam rangka melindungi anak dari perdagangan, pelacuran, dan pornografi anak serta menetapkan pendekatan dekriminalisasi terhadap anak-anak yang terlibat. Negara wajib melarang dan memidanakan tindakan yang mengarah pada perdagangan, pelacuran, serta pornografi anak baik oleh individu maupun kelompok atau organisasi.
Tindakan itu mencakup: (1) menawarkan, mengantar, atau menerima dengan cara apa pun seorang anak untuk tujuan eksploitasi seks, transfer organ untuk mencari keuntungan, dan pengikutsertaannya dalam kerja paksa; (2) mengarahkan dengan tak wajar sebuah persetujuan-sebagai perantara-adopsi seorang anak yang sesungguhnya bertentangan dengan perangkat hukum internasional seputar adopsi; (3) menawarkan, mendapatkan, membeli, atau menyediakan seorang anak untuk dilacurkan; dan (4) memproduksi, mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor, menjajakan, menjual, atau memiliki barang yang berkaitan dengan pornografi.
Dalam menghadapi kejahatan itu, negara pihak harus memastikan ditegakkannya hukum bagi pelaku: administratif, perdata, atau kriminal. Negara juga harus menegakkan yurisdiksi berlakunya hukum yang ada, baik di wilayah sendiri (termasuk di atas kapal atau pesawat yang terdaftar di negara tersebut) maupun ketika warga negaranya melakukan kejahatan di negara lain atau jika korbannya adalah orang atau warga negaranya.
Ekstradisi merupakan pilihan yang harus dikaji serius. Negara pihak juga diharapkan memiliki ketentuan hukum yang memungkinkan penyitaan alat atau aset yang digunakan untuk tindak kejahatan atau memfasilitasi tindak kejahatan itu (Pasal 7).
Ketentuan penting lain adalah bahwa negara pihak harus melakukan berbagai upaya pencegahan (peningkatan kapasitas lembaga dan profesi), penyelarasan hukum, penyusunan kebijakan, dan penyebarluasan informasi yang membantu berbagai pihak untuk waspada. Negara pihak juga diminta menyelaraskan UU adopsi nasionalnya dengan standar internasional.
Sehubungan dengan anak yang jadi korban, negara diminta memberi bantuan yang diperlukan, termasuk dukungan psikososial, dan memfasilitasi pemerolehan kompensasi atas kerugian yang ia derita.
Korban terus berjatuhan
Sejak Reformasi 1998, Indonesia merupakan negara di kawasan ASEAN yang sangat tanggap menghadapi persoalan yang diatur dalam protokol opsional Konvensi Hak-hak Anak. Selain pemberlakuan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, sebelumnya kita sudah meratifikasi Konvensi ILO mengenai bentuk pekerjaan terburuk anak melalui UU No 1/2000 yang bersemangat serupa dan menghasilkan Rencana Aksi Nasional.
Setelah itu, Indonesia menandatangani Protokol Palermo tentang pencegahan, penghentian, dan sanksi atas perdagangan anak dan perempuan yang jadi suplemen Konvensi PBB menentang Kejahatan Terorganisasi yang Transnasional pada 12 Desember 2000. Indonesia bahkan telah membuat dan memberlakukan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Secara legal formal, Indonesia melengkapi diri dengan UU No 11/2008 yang memuat pasal tentang pornografi (anak) dan UU No 44/2008 mengenai pornografi yang mencakup pemberatan hukuman atas pornografi anak.
Saat ini telah diterbitkan juga Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seks Anak melalui Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009. Perdagangan, eksploitasi (termasuk kekerasan) seks, dan pornografi anak telah diakui sebagai masalah yang nyata ada di negeri ini.
Walau masalah ini sering dikaitkan dengan belum tuntasnya pengentasan orang dari kemiskinan, sangat disadari bahwa kaitannya dengan kemiskinan bersifat sirkular. Artinya, kemiskinan merupakan pemicu munculnya supply. Namun, membiarkan anak dalam kondisi ini juga berarti menjerumuskan mereka dalam kemiskinan. Di samping itu, persoalan ini juga dipicu oleh gaya hidup tertentu yang menimbulkan demand yang difasilitasi oleh adat-istiadat, lemahnya hukum, dan penegakannya.
Dari berbagai studi oleh Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Anak, diketahui bahwa sedikit sekali kasus yang diproses secara hukum. Jika pun ada, hukuman yang diberikan cenderung minimal dan pihak yang terlibat tak digali secara tuntas. Penguatan di sektor penegakan hukum jelas masih menjadi tantangan serius. Salah satunya adalah belum harmonisnya UU dengan peraturan daerah dan KUHP. Dengan investasi serta latihan dan pendidikan yang memadai, Polri pasti efektif membongkar kejahatan kemanusiaan yang bermuara pada eksploitasi seks anak, sebagaimana kinerja mereka terbukti menangani terorisme. Mari kita lindungi dan selamatkan anak-anak kita.
Irwanto Guru Besar Tetap Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
sumber: kompas.com